kan aku tepati janji itu, Ibu…
Gambar Ibu di dinding menjadi saksi ikrarku pada mambang kuning hari ini. Ingatan insiden berdarah seratus lima puluh tahun lalu kembali terpatri. Ketika di belahan bumi lain sosok berusia seratus delapan puluh tahun melakukan hal produktif atau memilih menikah lalu mengurus banyak anak yang seharusnya lebih pantas disebut tim sepak bola bersama finansial kepapaan , aku harus mengalami kekecewaan.
Penyesalan menyaksikan Ayah dalam keadaan terluka bersama para prajurit dan Ibu sekarat di koridor istana. Kami sebagai anak tersedu-sedu tanpa bisa berbuat apa-apa. Ibu terbaring, tatapan dia muram. Tubuhnya berusaha bangun seraya mendekap kami. Luka di perut dan dada Ibu menganga, terlihat dalam. Ucapan dia tertatih-tatih setengah berbisik, “Nue–le–th… Ibu titip Ayah dan adikmu,”
“Bertahanlah, Bu.” Kak Nueleth terisak-isak.
“Ibu, bertahanlah. Aku akan memanggil bantuan,” Perih melihat Ibu tak berdaya, mata biru terang milik dia sinarnya meredup. Cahaya wajahnya memudar, pelupuk mata dia turun perlahan. Bibir Ibu tersenyum tipis padaku.
“Ibu tak akan lama lagi di sini. Jaga Ayah dan diri kalian.” Kalimat dia lirih.
“Ibu…” Kak Nueleth tersedan-sedan.
“Ibu, jangan tinggalkan kami.” Air mata mengalir deras membasahi pipi. Ibu masih memeluk kami dengan tenaga terakhirnya sebelum pendar muka dia hilang untuk selamanya.
“Norl, carilah sosok itu. Kelak, dialah yang akan menjadi tujuan akhirmu.”
Sesaat setelah mengatakan, Ibu mengembuskan napas terakhirnya. Tiada lagi pelukan hangat setiap hari kami terima, tak ada ocehan jika latihan ilmu pedang kami semua salah, bahkan canda dan tawa Ibu saat bersama Ayah.
“Ibu…!!”
“MARYN…!!”
Ayah melaung. Ayah bersusah payah bangun menyokong tubuh dia dengan tombak. Gerakannya terseok-seok menggapai jasad Ibu. Dia tersedu sedan meratapi peristiwa. Ayah kelihatan tertekan memandang Ibu, bidadari telah gugur menjaga kerajaan dan negeri.
Ku lepas pelindung tubuh Ibu yang rusak beserta pelindung tangan. Kak Nueleth memasukan kembali pedang ke sarung pedang. Kenapa Ibu memakai pedang latihan untuk bertempur? Tidak seharusnya itu terjadi!
“Kita tidak bisa memprediksi, Norl.” ujar Kak Nueleth melarau.
“Tidak seharusnya Ibu memakai pedang latihan untuk melawan!”
“Kalau aku tahu, aku juga akan melarangnya, Norl!”
“Apa yang sebenarnya terjadi dengan negeri kita, Kak!?”
“Konkurensi bangsa kita dan manusia…”
“Apa?!”
“Ya. Ramalan itu sudah terjadi!”
“Tuhan…”
“Sudah masanya bangsa kita bertempur dengan bangsa manusia, Norl.”
Mimik Kak Nueleth datar. Mulut dia menggumam tanpa suara. Netra Kak Nueleth pirau merenungi horizon berona kelabu. Suasana di lorong istana berawan duka. Redup. Ayah mengangkat tubuh Ibu seraya memeluk Ibu erat. Raga Ibu begitu dingin. Dewi alam telah menjemput Ibu bersamanya.
Kami mencium kening Ibu untuk terakhir kali. Meninggalkan koridor istana, salah satu tempat menjadi saksi bisu pertempuran di kastel. Ayah berjalan di depan bersama Alfonso, asisten Ayah yang membantu menggotong Ibu ke lantai dasar.
Keadaan lantai dasar sangat kacau. Cerai berai tak keruan. Barang-barang berserakan, morat-marit. Bukan hanya prajurit, para pelayan juga terluka. Adome merintih kesakitan bersama dua pelayan lain.
“Adome… siapa yang menyerangmu?”
“T–tu–an–Mu–da—“ Adome terputus-putus.
“Siapa Adome?”
“G–ge––ro–m–bo–lan– ma–nu–si–a…”
“Manusia?!”
“Bb–e–tul, Tuan Muda.” sahut Tavin, wakil kepala pelayan.
“Mm–af, kami—tidak mampu menahan mereka.” Syo Ri menyambung.
“Bagaimana dengan keadaan yang lain?”
“Masih di bangsal, Tuan Muda.”
“Bangsal?”
Beberapa jam lalu, kami bersama pangeran, beberapa pelayan laki-laki serta pelayan perempuan juga berada di bangsal atas perintah Ayah tanpa alasan jelas dan tak diberi kesempatan keluar untuk memastikan apa yang terjadi. Jangan-jangan…
Sewaktu di bangsal kami tak mendengar keributan atau merasakan kehadiran musuh. Saat itu, pikiran hanya merasa janggal tanpa kehadiran Ayah, Alfonso, Ibu, Paman Morgan dan Bibi Erendina, Adome, Tavin, bersama Syo Ri ikut ke barak.
Apakah ini alasan Ayah menyuruh menunggu di bangsal karena ada peperangan tanpa kami ketahui? Dari sayap kiri istana terdengar pekikan kepiluan. Aku berlari ke sana melihat keadaan. Diriku syok, Bibi Erendina tergolek dengan keadaan mengenaskan. Kondisi Bibi Erendina lebih serius dibanding Ibu.
Tidak adil! Tuhan… kenapa Engkau menciptakan manusia hanya untuk membuat kehancuran di negeri kami yang damai? Apa salah bangsa kami? Apa karena kami berbeda dengan mereka dan tak pantas hidup bahagia saling berdampingan?
Jika memang manusia merupakan makhluk dengan derajat paling tinggi dan berakal, mengapa mereka mengusik kami yang tak pernah mengganggu bangsa manusia?
Dahulu, manusia dan bangsa kami berdampingan dengan damai. Sekarang? Semua berubah. Manusia mempunyai sifat serakah untuk mengejar nafsu duniawi sehingga melakukan penyerangan pada negeri kami tanpa tahu tujuan. Apakah hanya pemuas nafsu belaka?
Bibi Erendina lebih parah, luka tusuk memenuhi seluruh tubuhnya. Paman Morgan menangis melihat Bibi Erendina telah tiada. Manusia biadab! Hanya berani pada perempuan, menyerang membabi buta sampai Ibu dan Bibi Erendina pergi selamanya. Kelak, bangsa kalian akan mendapat balasan suatu saat dari semesta. Aku yakin. Terutama, untuk gerombolan manusia penyerang negeri kami.
Bangsa manusia juga harus ingat, Tuhan tak pernah tidur. Bukan berarti, Dia tak melihat perbuatan kalian setiap jam, menit, dan detik.
“Adome, kau bisa berdiri?” tanyaku pada Adome.
“Ss–a–ya—“
“Jangan bergerak dulu, Adome.”
Aku mengobati Adome dengan serbuk daun Eakolia kuambil dari saku celana. Serbuk daun Eakolia kuusap pada luka Adome dan membiarkan hingga menutup. Adome meringis saat serbuk mengenai semua luka pada dada hingga tangan.
“Bertahanlah, Adome.”
Adome mengangguk, keringat dia menetes. Menandai luka-luka Adome sudah mulai menutup dan pulih. Berangsur-angsur, Adome berdiri. Aku memberikan serbuk Eakolia untuk pertolongan pertama pada Paman Morgan, Ayah, Alfonso, Tavin dan Syo Ri bersama prajurit lain yang berada di lantai dasar dan koridor lantai dua.
Daun Eakolia berasal dari danau Clerahm. Danau saksi bisu sosok Derenia, sang Dewi langit turun ke tanah ini jutaan tahun lalu. Dewi yang berasal dari bangsa Cylops (baca: Sailops), keturunan penghuni langit tak bersayap. Dewi Derenia tak bisa bicara, dia bertirakat memohon pada Tuhan untuk meminta kurnia.
Tuhan mengabulkan doa dan memberikan karunia kepada Dewi Derenia. Dewi Derenia dapat berkomunikasi lebih dalam dengan semesta dan seluruh isinya. Kata pertama diturunkan semesta melalui perantara Xenomorph, makhluk hibrida legenda dari perkimpoian burung Phoenix dengan Griffin. Terlepas sejarah atau legenda, aku percaya Dewi Derenia turun atas perintah Tuhan bersama Xenomorph untuk kehidupan lebih baik di masa mendatang. Seperti terciptanya alam ini dan bangsa kami hingga sekarang.
***
Kita tak dapat menafikan, sesekali memoar negatif datang di situasi kurang tepat. Seperti aku tadi, dipanggil Ayah bersamaan keyakinan pengundang perdebatan kami di ruang kerja. Tak masalah bagiku, kadang kala berbeda pendapat dengan orang tua merupakan hal wajar jika hanya sesekali. Kalau terlampau sering mungkin salah satu dari diri kalian ada yang salah.
Aku beranjak ke kamar meninggalkan ruang kerja Ayah. Kubaca lagi buku catatan Erlan, pusing tujuh keliling. Tak salah dia diberi predikat playboy oleh teman-teman, taktik mendekati satu sosok saja hampir setengah buku. Melihat siasat konyol Erlan membuat dahi berkerut. Apa-apaan dia itu?!
Salah satunya tertulis dalam bahasa alam kami, “Dan schönz wert èit kÃtß fîr vér neÄ«m yofÄ—r, Nórl.” Sungguh saran yang menarik sekaligus kurang waras. Artinya adalah jika ciuman pertama sudah kau lakukan sentuhlah dia tepat di hatinya, Norl. Sentuh hati? Bagaimana caranya? Ada-ada saja anak itu.
Daripada pusing, memang lebih baik tanyakan pada si pemberi saran. Kulanjut perjalanan ke kamar sambil mempelajari strategi lain untuk menggali info lebih dalam pada perempuan bermata dwi warna berambut ikal panjang kutemui saat tersesat di desa antah berantah.
Konyolnya anak ini! Dia malah enak-enakan tidur!
“Erlan!” panggilku di ranjang. Tak ada sahutan darinya. Tubuh Erlan malah berbalik menghadap dinding. Keadaan penting begini malah pulas. Sesudah itu, dia pun mendengkur.
“Erlan…!!”
Aku jiwit lengan dia tanpa ampun. Erlan tetap bergeming dari posisinya. Anak ini benar-benar! Diriku dibuat kesal oleh dia. Memang salah membuat Erlan terlalu lama menunggu perdebatan dengan Ayah di ruang kerja selesai.
“Sentuhlah dia tepat di hatinya, pasti dia akan jadi milikmu selamanya.”
Aku melihat Erlan. Tubuh dia masih menghadap dinding kamar dan membelakangi aku. Rasanya dia mengigau. Kalimat itu lagi? Bahkan mengigau pun masih bisa berbicara sesuai topik. Aku mengerti sekarang apa maksud bocah tua berambut kuning gading ini. Perempuan hanya butuh rasa penasaran bukan rayuan gombal tak berkelas.
“Terima kasih, Er.”
Biar saja Erlan beristirahat setelah menemani dari Freiburg, berjibaku di Kanonenplatz dengan Parkour sampai berada di puncak Schlossberg. Kubuka jendela kamar. Kaki langit sudah berubah, sandekala tiba. Di alam ini waktu berlalu begitu cepat tanpa ada yang tahu. Penanda waktu hanya jam dinding, arloji, atau gawai milik kami.
Perlahan-lahan usia kami semakin tua dimakan waktu, sedangkan fisik masih tetap sama seperti saat ini. Yang membedakan cuma kesehatan masing-masing individu , tubuh menjulang serta pikiran semakin matang. Apakah kami bisa mati? Tentu saja bisa, tak ada satu makhluk abadi selain Tuhan.
Biasanya kami mati karena sakit dimakan usia atau kalah dalam perang. Kalian harus tahu, umur ras asli lebih panjang dibanding umur ras keturunan. Sepertiku tentunya. Ayahku ras asli, ibuku ada jiwa dari manusia, manusia yang terlebih dahulu berdampingan bersama ras kami sebelum terpecah dan menjadi tamak sekaligus nafsu dengan duniawi.
Ada pembeda dari segi rupa ras keturunan ataupun ras asli. Paling umum adalah, ras keturunan terlihat lebih ‘manusia’ dibanding ras asli. Kalian mungkin pernah mengalami pada suatu waktu melihat bangsa kami namun dia tak terlihat mencolok seperti ‘hantu’ dengan kulit putih pucat mirip vampir anemia.
Sedangkan ras asli, sekali pun berjenis ras matahari kulitnya tetap berwarna putih pucat, hanya rambut dan warna mata saja berwarna gelap atau agak terang. Cokelat muda, kuning gading, burgundi, mahoni merupakan warna paling umum ditemukan dari ras matahari.
Kembali lagi ke topik perempuan kutemui waktu tersesat di desa. Perempuan amat mirip cinta pertama waktu aku belia. Perempuan mungil berambut ikal panjang bersikap masa bodoh pada dirinya sendiri, tatapan sedingin es di kedua mata dia membuat ingin tahu semua tentang dia.
Apakah dia benar-benar ada kekerabatan dengan Akshita? Sungguh rumit urusan percintaan ini. Permasalahan hati pembuat kesal dan penasaran bertumpuk.
Affaire de coeur, ungkapan permasalahan hari ini. Campur aduk membuat sakit kepala. Memikirkan dan mengurusi perempuan adalah hal cukup sulit bagi laki-laki seperti aku. Aku bukan playboy layaknya Erlan, banyak perempuan termakan rayuan manis dari ucapan dia.
Aku tak munafik pernah menyukai perempuan, tetapi bukan berarti aku harus menjadi ‘kolektor perempuan’ mirip Erlan. Yang aku mau hanya satu, dia—
Dia cinta pertama yang sedang aku cari.
No comments:
Post a Comment