2. Realitas Yang Terpajan

Kamar Norlorn, pukul 3 sore waktu setempat

Pendar rawi merambah kaca jendela kamar menjagakanku dari ranjang. Sekilas, aku terkenang perkenalan pendek dengan gadis bermata bi-warna di desa. Sesungguhnya siapa dia? Tilikan kornea yang sukar ditembus menciptakan beragam teka-teki.

Semua mirip Akshita, hanya warna kornea bertolak belakang. Akshita berkornea mata warna solid, wanita ku temui memiliki kromatika berbeda. Warna kornea kiri dia abu-abu, sebelahnya berwarna cokelat. Dara serupa Akshita seolah-olah jelmaan kucing odd eyes daripada insani.

Ayolah Norl, untuk apa memikirkan manusia baru kau kenal? Jika perasaan dan logika berbantahan begitu jadinya. Sisi perasaan meyakini dia masih ada hubungan dengan Akshita, sisi logika berkata sosok yang sudah menghilang belum tentu kembali.

Ada benarnya. Pertemuan dengan Akshita sudah amat lama. Manusia tempatnya lupa, Akshita sekarang pasti sudah dewasa atau berkeluarga. Jadi, buat apa mencari sosok tak ada kabar? Jikalau ada kabar, masih sudikah dia menerimaku?

Siapa sosok dapat membantu soal ini? Permasalahan Akshita sangat rumit sekaligus menyesakkan dada. Wanita makhluk paling susah dimengerti. Saat harapannya berbalas, dia menolak. Kalau tak terbalas, menangis seharian. Menganggap takdir dan Tuhan tak adil.

Memang tidak semua perempuan begitu. Tapi rata-rata iya ‘kan? Aku melihat beberapa teman kakakku saat di istana. Semua gadis teman kakakku selalu memposisikan diri menjadi korban laki-laki. Padahal, belum tentu laki-laki salah. Mungkin para lelaki jadi korban, bukan mereka.

Drrrt… Drrrt… Drrrt....

Aku menoleh. Gawai bergetar di bufet memberitahu ada telepon masuk dari Erlan. Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlamapui. Tak mustahil Erlan dapat memberikan solusi masalah. Ada untungnya mempunyai sahabat playboy, sedikit-sedikit darinya aku mendapat pengetahuan tentang para nona.

“Norl, kau ada waktu?”

Dasar Erlan. Baru ku sentuh pemutar proyektor, wajah dia sudah memenuhi layar di tembok tanpa mengucap salam.

“Kau kebiasaan. Kalau menelepon ucapkan salam dulu dong!”

“Maaf Norl.” Dia cekikian.

“Waktu selalu ada, Er. Yang membuat waktu menjadi tidak ada karena kau sibuk sendiri.”

“Kau meledekku, Norl?” Dia cemberut di layar.

“Biasanya playboy kelas wahid sibuk dengan para wanita. Tumben, kau menelepon tanpa ada wanita hari ini.”

“Kau jahat, Norl!” Erlan angkat bicara.

“Siapa yang jahat? Aku hanya membeberkan fakta.”

“Intinya kau ada waktu luang tidak hari ini?”

“Ada sih.”

“Bagus. Hari ini kita ke Freiburg.” Erlan bertutur. Mata dia bersinar menghimpun tebakan di layar proyektor. Anak itu mau apa di Freiburg? Dahiku langsung berkedut begitu tahu intensi Erlan pergi ke Freiburg sepintas lalu. Dia pergi ke Freiburg hanya melihat wanita? Aktivitas tak berguna menurutku.

“Kau ke Freiburg cuma melihat cewek?” Aku mengernyit.

Erlan meneruskan dialog, “Iya. Kau mau ikut tidak, Norl?” Kegembiraan tersurat di raut dia.

“Kalau untuk hal seperti itu aku tidak akan ikut, Er. Membuang waktu.”

“Yakin? Kita sudah berteman lama ‘kan?”

“Iya. Lalu apa hubungannya?”

“Aku tahu, kau sedang mencari sosok wanita cinta pertamamu dulu. Benar ‘kan?”

Darimana Erlan tahu? Aku bahkan belum menceritakan apa-apa soal Akshita.

“Sok tahu.”

“Jangan bohong padaku, Norl.” Erlan mengestimasi prosodi. Luar biasa sahabatku itu, firasat dia sangat kuat. Dia memang pantas menjadi playboy kelas satu dan panglima cerdas keutamaan wilayah barat. Ketajaman pikiran Erlan mampu memprakirakan siasat musuh. Bukan hanya musuh, wanita juga. Ups…

“Hubungannya dengan Freiburg?”

“Wanita yang kau cari dulu bertemu di Freiburg, benar?”

“Iya. Intinya apa kau mengajakku ke Freiburg?”

“Aku ingin mengajakmu mencari kebenaran.”

Erlan optimistis pada keputusan mengajakku ke Freiburg. Meski ragu, aku tetap ingin berangkat. Memecahkan masalah tentang Akshita daya nalar harus aktif. Tanpa itu, kebenaran tak dapat diungkap.

“Kita janjian di mana?”

“Di Augustinerplatz, Norl.”

“Pukul berapa?”

“Pukul empat sore. Bagaimana?”

“Baik. Kita akan terlihat atau tidak, Er?”

“Ada baiknya terlihat, Norl. Manusia tak akan peduli dengan kita.”

“Ya. Aku percaya padamu, Er demi mencari kebenaran.”

“Kita memakai baju kasual saja.”

“Beres.”

“Sampai bertemu di Augustinerplatz.”

Layar proyektor mereduksi dan menyusut. Lantas, sambungan telepon berakhir. Sebaiknya, aku segera bersiap-siap sebelum Erlan sampai terlebih dulu di sana. Aku tak mau menyia-nyiakan waktu mencari Erlan di sekeliling Augustinerplatz, nanti begitu ditemukan sudah banyak wanita muda di sisi dia. Saat itu juga, bisa batal pencarian kebenaran tentang Akshita.

Informasi untukmu; negeriku beberapa abad lebih maju dari peradaban manusia. Ku harap, kau tak kaget dengan aktivitas telepon video memakai pewayang pandang. Tanah aku diciptakan dan duniamu kurang lebih sama untuk kegiatan dan kesibukan individu secara umum. Hanya teknologi yang berbeda jauh.

Apabila penulis cerita menceritakan ‘alam buatannya’ kebanyakan bertema abad pertengahan didominasi sihir bersama karakter makhluk mitos, aku tak akan bercerita tentang itu. Memang, ilmu sihir di sini sekali waktu terpakai. Bukan tanpa sebab, untuk menyempurnakan teknologi yang sudah dibuat. Sesekali, sihir diperlukan agar kehidupan negeri tetap berjalan.

Teknologi versus sihir, mana lebih unggul? Keduanya mempunyai keunggulan masing-masing untuk kelangsungan hidup negeri. Aku pribadi, lebih suka memakai teknologi pada aktivitas harian. Tak mungkin juga aku memanggil seekor Simurgh kalau bukan keadaan genting. Apalagi cuma berpergian dalam negeri.

Aktivitas lain adalah kegiatan menelpon. Teknologi amat membantu makhluk sepertiku yang sangat malas menggunakan telepati untuk memberitahu sosok lain. Membuang energi umpama setiap hari harus begitu. Tanpa adanya teknologi, belum tentu aku lebih cepat sampai ke portal umum menuju dimensi lain.

Bayangkan portal umum ke dimensi kau tuju ada di hutan wilayah utara, letak hutan di ujung negeri. Misal menaiki kuda ke wilayah utara, berapa lama waktu di tempuh dengan berkuda?

Di mana hewan mitologi sering diceritakan beberapa penulis untuk tunggangan makhluk mitos? Peraturan di sini, hewan mitologi tak akan digunakan kalau tak terdesak. Kedua, hewan mitologi adalah hewan dilindungi. Tak bisa sembarangan kau ‘membawa pulang’ mereka tanpa izin para raja wilayah.

Mencuri hewan mitologi dengan alasan ‘perjodohan’ untuk membantu manusia perbuatan dilarang. Kau melanggar, akan kena sangsi atau hukuman berat. Jadi, kalau kau ingin berkunjung ke sini suatu saat, ikuti peraturan. Maka, kau akan mendapatkan ‘tanda mata’ tak terlupakan. Jika tak mengikuti peraturan, kau juga akan mendapatkan ‘oleh-oleh’. ‘Oleh-oleh’ mengerikan dari penduduk negeri.

Freiburg, i’m coming.

Aku menyalin pakaian kerajaan dengan busana simpel. Sweter, sepatu kasual, dan celana jin bermodel sobek di bagian dengkul berwarna gelap. Tak ada waktu bersantai sebelum Erlan tiba di hutan wilayah utara. Ku keluar kamar turun menaiki lift ke lantai dasar.

Saat pintu lift terbuka, kakakku terkesan menyelidik, “Mau ke mana, Norl?”

Namanya Nueleth, kakak tercantik dan terbaik ku kenal di istana. Rambut ikal sedada berona platina seperti Ayah dan aku serta kornea bernuansa biru langit menampakkan daya pukau tersendiri. Umurnya tidak terlalu jauh berbeda, selisih 80 tahun saja denganku.

“Aku mau ke hutan wilayah utara, Kak.”

“Untuk apa sore-sore begini kau ke hutan wilayah utara?” Kak Nueleth menyidik. Dia kurang yakin dengan ketentuanku.

“Aku diajak Erlan ke Freiburg.”

“Ke Freiburg? Ya ampun.”

“Kalau kau ingin memarahiku nanti saja, Kak. Aku tidak ada waktu.” Lekas aku ke garasi istana menstarter motor. Kak Nueleth setengah berlari mengekor sampai ke garasi.

“Ada apa lagi, Kak? Marah-marahnya nanti saja.”

Dia terbahak, “Siapa yang mau marah?”

“Kenapa Kakak mengikutiku?”

“Gelang kesukaanmu.” jawab dia memakaikan gelang rantai padaku.

“Ya ampun. Ku kira kau mau marah.” Aku menarik napas lega.

“Memangnya wajahku kelihatan marah?” tunjuk dia.

“Tidak kok. Cuma…”

“Cuma apa?”

“Galak.”

“Kurang ajar!” Getokan keras menghunjam di kepalaku. Ngilu. Tanpa jitakan, bukan Kak Nueleth namanya. Tempelengan sayang ke adik, jawab dia begitu setiap ditanya.

“Aku berangkat, Kak.”

“Hati-hati di jalan.” ucap dia tersenyum.

“Terima kasih, Kak.”

Setelah motor siap, aku memakai kacamata motor. Jangan tanya kenapa tak memakai helm. Kacamata motor sudah termasuk helm tembus pandang, kau akan tetap bergaya dengan tatanan rambutmu tanpa harus takut berantakan atau lepek setelah sampai di tujuan.

Motor melaju meninggalkan mobil-mobil milik pangeran yang terparkir di garasi. Semoga, Erlan tak mendahuluiku ke Augustinerplatz. Aku mengegas motor agar cepat sampai hutan. Jalan penghubung wilayah pusat dan utara ramai lancar, tak ada kemacetan berarti selain lampu lalu merah.

Ku mencepatkan motor dengan kecepatan maksimal ke Hutan Delta Experimental. Berpacu dengan waktu, bersalip-salipan sekuat kemampuanku. Kiat mengebut berjalan mulus sampai kilometer ke lima belas. Di lima kilometer berikutnya berbandingan.

Peluit memperdengarkan bunyi nyaring pada kilometer ke dua puluh. Tiga sosok Saint memberhentikan motor, memintaku menepi di pinggir jalan. Kalian jangan membayangkan sosok kesatria zodiak pelindung Dewi Athena pada kartun Jepang tahun sembilan puluhan atau sebutan katolik untuk sosok laki-laki kudus. Di sini, tugas Saint sama seperti polisi.

Para raja mengklasifikasi Saint memakai nama zodiak bukan asal-asalan. Hal tersebut dikelompokkan berdasar inteligensi emosional individu, inteligensi encer, inteligensi terkristal, dan beberapa pertimbangan lain seperti kemampuan bela diri, penampilan atau kontribusi kepada negeri misalnya.

Ketiga Saint Kanser berwarna rambut merah beranang menggaruk-garuk kepala tatkala melihatku. Mereka saling pandang-memandang. Apa karena jabatan sebagai panglima muda wilayah pusat mereka jadi segan? Aku sendiri bingung, sikap ketiganya melunak. Tak seperti biasa menegakkan peraturan negeri tak pandang bulu.

“Selamat sore, Panglima Norlorn.” ujar salah satunya. Penyuaraan dia gemetar.

Sebelum mereka menyampaikan peraturan melanggar lalu lintas, aku turun dari motor, melepas kacamata, dan memberitahu, “Tolong kirim surat elektronik tilang ke alamat pos elektronik saya.”

“B–ba–ik, Panglima.” Semua mengangguk.

“Ada yang bisa mengantar saya ke halte bus terdekat?”

“Maaf Panglima, Anda ingin ke mana?” tanya Shaka.

“Hutan Delta Experimental.”

“Bagaimana jika saya antar hingga ke pintu masuk hutan?”

“Boleh jika berkenan.” jawabku. Raut muka Shaka nampak plong.

“Untuk surat tilang dan panggilan pengadilan akan segera dikirimkan Eldrin.”

“Baik. Terima kasih,”

“Maaf jika kami menilang Anda, Panglima Norlorn.” Athtar membungkuk.

“Tidak masalah Athtar. Seharusnya saya meminta maaf karena kebut-kebutan.”

“Apakah Anda sedang amat terburu-buru, Panglima Norlorn?”

“Begitulah.”

“Ooo…” Ketiga Saint meng-o jawabanku.

“Sudah jangan diambil pusing. Panglima juga kadang punya salah.”

“Seandainya, manusia sama seperti Panglima Norlorn.” ujar Eldrin.

“Saya juga tidak sempurna, Eldrin. Kita semua sama, berjuang untuk menjaga keamanan dan kedamaian negeri ini.”

“Panglima Norlorn jadi berangkat?”

“Tentu saja, Shaka.”

“Silakan.” Shaka mempersilakan duduk di jok belakang. Ku pakai kacamata motor, Shaka menyalakan mesin dan sirene. Hal sama dilakukan oleh Eldrin menuju ke markas Saint Kanser di kilometer ke dua puluh dua bersama Athtar membawa motorku.

Aku menilik jam di gawai. Sudah hampir pukul empat sore. Bagaimana ini? Moga-moga belum terlambat ke Augustinerplatz. Shaka menyadari kekhawatiran dari spion. Dia mengatakan, “Anda tidak perlu khawatir, saya usahakan lebih cepat.”

“Tidak apa-apa, Shaka. Santai saja.”

“Ini tugas saya sebagai Saint Kanser. Mengantar sampai tujuan tepat waktu.”

“Tidak perlu begitu dengan saya, Shaka.”

“T–ta–-pi…”

“Yang penting selamat sampai Hutan Delta Experimental, Shaka.”

“Baik, Panglima.”

Obrolan santai dengan Shaka tertahan saat melewati jalan pintas ke Hutan Delta Experimental. Saint Kanser dikelompokkan berdasar kemampuan individu yang mencakup pemahaman verbal, keterampilan numerik, dan penalaran induktif. Kemampuan itu dinamakan inteligensi terkristal.

Medan cukup terjal membikin terkesan. Aku salut pada Shaka berusaha melaksanakan tugas dengan baik. Tepat lima belas menit menaklukan medan, kami sudah sampai depan gerbang Hutan Delta Experimental.

Sesuai namanya, Hutan Delta Experimental bukan sembarang hutan. Hutan tempat tinggal ilmuwan negeri dan pengajar ilmu sihir. Dari hutan ini terlahir penemuan paling mutakhir dan ilmu sihir terbarukan. Sihir lama yang diperbarui. Pengembangan teknologi untuk memajukan sumber daya penduduk dan alam.

“Satu portal ke Augustinerplatz.” ucapku pada penjaga gerbang.

“Silakan Anda belok kiri, Panglima Norlorn.”

Salah satu penjaga dari bangsa Hobgoblin mengantarkan ke sebuah portal bernuansa biru malam terletak di badan pohon Dafnah. Hanya ada di Hutan Delta Experimental jenis pohon dari Eropa Selatan bisa tumbuh dengan baik. Pohon setinggi delapan meter bak memanggil.

“Silakan, Panglima Norlorn.”

“Terima kasih, Yoro.” Aku memberi salam perpisahan lalu memasuki portal.

“Semoga selamat sampai tujuan, Panglima Norlorn.” Sayup-sayup terdengar suara Yoro, kemudian tak terdengar lagi.

Belum ada portal yang benar-benar langsung ke Augustinerplatz, semua berakhir di pusat masing-masing kota. Augustinerplatz merupakan bagian dari Freiburg. Maka secara otomat aku tiba di pusat kota Freiburg dan harus melanjutkan perjalanan ke Augustinerplatz.


***


Kecipak.

Bächle
lagi? Kenapa pendaratanku selalu berakhir terperosok di sini? Legenda berkata jika terperosok tanpa sengaja akan menikahi orang Freiburg. Aku akan menikahi orang Freiburg? Jangan. Itu berat. Kecuali Akshita masih di Freiburg, baru benar.

Berjalan-jalan di kota Freiburg selalu menarik. Selain Bächle di mana-mana, jalan kota dipenuhi batu-batu pengganti aspal. Uniknya, batu-batu pengganti aspal membentuk mosaik di jalan menggambarkan fungsi setiap bangunan. Contohnya pusat pertokoan di Freiburg, kau akan menemui mosaik bergambar barang dijual pada setiap toko. Sederhananya, kau mampir ke toko buku, mosaik akan menggambarkan buku dan seterusnya.

Titik pendaratanku hari ini sejujurnya cukup bagus, di gerbang kota, The Mantistor. Salah satu bagian kota dibangun pada awal abad ke-13. Ada rasa bangga melihat menara bersejarah andalan Mantistor setinggi 60 meter tetap kokoh berdiri. Gagah. Mengalahkan lambang paling masif sedunia: restoran cepat saji Mc.Donald.

Disebelah menara, restoran Mc.Donald tak diperbolehkan memasang lambang huruf M besar seperti umumnya. Gerbang Mantistor berkubah runcing seperti senjata prajurit berkuda sehingga menimbulkan kesan sosok pahlawan laki-laki penjaga kota.

Tak ada hal paling menyenangkan beranjak melanjutkan perjalanan ke gerbang kota Freiburg satunya, The Schwabentor. Gerbang Schwabentor memiliki keunikan berbeda, puncak Schwabentor berbentuk bulat layaknya kubah masjid. Jika kalian menengok lagi gerbang Mantistor mengesankan sosok pahlawan laki-laki penjaga kota, Schwabentor bagai srikandi pendamping pahlawan laki-lakinya.

Sebelum mencapai Schwabentor aku singgah di Augustinerplatz, tempat kami janjian. Sebuah tempat alternatif bernuansa mediteranian. Augustinerplatz selalu dipenuhi orang-orang ingin menghabiskan waktu luang. Menikmati secangkir kopi atau sekadar santai melihat atraksi muda mudi Augustinerplatz sambil duduk di anak tangga. Para muda-mudi memainkan alat musik, akrobat, dan atraksi lainnya. Di mana Erlan?

Jika Erlan belum sampai, aku ingin menikmati lebih lama atraksi akrobatik andalan muda-mudi kekinian di Augustinerplatz sembari meluruskan kaki sejenak. Beberapa turis sibuk memotret atraksi muda-mudi. Ada juga pengunjung lain melepas lelah dengan berbincang-bincang sambil menikmati kopi mereka.

Selesai akrobatik, atraksi berganti kelompok muda-mudi bermain musik. Sebagian pengujung dan turis riuh rendah mengerumuni pertunjukan. Sekurang-kurangnya, muda-mudi Augustinerplatz sangat kreatif. Augustinerplatz menjadi tempat paling menghibur hari ini. Tetiba, ada seorang perempuan datang mendekat.

“Hello, are you from Freiburg?” Perempuan itu bertanya.

Aku mengangguk, “Yes.”

Dia tersenyum ketika ada jawaban “ya” dariku. Tampaknya, perempuan ini mahasiswi di salah satu universitas kota. Melihat dari penampilan cukup bergaya dengan rambut Bayalage sebahu berwarna merah anggur, berbadan mungil, mempunyai mata bulat, berhidung kecil, memakai kaos, sepatu pantofel, dan rok selutut.

“I am Erina from Nagoya, Japan.”

“I am Norlorn,”

“I’m student from Albert Ludwig University of Freiburg, would it be allright if I asked you a few questions?”

“Please, go ahead.”


Aku mempersilakan Erina duduk di sebelahku. Erina menaruh ransel di pangkuan dia seraya mengeluarkan gawai dan memohon izin merekam wajahku memakai kamera. Duh, memangnya aku kelihatan di kamera?

Ku tolak dengan halus permintaan Erina dan menawarkan cara lain, merekam jawaban pertanyaan via suara. Syukurlah, Erina menyetujui penawaran dan mulai memberikan pertamyaan. Melakoni perbincangan singkat bersama Erina cukup menyenangkan, hitung-hitung menambah pengetahuan karakter para nona.

Erina memintaku mengisi kuisioner untuk melengkapi wawancara. Erina mengucap terima kasih setelah semua pertanyaan kuisioner terisi. Dia beringsut dari anak tangga memohon pamit dan berlalu. Sudah cukup lama aku di sini, Erlan belum tampak warna rambutnya. Sebetulnya dia niat tidak sih bertemu di Augustinerplatz? Jangan-jangan, Erlan lupa janji baru dia ucapkan.

Aku berharap dia cuma terlambat bukan lupa. Terlambat lebih baik dibanding dia sampai terlebih dulu kemudian alpa karena sibuk merayu wanita muda Freiburg. Wajar ‘kan merayu wanita? Wajar bagiku jika tidak sering. Kalau setiap hari, itu adiktif namanya.

Sudah cukup! Lebih baik pulang daripada menunggu terlalu lama playboy cap hiu. Aku berdiri hendak meninggalkan anak tangga, mencari tempat sepi untuk membuat portal pulang cadangan.

“Norl!” Panggil sebuah suara beberapa meter dari tempatku berdiri.

Akhirnya playboy cap hiu datang juga. Hanpir aku pulang karena menunggunya.

Erlan menyamperi ke anak tangga. Dia cengar-cengir bagai menyadari keterlambatan agar diberi kompensasi. Sungguh terlalu.

“Maaf aku terlambat, Norl.”

“Hampir aku mau pulang karena ku pikir kau lupa janji.”

“Aku tidak lupa. Hanya ada urusan mendadak.” Dia cengengesan.

“Ya sudah aku maklumi. Aku juga sempat kena tilang Shaka, Eldrin, dan Athtar.”

“Oh ya?” Mata Erlan terbuka lebar-lebar, syok mendengar pengakuanku.

“Salahku juga buru-buru dan mengebut.”

“Bagaimana dengan ayahmu, Norl?”

“Entah. Paling setelah ini aku disidang di istana oleh dia.”

“Tabahlah.”

“Aku mengebut juga demi kau, Er. Ku pikir, kau sudah sampai di sini lalu menggoda wanita muda Freiburg,”

Erlan memanyumkan bibirnya. Dapat dilihat, dia merasa tersindir oleh pernyataanku. Biar saja. Salah sendiri terlambat ke Augustinerplatz tanpa memberi kabar. Bertepatan Erlan masam mukanya, pertunjukan musik muda-mudi usai.

“Ya… ya… maafkan aku, Norl.”

“Sebaiknya langsung saja, Er.”

“Hmmm…?”

“Soal Akshita.”

“Oh, hampir saja aku lupa,”

“Jadi bagaimana, Er?”

“Penampilanku bagaimana?”

Masih sempat-sempatnya memikirkan penampilan? Erlaaan…!!”

“Menurutmu sendiri bagaimana? Ayolah aku tidak ada waktu.”

“Tapi di sini baru pukul delapan pagi. Kenapa tidak memperhatikan penampilan dulu?”

Benar-benar anak ini. Dia pikir, aku tak ada urusan lain selain menemuinya di Augustinerplatz? Penampilan saja dia urus. Akshita lebih penting bagiku daripada mengurus penampilan Erlan. Iya, aku mengaku jujur dia memang berpenampilan bagus pagi ini. Memakai kaos rangkap jaket kulit mempunyai warna hitam manggis, celana buntung, dan sepatu kets membungkus kaki dia.

“Tidak ada yang salah dengan penampilanmu, Er. Kau jadi tidak memberitahuku?”

“Pertama kali kau bertemu dengan dia di mana?”

Bächle.

“Selain Bächle?”

“Di The Freiburger Münster.”

“Gereja arsitektur gotik di Münsterplatz ‘kan? Tempat paling sering kau bertemu dia di mana?”

“Di The Freiburger Münster.”

“Aku sepertinya menemukan titik cerah, Norl.”

“Apa?”

“Kau tadi bertemu sosok manusia mirip cinta pertamamu ‘kan?”

“Iya.”

“Kenapa kau tidak kulik informasi darinya dan ajak ke The Freiburger Münster?”

“Mana bisa, Er. Kau memberi cara yang masuk akal dong!”

“Kau bisa sabar tidak sih? Aku sedang berpikir.”

Erlan duduk di anak tangga, dia mengeluarkan sebuah buku saku dan pulpen dari kantong celana. Fungsi buku itu untuk apa? Mirip intelijen saja. Erlan membuka buku sambil menuliskan sesuatu, membentuk brain storming nama Akshita di tengah kertas. Membentuk banyak anak cabang hampir memenuhi lembaran buku.

“Norl,” panggil dia.

“Ya?”

“Inti masalahmu, bukan hanya hilangnya Akshita tapi wanita kau temui tadi. Benar?”

“Tahu dari mana kau soal itu?”

“Maximillian.” Erlan cekikikan.

“Pinguin itu seenaknya saja buka rahasiaku!”

“Ada masanya rahasia harus diungkap untuk petunjuk, Norl.” Dia berdeham. Kornea kepunyaan dia tersembunyi suatu ekspresi tak ku mengerti.

“Aku kurang suka kalau ada yang membeberkan dan membuka buku harianku.” Rupa mukaku amat malu. Dia ingin balas dendam rupanya? Nanti akan ku balas balik.

“Kau ingin menemukan cinta pertamamu tidak?”

“Sangat ingin.”

“Itu alasannya aku datang terlambat, Norl.”

“Ya… ya,”

“Maaf kalau aku lancang meminta Maximillian membaca buku harianmu.” Erlan merundukkan kepala.

“Sudah kejadian, Er.” Aku ikut duduk di sebelah Erlan. Melihat berbagai ide dia di buku membuat mata juling. Mau tak mau harus ku coba semua di mulai dari daftar paling pertama. Ide umum dilakukan sosok playboy.

“Kau amat mencintainya ya?“

“Tidak perlu aku jawab, Er.”

“Cara paling mudah kau datang lagi pada wanita mirip Akshita hari ini dan mengusut masa lalunya.” ujar Erlan menepuk bahuku.

“Tidak semudah tulisanmu,”

“Mana Norlorn ku kenal?! Norlorn panglima muda paling bijaksana dan tidak gampang menyerah?”

Perkataan Erlan bagai cambuk haribu di hati. Kenapa urusan asmara selalu rumit? Andaikan Maximillian tak tersesat, aku tak akan sibuk mengurusi perasaan lama tumbuh kembali. Sangat mengesalkan!

“Aku tahu. Tapi soal asmara ini terlalu antik, lebih dari karakter Dilan pada novel buatan Pidi Baiq,”

“Jangan menyerah, Norl.”

“Mengucap mudah, melakukan sulit.”

“Pasti kau akan menemukan kebenaran itu,”

“Aamiin.”

“Akan menjadi realitas yang terpajan kalau kau ikuti aturan permainan,”

“Semoga, Er. Aku juga berharap kebenaran akan dipamerkan semesta.”

“Semangat!” Erlan tersenyum.

Terima kasih, Er. Kalau tak ada kau, aku pasti makin pusing memikirkan perasaan tak jelas bersama sosok tak tahu di mana rimbanya kini.
”Kau melamun, Norl?” Erlan mengibaskan tangan pelan di mukaku.


“Tidak.” Aku menggeleng.

“Bagaimana kalau kita mengisi energi dulu sebelum melaksanakan misi?” tawar Erlan.

“Ide bagus.”

“Tidak lengkap rasanya kalau berkunjung ke Freiburg cuma di Augustinerplatz. Betul?”

“Kafe Kastaniengarten Biergarten di Kanonenplatz?”

“Itu dia maksudku. Ayo Norl!”

“Mari berangkat.”

Putensteak dan Apfleschorle , yummy…”

“Aku setuju, Er.”

Kami berpindah dari anak tangga meninggalkan jalanan tak bersuara. Lengang melagukan langkah keluar dari Augustinerplatz. Penyelesaian masalah sudah di tangan. Tak ada salahnya mencoba semua cara sampai titik penghabisan. Kita tak akan pernah menemukan kebenaran jika tak berusaha apa-apa. Jangan pernah berhenti menyelesaikan masalahmu kalau kau masih sanggup melewatinya.

No comments:

Post a Comment