19. Aku Kalah, Kau Tak Menang

“Aku serasa hidup di film fantasi.” ucap diriku mengeloskan pegangan tangan pada Tavin dan Adome.

“Ini bukan film fantasi, Nona Giovani.” Adome menggeleng, bak tak suka nagari mereka disamakan dengan dongengan.

“Maafkan aku. Soalnya, di tempatku nggak ada yang bisa kayak kalian.” Aku meringis kanyar.

“Itulah negeri kami, tidak ada yang tidak mungkin di sini.” jawab Tavin.

“Tavin, bajunya biar aku saja yang bawa. Boleh nggak?”

“Jangan Nona, nanti saya dimarahi pangeran.” Tavin menolak halus.

“Tenang, pangeran nggak akan marahi kamu. Aku jamin itu.” Aku menyambut, menepuk punggung Tavin yang sedikit regang.

“Tapi Nona….”

“Sudah aku bilang, tenang saja.”

“Nona yakin, dapat menjamin keselamatan saya dihadapan pangeran?”

Perbahasan Tavin condong pada kewaswasan, dia laksana menyangsikan kalimat tadi. Dari rautnya amat jelas, Tavin terlihat ada tekanan jiwa saat aku meminta pakaian padanya. Apakah Tavin pernah kena masalah dengan pangeran Taeglyn?

“Aku bisa jamin keselamatan kamu, Tavin.”

“Saya ragu dan itu tidak mungkin, Nona.”

“Kamu bilang, di sini nggak ada yang nggak mungkin, begitu ‘kan?”

“Iya… tapi….”

“Sudah deh, kamu tenang saja. Aku bisa jamin, pangeran nggak akan memarahi kamu.”

“Benarkah, Nona?”

“Aku bersumpah.”

“Tavin, aku rasa ada benarnya perkataan Nona Giovani tadi.” Adome menyebat perkataan.

“Apa maksudmu, Adome?”

“Kau lihat sikap pangeran saat kita datang?”

“Iya, kenapa?”

“Apa kau tidak merasa ada yang berbeda dengan sikapnya hari ini?”

“Hmmm….” Tavin kelihatan sedang merenung.

“Kau sudah menyadari, Tavin?”

“Iya juga. Biasanya, jika kita terlambat datang satu menit saja, ya ampun….” Tavin menimbuk kening.

“Memang, pangeran kenapa Tavin?”

“Sebetulnya, tidak ingin membicarakan pangeran. Tapi, kami juga penasaran dengan sikap pangeran tadi.” jawab Adome panjang.

“Kami semua, jika terlambat walau semenit saja, dia akan marah berjam-jam.” Tavin mengirik.

“Ya ampun….” Aku garuk kepala.

“Ada lagi selain itu, Nona.” Adome menimpali.

“Apa lagi?”

“Banyak. Membicarakan pangeran Taeglyn, satu buku tidak akan habis.”

“Lalu apanya yang selain itu?”

“Yang pasti, membuat kami pening kepala.”

“Oh ya?”

“Betul, Nona.”

“Contohnya?”

“Kami akan dipaksa menuruti permintaannya yang aneh-aneh.”

“Seperti apa itu?”

“Misalnya, menghitung jumlah sisik peliharannya, Slas-stissh salah satunya.”

“Ular penjaga menara berkepala enam itu, peliharaan pangeran?”

“Nona Giovani tahu Slas-stissh?” Tavin dan Adome berpandangan.

“Tentu aku tahu, siang tadi ke menara bersama pangeran.”

“Oh begitu rupanya.” Adome mengangguk.

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa, Nona Giovani adalah perempuan paling beruntung.”

“Maksudnya beruntung itu apa, Adome?”

“Selama ini, belum pernah ada sosok dari luar istana pergi ke menara diajak pangeran.”

“Oh ya?”

“Iya, dan itu baru Nona Giovani.”

“Kok begitu, Tavin?” Dahiku keremot.

“Sepertinya… pangeran sedang jatuh cinta.” respons Adome.

“Jatuh cinta?”

“Tidak seperti biasanya, pangeran bersikap begitu baik pada kami dan dia membelikan pakaian mahal di toko untuk Nona.”

Adome menyadari perubahan sikap pangeran pada dia dan pelayan lain. Apa yang dilakukan pangeran selagi dulu?

“Tadi pangeran bilang, aku harus membeli pakaian baru.”

“Jarang-jarang, pangeran mempergunakan hartanya untuk membelikan pakaian sosok baru dia kenal.” Tavin meracau berkelanjutan.

“Memang selama ini, nggak ada perempuan yang dekati dia?”

“Setahu kami, belum ada.”

“Oh ya? Dia itu kan tampan.”

“Ya memang, pangeran Taeglyn menjadi salah satu idaman wanita negeri.” Adome mengangguk.

“Tuh kan, kurang apa lagi kalau dia nggak punya kekasih?”

“Untuk itu, kami tidak tahu.”

“Kok, aku jadi penasaran cerita kalian tentang pangeran.”

“Pangeran lebih banyak mengurung diri di kamar. Keluar hanya saat tertentu.”

“Dia penyendiri?”

“Bisa dibilang begitu, Nona. Dia pangeran paling penyendiri.”

“Apa ada hubungan dengan kematian dari ratu?”

“Ratu? Dari mana Nona mengetahui semua itu?” Tavin melengung.

“Aku sudah bilang, pangeran mengajakku ke menara.”

“Oh iya, saya kira Nona tahu bukan dari menara.” Tavin tersipu.

“Ayo masuk ke dalam. Pangeran pasti sudah menunggu.”

Adome mengajak kami masuk ke dalam, berjalan di ruang utama lalu menaiki tangga dan menyusur hingga sampai di depan pintu kamar besar bercat putih bergaris emas. Aku baru siuman, kamar pangeran berada di lantai 3 istana. Lantai paling mewah dari yang lain. Ada 5 kamar tertutup di sana.

“Aku baru sadar, lantai ini paling glamor dibanding lainnya.”

“Jelas. Di lantai ini, ada empat kamar pangeran dan raja.” ujar Tavin dan Adome seia-sekata.

Pantas saja paling mewah, tempat peristirahatan raja juga.

“Nona, kami undur diri. Jika butuh bantuan, Nona dapat membunyikan bel seperti pangeran.”

Tavin dan Adome membungkuk, lalu meminta diri sambil menyodorkan pakaian baru dibeli padaku. Kemudian, mereka berjalan bersandingan menjauhi kamar. Aku mengetuk pintu kamar… tak ada jawaban. Ke mana pangeran Taeglyn? Ku menoleh ke kanan dan kiri, tidak ada siapa-siapa.

Mendadak, ada sepasang tangan memagut panggul dari belakang.

“Kau sudah pulang, Soora?” tanya sosok di belakang.

“Ya ampun, Anda mengagetkan saya Taeglyn.” Aku mengelus dada, suara dia dekat, membuat jantung berhenti sesaat.

“Maaf,”

“Nggak apa-apa.”

“Bagaimana perjalananmu?” tanya dia. Kepalanya menengok padaku.

“Menyenangkan. Tapi, saya ada hutang dengan Tavin dan Adome.”

“Hutang apa dengan mereka? Biar aku yang akan bayar.”

“Bukan hutang uang, cuma hutang penjelasan tentang negeri saya.” Aku tersenyum.

“Ku kira, kurang untuk membeli pakaian.”

“Nggak, Taeglyn.”

“Kau mengangetkanku.”

“Saya tadi belum selesai bicara, Anda sudah memotong.”

“Maafkan aku.”

“Nggak usah minta maaf.”

“Berapa pakaian yang kau beli?”

“Hanya tiga.”

“Kenapa tidak membeli yang banyak?”

“Takut kurang. Hehehe…”

“Kau membeli di mana, Soora?”

“Kalau tadi di Nona Allie.”

“Kau beli di tokonya?”

Aku mengangguk.

“Aku juga lupa bilang pada Tavin dan Adome untuk menyampaikan ke Nona Allie,”

“Menyampaikan apa?”

“Dia bisa lebih banyak memberikan pilihan untukmu.”

“Ini sudah cukup, Taeglyn dan saya suka pilihan dari Nona Allie.”

“Jika kau suka, tidak apa-apa.”

“Taeglyn, Anda habis dari mana?”

“Aku habis menemui Ayah. Kau sudah dengar, ‘kan sebelum berangkat?”

“Oh begitu.”

“Kenapa?”

“Membicarakan pernikahan kita.” Dia kelihatan gembira, netra eigendom hijau terang Taeglyn seolah-olah berhasrat ingin cepat melangsungkan perikatan antara aku dengannya.

“Pernikahan?”

“Iya. Kau tak suka, Soora?” Suaranya terdengar lemas.

“Bukan tidak suka, maaf… sebelumnya saya sudah menerima pinangan Norlorn,” jawabku.

Ya ampun… kenapa jadi begini? Diantara dua pilihan sulit ku temui..

“Kau bilang… ingin bersamaku?” Mata pangeran Taeglyn merah menyahang, ibarat tak rela oleh jawabanku.

“Saya memang ingin bersama Anda, tapi… saya juga nggak ingin mengecewakan Norlorn,”

“Soora… ku mohon,”

“Tapi Taeglyn…,”

“Baiklah, tidak apa-apa. Semua keputusan hanya ada di tangan Ayah dan dirimu.”

“Maafkan saya, Taeglyn.”

“Namun… aku tidak akan menyerah begitu saja untuk mengalah. Akan ku pastikan, ku menangkan hatimu. Ingat itu!” Taeglyn membuka pintu dan masuk ke dalam.

Pintu kamar dia menangkup basau, menimbulkan suara beradu amat kencang. Bunyi pintu yang menggantikan kemurkaan si putra mahkota. Apa yang mesti ku lakukan? Kalau Norlorn tahu diriku mengandung calon anak pangeran, bagaimana perasaannya? Apakah dia akan kecewa berat dan mengusirku?

Daripada berpikir aneh-aneh, lebih baik segera turun mencari kamar Norlorn dan bilang jujur apa yang dilakukan pangeran Taeglyn selama keluar dari kamarnya. Semoga, Norlorn dapat mengerti posisiku saat ini dan memberikan solusi paling baik.

Aku melintas koridor lantai 3 mengikuti arah Tavin dan Adome waktu pamit. Panjang juga lorong ini. Ku pikir, lebih panjang dibanding lorong di bawah. Posisi tangganya saja, hampir di ujung dinding. Lumayan juga jaraknya dari kamar pangeran ke sini.

Kakiku menuruni semua anak tangga dengan hati-hati. Selain tinggi, anak tangga lantai 3 sedikit cerun dibanding dari lantai dasar. Setelah sampai lorong, lekas berlari ke kamar Norlorn. Ku lihat, pintu kamar dia terbuka. Apakah Norlorn ada di dalam?

“Noey….” panggilku.

“Dari mana saja kau?!” hardik ia dari sofa kamar.

“Aku habis beli pakaian,”

“Beli pakaian sendiri atau dibelikan pangeran?” Pertanyaan Norlorn lebih mirip cibiran dibanding pertanyaan biasa.

“Baiklah, aku akan jujur. Semua ini dibelikan pangeran,”

“Bagus sekali… seperti itukah sikap calon istri pada calon suaminya sendiri?!”

“Apa maksud kamu?”

“Jangan pura-pura bodoh! Aku tahu apa yang kau lakukan dengan pangeran Taeglyn!”

“Norlorn, tolonglah. Aku lelah, ingin istirahat.”

“Kenapa tidak istirahat di kamar pangeran saja? Kenapa kau ke sini!?”

“Justru aku ke sini, ingin bilang ke kamu,”

“Bilang apa? Kau lebih nyaman dengan pangeran Taeglyn!?”

“Bukan,”

“Lalu?” Alis Norlorn terangkat.

Aku merisik ke telinga dia menceritakan apa yang terjadi dari pertama aku pergi hingga pulang. Norlorn tertegun, tak bicara apapun setelah selesai mendengarkan ceritaku. Roman ia geram, serupa mencagak kemarahan.

“Begitulah ceritanya,”

“Aku tidak terima!” Norlorn bangkit dari sofa.

“Kamu mau ke mana?” tanyaku menarik tangan dia.

“Menghadap pangeran Taeglyn sekarang juga!”

“Jangan!”

“Kenapa?! Dia jauh lebih menjijikan dari gigolo!”

“Dia itu saudara kamu, bukan?”

“Dia memang saudaraku, tapi aku tidak terima dia mempermainkan dirimu!”

“Noey… jangan, dengarkan aku.”

“Dengarkan apa lagi?”

“Kalau kamu menghadap dia, solusi nggak akan ada!”

“Tidak ada bagaimana?! Solusi paling tepat adalah menghadap dia!”

“Kalau kamu menghadap dia, apa kamu yakin dia akan mendengarkan kamu?”

Seketika, Norlorn menyerana. Tampak memenungkan sesuatu dalam netra ia. Dia kembali duduk di sofa, mengerbuk sosok yang mencegah dia keluar kamar.

“Kau benar, Gigi.” Norlorn menunduk.

“Jika kamu menghadap dia, itu sama saja dengan aku kalah, kau tak menang.” ujarku menenangkan Norlorn, hawa sentimental dia masih sedikit timbul.

“Aku tidak mengerti apa maksud perkataanmu, Gigi.”

“Percuma, pangeran nggak akan mengakui kekalahannya sama kamu.”

“Huh, iya juga! Dia selalu memakai kekuasaan untuk egonya.” Norlorn menarik napas.

“Kalau nggak menerima dia, aku akan di penjara, Noey.”

“Benar-benar gila dia itu!”

“Aku yakin, makan malam nanti akan dibahas soal ini.”

“Semoga saja,”

“Pasti, raja akan memberikan solusinya untuk kasus yang terjadi.”

“Tahu begini kejadiannya, aku tidak akan membolehkanmu keluar dari kamar!”

“Maaf, semua ini salah aku.”

“Kau nggak salah, semua memang sudah terjadi.” Norlorn menggeleng.

“Maaf….”

“Sudahlah, tidak apa-apa. Setiap makhluk ciptaan Tuhan, mempunyai sebuah benang merah saling berhubungan dengan satu sama lain.” Norlorn berkata cepat.

“Iya kah?”

“Benang merah yang amat panjang dan sedemikian kelut-melut. “

“Aku memang pernah dengar itu,”

“Benang merah itu saling berhubungan dengan jodoh masing-masing. Jika kita berjodoh, benang itu akan tetap terhubung walau ada yang berusaha memutusnya.” sambung Norlorn.

“Oh ya, kamu pernah bilang kayaknya.”

“Sepetinya tidak, baru aku bilang hari ini. Mungkin kau dengar ucapan lain.” Norlorn mengangkat bahu.

“Mungkin, tapi serasa kamu yang bilang.”

“Anggap saja aku pernah bilang begitu. Kau tidak usah takut, Gigi.”

“Aku sudah mengecewakan kamu.”

“Tidak apa-apa. Jujur lebih baik dibanding pergi meninggalkanku begitu saja.”

Norlorn merangkup tubuhku rapat, tapi… kenapa pelukan itu tidak seperti sebelumnya? Pelukan yang… sulit ku jelaskan. Rasanya seperti pelukan perpisahan. Apakah aku dan Norlorn tidak berjodoh?

Tuhan… berikanlah aku petunjuk siapa jodohku nanti. Tunjukanlah Tuhan.

“Noey….”

Dia tetap diam dalam dekapan, membuat makin bingung. Apakah ini pertanda, bahwa benang merah milikku bukan terhubung dengan Norlorn seperti ku kira sebelumnya?

No comments:

Post a Comment