14. Before Wedding


Melembak dabat idiosinkratis berhimpun di udara, sosok mereka tak kalah ajaib dari karangan imajinasi komidi gambar. Banyak mirakel belum berburai dalam keelokan num sarwa, sungguh agung gubahan-Nya nan Dia wujudkan. Norlorn kembali mengunjukkan kemahiran mengendalikan Simurgh. Sang Simurgh patuh mengekor lagam, merendah, santak merabung sesuai komando.

“Kamu hebat….”

“Terima kasih untuk pujianmu. Keterampilan memandu Simurgh sudah dilatih sejak kanak-kanak di kerajaan,” Norlorn menceritakan pengetahuannya.

“Kelihatan keren,”

“Terima kasih.” Norlorn tersenyum.

Lansekap cakrawala menjelma jadi vista adiwarna, rimba fantasi terlihat dari atas. Flora berpoleng hijau berpadu serta bersama tanaman bercorak fidah. Deraian angin bertumbukan menerpa paras kami, merumrum rambut ikal dan rambut berwarna perak milik Norlorn. Segar saat mengenai muka, rok pakaianku ikut bergelebar. 

“Pegang tali kemudi yang erat… sebentar lagi kita sampai di wilayah barat.” Norlorn menuntun.

Tangan berpegang remi kemudi amat kuat dibantu bimbingan Norlorn. Kemudian, Simurgh melanting melontarkan deram seraya mengangkasa merejang bongkahan mega putih. Kepermaian makrokosmos dunia Norlorn membuatku bersyukur pada kebesaran-Nya, hidup berdampingan dengan bangsa peri, makhluk surealisme, bersanggit dalam satu dunia.

Radai Simurgh merambak, melebar… menjajari bagian kanan dan kiri. Norlorn kian persisten beriringan tali lagam. Sang media tunduk menghunjam ringan, pertanda pengembaraan telah sampai tujuan. Kemudian, keempat cakar gagah telah membumi di suatu tempat.

“Kita telah sampai, Gigi.” sahut Norlorn.

Simurgh menunduk dan menurunkan salah satu sayap untuk injakan melungsur. Norlorn mencopot tali kendali dari moncong sambil turun pelan-pelan menandu badanku. Sesaat kami turun, kepak Simurgh mengatup diiringi auman lunak pada telinga.

Norlorn mengelus leher Simurgh dengan akrab, kibasan ekornya bak gestur bahwa kewajiban membawa Tuan Muda dan (calon) kekasihnya selesai. 


Dia mirip anjing lucu berbadan raksasa.


Norlorn menutur salam perpisahan, terlihat dari sikap Simurgh yang manja. Lalu, Simurgh meninggalkan kami di gerbang teritori.

“Ayo,” Norlorn mengajakku berjalan.

“Siapa nama Simurgh temanmu?”

“Itu tidak penting.” Norlorn menjawab datar.

Ada penjaga gerbang bertubuh tegap dan bertampang galak di gapura. Dadaku berdegap-degap memandang raut tak bersahabat pada pengawal. Akan tetapi, wajah para pengawal mendadak ramah setelah Norlorn mendekat. Semua memberi hormat dan mempersilakan kami masuk. Kok bisa?

Tangan Norlorn mengganjur tanganku agar menyertai ia memasuki distrik. Lansekap wilayah ini lebih arkais sekaligus adiluhung. Bertema sama, era pertengahan. Cuma berbeda dalam rancang bangunannya. Di sini, arsitektur bernuansa Eropa lebih menghayati daripada kawasan ku singgahi. Penduduknya juga mengikuti, berkostum ortodoks. 


Menawan!


Perwakilan ketakjuban singkat untuk potret zona barat. 

“Noey…”

“Ada apa?” Dia menengok.

“Di sini lebih terasa luhur bangunan dan suasananya,” Aku mengemukakan anggapan.

“Tepat sekali.” Norlorn membenarkan.

“Kayak sentral sejarah deh. Betul nggak?” tanyaku menerka.

“Kau memang layak disebut peramal.” Norlorn bersuara, matanya mengedip sebelah disertai senyum.

“Kamu tuh mirip penguntit. Tahu dari mana?”

“Bagaimana aku tidak tahu, Nona? Kau menyimpan semua alat ramal di kamarmu.” Dia mencibir.

“Astaga, ku kira kau betul-betul tahu aku pembaca Tarot.” kataku menepuk dahi.

“Alatmu mencolok. Siapa yang tidak tahu?”

“Ya… ya,”

“Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan, nanti kau bisa bertanya pada Erlan, temanku.” Norlorn melenggang santai menjejaki jalan.

“Noey… tunggu!” Aku menyusul dengan langkah lebar.

Gelagatnya, Norlorn akan bertandang ke suatu tempat. Kaki ia sudah menggegas jauh. Sekuat tenaga aku bercempera menggabai tubuh tinggi Norlorn dalam kerumunan penduduk. Rupa masyarakat terlihat puspawarna, tak hanya berwujud manusia atau makhluk bertelinga cerucup mirip Norlorn. Ada juga gerombolan pak belang berjalan dengan dua kaki memakai kostum sebagaimana mualim. 

Dari tengka 2 meter, aku melihat Norlorn bersama gerombolan harimau seperti ku lewati tadi. Mereka tampak akrab. Jadi ingin tahu, hubungan Norlorn dengan para gerombolan macan itu apa? Segera ku lanjut langkah agar tak kehilangan jejak. 

Jisim Norlorn berotasi ke belakang, dia mengernyit dahi saat melihat diriku tergabas. Aku meringis melihat tilikan mata birunya. Tangan Norlorn menggandeng, membuat para harimau bertanya-tanya.

Wer ist diese frau?” tanya salah satunya, harimau tutul bermata pekat tajam melirikku.


Er ist mein geliebter, Giovani.” jawab Norlorn.

Diese Frau ist dein geliebter?

Ja. Deshalb bringe ich ihn hierher.” Norlorn bereaksi, rona merah muda membura di pipi ia.

Anscheinend, der Liebhaber, den du verwirrt bist. Diese Frau kann Queenderenia Sprache oder Deutschland sprechen?” tanya macan lain menunjuk kebingungan terpampang di wajahku.

Mein geliebter kann nicht Queenderenia oder Deutschland sprechen.

Dann?

Kann nur in Indonesien sprechen.

“Baiklah jika begitu, sesuai asal kekasihmu.” jawab salah satu macan yang berbincang dengan Norlorn.

“Gigi, perkenalkan. Mereka adalah guruku dulu sewaktu di sekolah,” tunjuk Norlorn pada keempat macan yang tampak santun. 

“Selamat siang. Salam kenal.” tuturku mengatakan salam.

“Salam kenal. Saya Geleof.” ucap salah satunya, sosok harimau membawa buku.

“Salam kenal juga, Tuan Geleof.” 

“Salam kenal, senang bertemu denganmu.” ucap Tuan Geleof. 

“Saya Seremeswaru,” cakap macan lainnya, sosok berbulu warna kelabu kecoklatan dengan gambaran seperti awan dan bintik hitam di kepalanya. 

“Salam kenal, Tuan. Apakah Anda berasal dari negara saya?” pertanyaan mencelat langsung.

“Kau bisa menebak saya?”

“Mungkin… Anda dari Sumatra?” Aku menerka.

“Luar biasa kemampuanmu, Nona.” jawab dia bertepuk tangan.

“Terima kasih. Saya hanya menebak dari totot Anda.” Aku membalas jawaban.

“Pantas saja, salah satu murid kebanggaan sekolah begitu bersemangat memperkenalkan dirimu.” Tuan Seremeswaru batuk-batuk kambing, menyerupai ledekan.

“Guru Seremeswaru tak meledekku, ‘kan?” Norlorn kesipuan. 

“Saya tidak meledekmu, muridku.” tangkis Tuan Seremeswaru.

“Sudah-sudah, lagipula murid kita ini sudah besar. Dia berhak mempunyai kekasih, bukan?” tanya harimau sejenis Tasmania.

“Kau benar, Slishsyl.” Dia menyetujui, sosok harimau berbulu putih mengangguk. 

“Oh ya Gigi, ini Adik Saya Caetō,” ucap harimau serupa ras Tasmania menunjuk macan putih.

“Salam kenal, Gigi.”

“Salam kenal, Tuan Caetō.”

“Norlorn….” Panggil Tuan Caetō.

“Ya, guru?”

“Selanjutnya, kalian mau kemana?”

“Aku mendapat kabar beberapa jam lalu, Ayah sedang berada di kerajaan Fütrchland.“ 

“Baiklah, hati-hati di jalan. Jaga kekasihmu.” sahut mereka kompak.

“Baik guru, selamat tinggal.” Norlorn membungkukan badan umtuk undur diri, begitupun diriku. 

Rombongan belang gembong mengibarkan kakas mereka, laksana salam berpisah dari kejauhan. Kami membalas sebentar sembari melanjutkan kunjungan dari satu bagian ke bagian lainnya. Konstruksi masih terpandang tegak sekalipun spektrum Eropa kuno. Adapun bangunan obsolet berdiri kokoh pada salah satu sudut. Sampai akhirnya, kaki kami menginjak adimarga puri masyhur. 


au apa Norlorn membawaku ke sini?


“Aku tahu apa yang kau pikirkan.” tebak Norlorn.

“Lalu?”

“Kau akan tahu sendiri nanti.” Norlorn menyahut pendek.

“Cih….”

Tak banyak omong, dari jarak 2 meter, para penjaga membuka gerbang istana dan mengizinkan kami masuk ke halaman puri. Seterpandang apa Norlorn di sini? Begitu mudah memasuki istana wilayah lain. Atau adakah hubungan dengan pangkat Ayahnya?

Suket pelataran kastel bercorak hijau kebiruan, seolah-olah mengilustrasikan daerah ini. Lebih hangat daripada wilayah Norlorn, tempat aku menghabiskan waktu bersama dirinya di kamar istana. Tempat ini tidak kalah bersahaja dari kerajaan Norlorn. Rupanya, ada seekor Simurgh sedang tidur pulas sebelah pilar istana berkelir perunggu pada sisi kanan dan kiri. 

Norlorn mengajakku lebih dekat ke tangga luar istana untuk melihat dua sosok sedang berlatih memanah. Salah satu sosok itu bertubuh tinggi, bersurai merah jingga, berwarna kulit secerah syamsu berpakaian mirip kostum Norlorn. Sosok terakhir lebih besar dan bertubuh tegap, berambut panjang sepunggung berkelir abu selaka berponi belakang. Berseragam lebih kardinal namun gagah. Sosok pria terakhir memiliki kemiripan dengan Norlorn, mulai dari wajah hingga tatapan pupil mata hijau milik ia. Wajahnya terlihat tua, tetapi kelihatan mulus dan tak kalah tampan dengan Norlorn atau laki-laki berambut warna oranye. Kelihatan sekali keseriusan ia membimbing laki-laki muda berkulit kuning mentari untuk jemparing. 

***

Norlorn menyuruhku tetap menunggu di tangga luar istana. Dengan cepat, Norlorn mendatangi dua sosok sedang berlatih di halaman. Dari sini, telinga tak dapat menyimak omongan apa-apa. Hanya tahu, mereka berdialog penuh intensitas. Andai dapat mendengar, sudah pasti akan tetap tidak mengerti obrolan ketiga sosok di pekarangan.

Hingga… beberapa saat setelah selesai berbincang, Norlorn mengajak diriku sambil mengintroduksi pada kedua sosok tadi. Forsa dua makhluk terasa ramah, dada tidak gayang saat dekat kedua sosok baru ditemui siang ini.

“Halo,” sapa laki-laki rambut layung.

“Halo juga.”

“Aku Erlan.” Pemuda berkulit gading krem berambut merah jingga memperkenalkan diri.

“Salam kenal, Erlan.” kataku meladeni perkenalan.
Kemudian, telunjuk Norlorn tegak terangkat pada pria berambut gondrong berperawakan maskulin tersenyum penuh arti. Norlorn berujar, “Ini Ayahku.”

“Selamat siang, Tuan.”

“Selamat siang, Gigi. Saya Nyvorlas,” Dia tersenyum, suaranya membahana.

Aku sekonyong-konyong bingung meneruskan obrolan bersama Tuan bersurai panjang berwarna selaka. Jadi, pria tegap ini memang Ayah Norlorn? Ihwal paras, tidak kalah ranggi dari penggambaran game dan film. Bahkan, kegagahannya lebih mencolok daripada aktor film Hollywood.

“….”

“Tak perlu kaku, Nak. Rileks saja,” ucap Tuan Nyvorlas.

“Iya Tuan.” kataku beranggut.

“Tenang, Ayah tidak akan memanahmu.” Norlorn mengaru.

Aku gelagapan. Tuan Nyvorlas menepik pundakku lembut, dia terbahak akibat tingkah konyol seorang perempuan seraya menanya,
“Jadi… dirimu yang membuat putraku bertengger hampir dua hari di kamarnya?” Pertanyaan Tuan Nyvorlas terbetik bak ejekan. Tangan ia mengeret Norlorn.

“Itu….” Diri ini nyengir, semoga tidak ada laporan kalau diriku sudah bercumbuan bersama putranya.

“Tak usah malu, Nak.” Tapak tangan ia menyentuh bahuku, terasa hangat dan penuh kasih.

“Aku sebagai orang tua… merasa suka cita.” Belaian Tuan Nyvorlas pada punggung membuat merinding. Ia menyambung, “nyaris tiga ratus tahun, anakku tak pernah mengenalkan puspa hatinya.”

“Ayah….” Norlorn terpegun.

“Tuan…”
Tuan Nyvorlas melirik kami berdua, bibir ia melengkung ke bawah. Biji mata hijau cemerlang merelap. Ada apa dengan Tuan Nyvorlas?

“Ketahuilah, Nak….” Bibirnya membisu selintas, memandang kami silih berganti. Lalu, dia berujar, “tak ada satupun makhluk sempurna, termasuk bangsa kami. Hanya Tuhan semesta alam yang memiliknya.”

“Apa maksud Ayah?” Norlorn menceletuk.

“Anakku… setiap makhluk ditakdirkan untuk saling melengkapi.” Tuan Nyvorlas memberi sambutan.

Aku dan Norlorn bertatapan, iras Norlorn berubah merah muda sekian kali.

“Aku tahu, kau bukan seperti manusia kebanyakan.” Suara Tuan Nyvorlas terdengar lembut.

“Ayah….” Norlorn terkesima.

“Putraku, kau telah menemukan wanitamu. Jaga dia,” Tuan Nyvorlas mengamini.

“Ayah, bolehkah aku…”

“Bersegeralah….” Tuan Nyvorlas sumringah.

Wirst du meine Frau sein?” Norlorn bersimpuh, tangannya menggenggam kedua tanganku.

“Hn?” Alisku terangkat.

“Mau kah kau menjadi istriku?” Mata Norlorn menatap dalam, terlihat sungguh-sungguh.

“Uhuk….” Erlan menginterupsi, mendehem menertawakan.

“Kau kapan menyusul putraku?” Tuan Nyvorlas tergelak, bagaikan membela putranya.

“Paman jangan meledekku, dong.” Erlan tersipu.

“Koleksi teman perempuanmu pada di mana?” Tuan Nyvorlas mengias.

“Paman….” cakap Erlan.

“Jangan cuma koleksi perempuan, pedang dan panah saja yang bertambah, Er.” Norlorn terbahak.

“Huh….” Erlan mendengkus.

“Kau ini kan banyak teman perempuan, ambil saja satu.” ledek suara berat Tuan Nyvorlas.

“Sudah cukup menyindirnya, Paman!” Erlan senderut.

“Makanya, kau jangan playboy.” Tuan Nyvorlas mencibir.

“Ya…ya,” Bibir Erlan menyongyong.

“Sudahlah Ayah… lebih baik kita tunggu saja undangan Erlan ke kerajaan kita.” celetuk Norlorn.

“Hey! Undanganmu dulu ku tunggu!” seru Erlan.

“Sebentar lagi,” Norlorn menjulur lidah.

“Ku tunggu,” tutur Erlan.

“Anakku….” panggil Tuan Nyvorlas, kepala ia menengok padaku.

“Ya Tuan?”

“Apakah kau bersedia mendampingi putraku?”

“Saya bersedia mendampingi Norlorn dan menerima kelebihan serta kekurangan Norlorn.” jawabku. Tidak tahu mengapa, kalimat itu keluar spontan dari mulut.

“Sebagai Ayah, aku ingin salah satu anakku bahagia bersama pilihannya.” jelas Tuan Nyvorlas, dia menyatukan tanganku dan Norlorn.

“Ayah… benarkah?” Norlorn tampak bersemangat.

“Aku memberkati kalian, bersegeralah menikah.” ucap Tuan Nyvorlas, bibir ia merekah.

“Ayah, terima kasih.” Suara Norlorn bergetar, tampak tersentuh.
Tuan Nyvorlas mengangguk. Norlorn langsung berjingkrak memeluk Ayahnya, disusul mendekap Erlan erat hingga Erlan melayangkan protes.

“Lepaskan! Aku masih normal,” Erlan menentang.

“Maafkan aku…”
Tuan Nyvorlas mengakurkan dua pemuda, “Alangkah lebih baik, kau dan Gigi kembali ke istana untuk memberitahu Kakakmu.” Perintah Tuan Nyvorlas.

“Baik Ayah, akan ku beritahu Kak Nueleth perihal pernikahan dengan Gigi nanti.” Norlorn menyepakati.

“Selamat jalan. Tetaplah berhati-hati dan jaga wanitamu.”

Norlorn menangguk. Dia mengeluarkan alat peniup dari tas, meniup ke angkasa berona biru gemilang. Bunyi alat peniup bergaung pada setiap mata angin. Tak lama, terdengar auman dari selatan istana. Aliran angin berdesik saat Simurgh sampai. Simurgh menukik tenang di halaman, salah satu sayapnya menurun, memberi isyarat agar kami segera menaikinya. Norlorn mendaki hingga kepala, sambil memasang tali kemudi. Kemudian, Norlorn turun dari sayap, mengulurkan tangan membantu diriku naik. Setelah siap, Simurgh bangun mengambil ancang-ancang, akhirnya….

Melangit membawa kami melintasi dirgantara sampai tempat tujuan, kembali ke istana.

No comments:

Post a Comment