25. Kehadiran Hikaru dan Reira


“Maka itulah tercipta waktu, Taeglyn.” tuturku.

“Ya. Aku setuju. Ngomong-ngomong, kau tidak merindukan Kakakmu?” 

“Pasti rindu. Sebentar lagi, dia mungkin sampai.”

“Dia akan sampai. Aku tahu Norlorn sempat marah, tapi tidak dengan paman Nyvorlas.” kata Taeglyn.

“Iya ya. Mau nggak mau, Norlorn harus tetap menjemput karena cuma dia yang tahu keberadaan Reira dan Kak Hikaru.” Aku menimpali ujaran Taeglyn.

“Aku juga ingin tahu seperti apa wujud sebenarnya dari Reira,”

“Untuk saya, dia menarik.”

“Oh ya?” Mata Taeglyn mencelang.

“Iya, bagi saya.”

“Kau mengenal dia?”

“Amat mengenalnya. Dia memang teman Kak Hikaru sewaktu jadi hosuto dulu.”

“Oh ya? Satu tempat bekerja?”

“Dulu. Sekarang nggak lagi. Kak Hikaru sudah ikut bergabung dengan Group Dandy.”

“Oh begitu. Sekilas, aku lihat di matamu ada sosok laki-laki lain. Rasanya dia tidak asing di mataku,”

“Seperti apa ciri laki-laki Anda lihat?”

“Ciri paling menonjol, dia mirip penduduk wilayah timur. Berambut warna blonda bercampur putih meta.” jawab Taeglyn. 

“Ciri lain?”

“Berkulit langsat putih, aliasnya berwarna cokelat bersamaan manik matanya.” Taeglyn mengelus dagunya.

“Itu Reira, Taeglyn.”

“Reira?!”

“Betul.”

“Jadi dia anak angkat…” Taeglyn terguncang sesaat.

“Ya, sepertinya Yang Mulia nggak bohong dia mempunyai putra angkat.”

“Astaga,”

“Ada apa, Taeglyn?”

“Dia… adalah teman sekolahku dulu. Aku baru ingat sekarang!” Taeglyn terkesiap.

“Teman sekolah?!”

“Aku tidak tahu nama dia adalah Reira. Di sekolah, lebih dikenal dengan julukannya.”

“Julukan?”

“Iya, dia mempunyai julukan yaitu Sang penyegel.”

“Maaf, di mana Anda bersekolah?”

“Wilayah barat.”

“Berarti satu sekolah dengan Norlorn?”

“Tentu saja. Kau tidak perlu tanya seharusnya.”

“Lalu, Reira?”

“Awalnya, tidak tahu dia berasal dari mana. Aku pikir, dia penduduk wilayah timur biasa bisa bersekolah dengan darma siswa.” balas Taeglyn mencacau.

“Darma siswa, apa itu?”

“Dia bersekolah dengan cuma-cuma berkat keahlian dan kepandaiannya.” 

“Wow, maksud Anda dia dapat beasiswa?”

“Mungkin. Aku tidak paham istilah dari duniamu. Yang jelas, dia tidak membayar sepeserpun hingga lulus sekolah.” jawab Taeglyn menyunggi bahu.

“Hebat ternyata Kak Reira.” 

“Rakyat biasa, tidak akan bisa bersekolah di wilayah barat.”

“Kenapa tidak bisa?”

“Biaya yang mahal. Jika tidak ada keahlian, kau tidak akan bisa menjadi murid.”

“Sepertinya, saya pun nggak akan bisa berkuliah lagi.” Aku kalut ketika mengenang masa lektur belum selesai tetapi sudah harus pergi meninggalkannya.

“Pendidikan akhir maksudmu?”

“Mungkin iya jika di sini.” 

“Kau ingin meneruskannya?”

“Sejujurnya saya ingin, tapi saya belum mempunyai dana cukup.”

“Kau tidak perlu khawatir, aku akan membiayai semuanya jika kau mau.”

“Nggak usah repot-repot pangeran. Biaya kuliah di dunia saya itu mahal,” Aku menggeleng.

“Atau begini saja, bagaimana kalau kau menempuh pendidikan akhir di negeri ini. Bagaimana?”

“Caranya?”

“Nanti kau akan mengikuti tes sesuai keahlianmu.”

“Saya rasa, saya nggak punya keahlian apa-apa.”

“Menulis cerita?”

“Itu bukan keahlian. Tapi hobi.” Aku mengelak.

“Aku tahu, kau menyembunyikan kemampuanmu.” Dia tertawa kecil.

“Kemampuan apa, Taeglyn? Saya nggak punya kemampuan apa-apa.”

“Kau pikir, aku tidak tahu apa yang tersembunyi dari dirimu?”

“Sumpah. Saya nggak punya kemampuan apa-apa!” jariku membentuk tanda perdamaian, simptom sekaligus reaksi tanda tanya Taeglyn.

“Aku tahu apa yang kau lihat di menara. Jangan mengelak, Soora!”

“Tapi itu….”

“Aku paham, kenapa kau tidak ingin mengatakannya. Namun, kemampuanmu harus diarahkan.” Taeglyn mengaru. 

“Betul juga. Kak Reira juga pernah berkata seperti itu pada saya,”

“Kemampuanmu sangat bagus, Soora.”

“Sebetulnya, saya kurang yakin karena nggak tahu bagaimana cara pelatihannya.”

“Oleh karena itu, apakah kau mau menempuh pendidikan akhir di negeri ini?”

“Lalu, lulusannya menjadi apa?”

“Kau bisa membantu para peramal yang sudah tua di negeri ini.”

“Wah, bagaimana ya?” Aku mencabau kepala, serasa putus akal dibuatnya. Jika menempuh pendidikan akhir di sini, apakah dapat berguna di duniaku? Bagaimana dengan sistem pendidikannya? Memakai kurikulum apa?”

“Kau tidak perlu terburu-buru menjawab. Pikirkan saja dulu.”

“Saya hanya bingung dengan sistem pendidikan di negeri ini.”

“Kau tidak perlu bingung, kau pasti bisa mengikutinya nanti. Teman Kakakmu saja bisa, kenapa kau tidak?”

“Entahlah Taeglyn. Saya belum yakin.” Aku menggeleng.

“Aku mengerti, Soora.”

“Dan, jika saya menempuh pendidikan di negeri ini, apakah harus menetap?”

“Tidak perlu. Kau bisa tetap kembali ke duniamu sesuai jadwal institusi pendidikan di tempat kau belajar.”

“Topik yang menarik.”

“Menarik soal apa, Soora?”

“Di tempat tinggal saya, setiap mahasiswa atau mahasiswi baru penempuh pendidikan akhir ada kegiatan bernama Ospek.” 

“Ospek?”

“Penerimaan murid baru. Klaimnya sih, untuk mempererat hubungan antara senior dan junior.”

“Lalu?”

“Tapi nyatanya, tidak ada hubungan untuk mempererat hubungan antara keduanya.”

“Hn?”

“Hanya ajang untuk balas dendam.”

“Balas dendam?”

“Iya Taeglyn.”

“Apa alasannya acara itu bisa dijadikan ajang balas dendam?” Dahi Taeglyn bekernyut. Bisa jadi dia tercengang mengindahkan penjelasanku.

“Persisnya saya nggak tahu. Namun budaya itu sudah ada sejak dulu. Yang saya rasakan selama satu semester amat menyebalkan!” seruku plus mendengkus.

“Seperti itu.”

“Iya Taeglyn,” Diriku mengiyakan.

“Jika kau menempuh pendidikan akhir di negeri ini, ku jamin tidak ada ospek menyebalkan.” celetuk dia meringis. 

“Anda serius, Taeglyn?”

“Aku serius. Tidak ada ospek dan kau dapat belajar dengan tenang.” Kedua lengan jatmika milik dia makin intim memaut pinggang. 


Ya ampun, pangeran yang satu ini hobi sekali membuat manusia hampir kehilangan napas terakhirnya. Kuat sekali pelukan dia.


“Tt… aeglyn…”

“Soora, kau kenapa?”

“Saya hampir nggak bisa bernapas karena pelukan Anda, Taeglyn.”

“Ups… maaf,” Dia tergelak lebar sambil melandung pelukannya. 

“Anda nggak ingin membuat saya mati, ‘kan?”

“Maafkan aku, Soora. Lagipula, mana bisa aku membuat makhluk lain mati? Memangnya aku Tuhan?”

“Kalau bela diri?”

“Itu lain lagi jika tanpa sengaja lawanku kalah atau mati, semua sudah titik kata Tuhan.” 

“Anda betul, Taeglyn.”

“Aku tidak pernah berpikir akan berkompetisi dengan saudaraku sendiri.” Taeglyn meruntun napas, biji mata dia merepresentasikan tidak mau menuruti adat.

“Maafkan saya, Taeglyn.”

“Kau tidak salah, aku yang salah karena menyukaimu….”

“Ini bukan tentang salah siapa, tapi adat dan saya sebagai tamu harus menghormati aturan yang berlaku,” Aku menjelaskan seperlunya.

“Jika itu keputusanmu, aku tidak dapat berbuat apa-apa.”

“Mau tidak mau. Sejujurnya, saya juga berat untuk memilih. Namun, belum ada cara selain turnamen.”


***



Beker menyuratkan jam 8.30 malam. Belum tampak pemberitahuan ketibaan dari Kak Hikaru dan Reira. Ke mana mereka? Jika Tuan Nyvorlas salah jalan sepertinya tidak mungkin, atau sebetulnya mereka sudah datang namun kami belum dipanggil? Mungkin saja ada perundingan di ruangan lain mengingat Kak Reira adalah putra angkat Yang Mulia. 

“Soora!” seru Taeglyn?”

“Hn?”

“Kau sedang memikirkan Kakakmu?”

“Ya,”

“Jangan tanya aku tahu dari mana. Aku tidak akan mengulang kejelasan.” 

“Agak cemas sedikit, mereka belum sampai.”

“Siapa bilang Kakakmu belum sampai?” Taeglyn tersenyum sambil mengubit pinggang.

“Bukannya belum…”

Sebelum menyambung kembali perkataan, Taeglyn menjentik jemari ke pintu. Pintu kamar berpoleng putih meta terbuka pelan. Dari balik pintu, ada dua sosok laki-laki bersama Maximillian. Tidak salah lagi, laki-laki itu adalah Kak Hikaru dan Reira. Sedari mengenalnya, Kak Hikaru tak berubah. Walau dia Kakak tiri, entah mengapa dia lebih baik dari kedua Kakak kandung yang (mengaku) mengenalku lama. Tapi nyatanya? Mereka tak acuh padaku. 

Sedangkan Kak Hikaru sebaliknya, meski terkadang jalan pikiran dia terasa abnormal dan di luar logika. Malam ini, kak Hikaru memakai jeans, sepatu dan baju tanpa lengan. Potongan rambut dia juga tidak berubah, tetap Gyaru-o khas hosuto. 

“Abang…!!”

Kaki cepat menarik langkah ke dua laki-laki di balik pintu. Keduanya tersenyum, namun memiliki perbedaan. Kak Hikaru lebih lebar dibanding Kak Reira. Segera ku dekap tuhuh tingginya erat. Sudah hampir 3 tahun tak bertemu setelah meninggalkan kota Tokyo karena sesuatu hal. 

“Dik, lo ternyata masih nggak berubah.” kata dia. 

Dia membelai rambutku, kemudian…

“Eh… Kak! Turunin gue, woy!” 

Mataku membeliak tatkala kedua tangan Kak Hikaru menyompong diriku sejejer dengan bahu dia. Apa-apaan sih Kak Hikaru?! Bikin malu saja! Kak Reira cuma menggeleng kepala melihat lagak teman seperjuangannya dulu. 

“Emangnya kenapa, sih? Sebentar doang. Nggak tahu apa gue kangen?!”

“Ciyee.. kangen…” Kak Reira pringas-pringis. 

“Apa sih, Rei? Gue itu cuma kangen sama salah satu Adik gue,” Kak Hikaru menangkis. 

“Tunggu… Kak Reira bisa bahasa Indonesia?”

Mendadak bingung saat logat Kak Reira terdengar fasih seperti bukan orang Jepang.

“Bisa dong.” Dia nyengir.

“Kenapa waktu aku telepon pakai bahasa Jepang jawabnya?”

“Loh, bukannya kamu yang duluan pakai bahasa Jepang?” 

“Oh iya juga ya,” 

“Ckckck… itu gendongan nggak lepas tuh?” tanya Kak Reira kedengaran menyindir.

“Bawel banget sih. Gue sekalian mau tahu berat badan Giovani.” jawab Kak Hikaru seraya memonyongkan bihir.

“Halaah…” Bola mata Kak Reira memutar pelan.

“Sudah deh, Kak. Turunin gue sekarang!”

“Sabar. Gue masih kangen,”

“Turunin gue se.. ka… rang!” teriakku di telinga dia.

“Buset! Suara lo ya, udah cempreng bikin kuping gue budeg!”

“Lagian lo iseng sih,”

“Ya… ya,” ujar dia mendaratkan diriku.

Dari meja makan, Taeglyn bangun dan menghampiri kami di luar kamar. Mimik dia terlihat lebih santai daripada ku lihat pertama kali di lorong. Dia bagaikan amat menerima kehadiran Kak Hikaru dan Reira di ruang pribadi dia. 

“Selamat malam,”

“Selamat malam, pangeran.” ucap Kak Hikaru dan Kak Reira berbarengan. 

“Kalian ternyata kompak,” Dia terkikik.

“Sudah lama sekali pangeran, kita tidak bertemu.” ujar Reira.

“Betul. Setelah lulus sekolah, aku sudah tidak pernah mendengar kabarmu lagi, Sang penyegel.” balas Taeglyn. 

“Dunia itu sempit.” Kak Reira tersenyum.

“Lebih mengejutkan lagi, kau adalah saudara angkatku.” 

“Saya juga tidak menyangka, pangeran.”

“Oh iya, ini Kakak Giovani, Hikaru.” tunjuk Kak Reira pada Kak Hikaru.

“Rupanya, wujud asli dari Kakakmu lebih tampan.” Taeglyn melirik dengan godaan kecil.

“Hati-hati Taeglyn, nanti Kak Hikaru bisa terbang nggak turun,”

“Lo pikir, gue Suparman? Ngawur lo!” Kak Hikaru memprotes. 

“Superman kali!”

“Ini lagi satu, protes aja lo Rei,” Hidung Kak Hikaru kembang kempis.

“Kalian berdua sangat lucu. Daripada di luar, lebih baik kita mengobrol di dalam saja. Bagaimana?” tawar Taeglyn. 

“Tentu saja kami tidak akan menolak jika diizinkan.” Kak Reira mengutarakan jawaban singkat.

“Kalau begitu, selamat datang di kamarku.” Taeglyn mempersilakan masuk Kak Reira dan Kak Hikaru. Aku dan Maximillian menyusul di belakang. Tak lama, Maximillian mohon diri untuk memberi tahu pelayan menyiapkan jamuan untuk Kak Hikaru dan Kak Reira. 

No comments:

Post a Comment