“Kau meminta maaf untuk apa?” Suara pangeran Taeglyn menggegar, dia
tampak nanar. Melalui matanya, aku sedikit tahu mengapa si putra mahkota
lebih banyak diam.
“Saya meminta maaf karena salah sangka pada Anda, paduka.”
“Tidak perlu meminta maaf. Seharusnya… aku.” Sirah dia menggeleng.
“Apa pun keadaan paduka, saya akan bersama Anda.”
Entah bagaimana, kalimat itu keluar. Sang putra mahkota terpegun,
mengimplikasikan rasa tidak percaya dengan sosok manusia yang telah ia
jadikan “boneka”nya.
“Bagaimana dengan Norlorn?”
“Paduka, saya pernah bilang ‘kan, kasih nggak memilih?”
“Kau sudah memilih Norlorn, aku tahu itu.” Laksana ada rasa putus harapan dari tutur kata pangeran Taeglyn.
“Saya masih ingat pangeran, tapi saya lebih ingin pangeran bersama saya.”
Ku peluk tubuh dia erat, membelai pungkur gagah dari luar namun di dalamnya tidak sanggup menopang beban masa lalu.
Seandainya aku tahu soal Ibunya terlebih dahulu… mungkin, akan ku
pikir ulang pernikahan dengan Norlorn. Hanya saja, mereka sama-sama
kehilangan sosok Ibu. Tapi, ku rasa, Norlorn lebih kuat sedangkan
pangeran Taeglyn tidak. Apa yang harus ku lakukan agar senyuman seterang
bulan dia terpancar lagi?
“Kau bersungguh-sungguh?” tanya dia.
“Ya, paduka.”
“Aku tidak mau menjalani hubungan melalui rasa kasihan.”
“Bagaimana dengan calon anak Anda yang dititipkan pada saya?”
“Aku akan meminta tabib untuk memusnahkan anak itu!” tunjuk dia pada peranakanku.
“Kenapa harus dimusnahkan? Anak ini nggak bersalah, paduka.”
“Anak itu hasil dari hubungan paksa.” Irama kekecewaan seakan terkatakan
oleh dia, rasa terpukul dan bersalah seakan-akan mengusik pendirian
sang pangeran muda.
“Anak ini, bahkan nggak tahu akan menjadi calon penerus negeri.”
“Tapi….”
“Sudahlah, jangan bersedih. Ada saya bersama paduka,”
“Kenapa kau begitu perhatian padaku? Bukankah aku sudah…”
Ku tutup mulut ia melalui kecupan pendek. Pangeran Taeglyn membelalang, dia… tersengut-sengut.
“Pangeran, saya sudah memaafkan Anda,”
“Kau….”
“Nggak perlu pangeran pikirkan, saya lebih suka melihat pangeran tersenyum.”
Tanganku iseng membentuk cekungan di bibir ia. Raut pangeran Taeglyn
kemalu-maluan, tersurat dari rona ahmar muda di pipi lampas miliknya.
Sang putra mahkota sudah terlihat lebih ceria. Setidaknya, itu lebih
baik daripada calon pemimpin kerajaan mengingat kejadian lalu.
“Dirimu….”
“Ada apa, pangeran?”
“Aku telah salah menilaimu, Nona mungil.”
“Maksud Anda?”
“Aku pikir… kau hanya perempuan pengacau istana.”
“Pangeran… semua telah di atur oleh-Nya. Kita tidak tahu, kapan kejadian itu datang.”
“Aku sudah jahat padamu. Bagaimana bisa, kau masih mau menerimaku?”
“Apa sesosok pesakitan tidak boleh menerima kesempatan kedua untuk memperbaiki?”
“Aku tidak pantas mendapatkan itu,” ucap dia lirih.
“Tuhan saja memberi kesempatan umat-Nya untuk bertobat. Kenapa saya tidak boleh memberikan kesempatan?”
“Aku sudah melukai… bahkan menodai perempuan sebaik dirimu!”
“Ayolah pangeran… jangan membahas itu lagi,”
“Aku… menyesal,”
“Anda mau ‘kan, memaafkan diri Anda sendiri?”
“Untuk apa!? Aku telah gagal!”
“Maafkanlah diri Anda, pangeran. Agar hati Anda lapang.”
“Jujur… aku belum bisa.”
“Tidak perlu terburu-buru, pelan-pelan pasti bisa.”
“Bagaimana caranya?”
“Mari kita bersama-sama memaafkan diri masing-masing, setuju?”
Pangeran Taeglyn tersenyum tipis, sepasang tangan kokoh ia memagut tubuhku. Dekapan paling terbuka yang pernah ada.
Apakah pelukan ini adalah sisi lain dari pangeran Taeglyn yang baru terlihat? Sosok laki-laki penyayang dan romantik?
“Terima kasih, Nona mungil.” ungkapnya di telingaku.
“Berterima kasihlah pada Tuhan, pangeran.”
“Ya… seandainya Tuhan tidak mengirim dirimu kemari, mungkin saja aku…”
“Pangeran jangan sedih lagi, ya.”
“Nona mungil…”
“Panggil saja saya, Giovani.”
“Nama yang bagus,” ganduh ia.
“Bagaimana, pangeran? Anda bisa memanggil saya Giovani?”
“Aku tidak ingin memanggilmu Giovani, Nona mungil.” balas pangeran Taeglyn, birai biram ia tersimpul.
“Kenapa pangeran?”
“Nama itu kurang menarik bagiku, Nona mungil.”
“Maksud Anda, ingin mengganti nama saya, begitu?”
“Hanya untukku. Tidak boleh dipakai yang lain.” Mata kiri mengedip sedetik.
“Dari kapan Anda memikirkan itu?
“Sejak kau… berhasil mengubah pandanganku sedikit demi sedikit.”
“Semua itu nggak terlepas dari kuasa-Nya, pangeran.”
“Kuasa Tuhan memang sungguh ajaib.”
“Begitulah, Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untuk pengikut setia-Nya.”
Kelihatannya, pangeran Taeglyn mulai mampu membuka diri padaku.
Mudah-mudahan, langkahku tak meleset sesuai harapan. Membuat sang putra
mahkota kembali nirmala dan lebih menoleransi dirinya sendiri.
“Aku akan memanggilmu, Soora. Bagiamana, Nona mungil?”
“Soora? Menarik. Saya suka. Kira-kira, apa artinya?”
“Soora berasal dari bahasa Queenderenia, yang berarti berjiwa petualang,
mandiri dan mampu membuatku… berubah tentunya.” jawab pangeran Taeglyn
antusiasme. Manik netra hijau terang kepunyaan dia berkilauan bak
adiratna.
“Saya kira, mirip nama orang Jepang.” Diriku menyerobot.
“Hanya ada di negeri ini. Yaitu kau… Nona mungil.”
“Mungkin serupa namun nggak sama, pangeran.”
“Kau tidak perlu memanggil aku pangeran lagi, Soora.”
“Lalu?”
“Panggil aku Taeglyn, Nona mungil.”
“Mohon maaf, saya belum bisa, pangeran.”
“Tidak apa-apa, kau adalah satu-satunya perempuan yang telah mengubahku….”
“Bukan maksud saya menolak. Namun, Anda tetaplah pangeran.”
“Aku belum layak disebut pangeran, Soora.” cakap dia.
“Baiklah, jika itu mau Anda.”
“Tidak perlu kaku untuk kali ini, Soora.”
“Sebetulnya, saya hanya sedang bingung.”
“Ada apa denganmu?”
“Cuma bingung, ada sosok pangeran yang tiba-tiba berubah. Hehehe…”
“Kau ini bisa saja,” Pipinya merah padam.
Maafkan aku pangeran Taeglyn, bukan maksudku berbohong. Aku hanya tidak ingin kau teringat apa yang dilakukan dirimu padaku.
“Pangeran,” Aku menyeru, alis sang pangeran mengemuka menyimpai di parasnya.
“Sudah ku bilang, kau tidak perlu memanggilku pangeran lagi,”
“Haruskah saya menyebut nama?”
“Itu lebih baik, bukan?”
“Jika itu membuat lebih akrab, saya setuju.” cakapku sepakat.
“Terima kasih,”
“Sama-sama, Taeglyn.”
“Soora, pakaianmu basah.” Dia mengaru, tatkala sepasang mata hijau mengamati secara menghilir dan ke atas padaku.
“Nggak apa-apa, Taeglyn.”
“Bagaimana kalau kau sakit?”
Sorotan sesetel manik mata hijau jernih tersirat kekhawatiran, apakah
dia telah sungguh-sungguh berubah? Dilihat dari aksen suara dan tuturan
kepedulian mengenai busana lembap yang mematri di badan terdengar
senjang.
“Nanti juga kering,”
“Sampai kapan? Pakaian basah itu tidak enak dipakai.”
“Sampai jangka waktu yang nggak ditentukan.”
“Aku tidak mau kau sakit, Soora. Sebaiknya, ganti bajumu.” Dia menyuruh sambil mengarak diriku dari ribaannya ke tilam.
“Saya nggak punya pakaian selain ini.”
“Jangan canggung denganku,”
“Saya nggak ingin merepotkanmu, Taeglyn.”
“Kau tidak merepotkan, justru diriku yang membuatmu kerepotan.” Dia menampik.
“Nggak perlu repot-repot, Taeglyn.”
“Tidak usah malu. Akan ku belikan kau pakaian termahal dari negeri ini.”
Netra ia laksana membahasakan bahwa dia sanggup membayar apa saja di
tempat kelahirannya..
“Mohon maaf, Taeglyn. Jika Anda memberikan saya pakaian paling mahal, bagaimana saya menggantinya?”
“Tidak usah kau ganti. Aku lebih tidak ingin melihatmu demam karena pakaian!”
“Tapi Taeglyn….”
“Ini perintah pangeran, jangan kau tolak!”
“Baik, saya akan menuruti apa pun perintah Anda.”
“Aku akan memanggil pelayan, kau istirahat saja di ranjang.”
Pangeran Taeglyn bangun dari kasur sambari membereskan pakaian dia yang
semrawut oleh rivalitas denganku beberapa waktu lalu. Kakinya menarik
langkah ke bufet, mengaut genta cukup besar bercorak logam mulia.
Kemudian, dia membuka pintu kamar sambil menyuarakan bel sejumlah 5
kali. Dentang bel tedengar lantam sampai mengakibatkan telinga sakit.
“Keras banget bunyinya….”
“Jika tidak begitu, para pelayan pemalas itu tidak akan datang!” serunya keras.
“Mungkin bukan pemalas, Taeglyn. Tetapi kelelahan bekerja.”
“Mereka pemalas dan lamban!”
“Menurut saya tidak, Taeglyn. Mereka bukan pemalas.”
“Kau tahu apa tentang mereka?”
“Maafkan saya jika membuat Anda tersinggung dan seakan digurui…”
ucapanku jatuh sepemakan sirih. Pangeran Taeglyn mengelih diriku,
seolah-olah beranggapan aku sok tahu dengan preskipsi istana. Ku sambung
ujaran semula, “namun, jika nggak ada pelayan, apakah istana ini akan
bersih?”
Pangeran Taeglyn sontak membatu, bagai harga diri dia menguap di tangan sosok “boneka” manusia di sebelahnya.
“Kau benar….” katanya. Napas ia berdesir, menghembuskan hawa hangat, tertangkap jelas setum kecil dari hidung bangir dia.
“Maaf jika saya sok tahu.”
“Kau benar. Seandainya tidak ada mereka. Mungkin, istana ini akan jadi istana hantu.” Dia mangangguk dengan senyuman.
“Bukankah, Anda sendiri hantu?”
“Ah… iya juga. Hantu di mata manusia,” Dia menyengir absurd.
“Kalau saya sih, tetap bilang Anda pangeran.”
“Pangeran hantu?” tanya dia.
“Bukan, tetapi pangeran Alp. Saya tidak peduli dari mana Anda dan siapa pun Anda.”
“Mengapa begitu?”
“Setiap makhluk ciptaan Tuhan berhak bahagia.”
“Lalu, bagaimana dengan Norlorn?” tanya dia tiba-tiba.
“Saya yakin, jika Norlorn memang baik untuk saya, seberat apa pun, pasti akan terhubung juga nantinya.”
“Aku… bimbang,”
“Kenapa?”
“Tidak seharusnya aku mengambil kebahagiaan saudaraku sendiri.” ucap dia bertopang dagu.
“Taeglyn, ini semua sudah rencana Tuhan. Setiap masalah, pasti ada jawabannya,”
“Aku… menyesal.”
“Nggak ada yang perlu di sesali.”
“Iblis mana yang menghasutku tadi?” Dia menggambal kandunganku, menyiratkan rasa bersalah.
“Nggak ada iblis yang menghasut Anda, Taeglyn.”
“Tapi, anak itu….”
“Anak ini nggak bersalah, jangan pernah menyalahkan calon Anak anda sendiri.”
“Dia sudah menyusahkanmu, Soora!”
“Bagi saya nggak,”
“Mengapa kau begitu baik padaku? Sosok jahat ini?” tunjuknya di dada ia.
“Anda tidak jahat, Taeglyn. Wajar saja Anda curiga pada saya.”
“Tapi kau… manusia baik. Aku salah, Soora….”
“Saya nggak pernah bilang diri saya baik, namun jika ada yang kesusahan sebisa mungkin saya bantu,” Aku tersenyum.
“Sekarang aku tahu, mengapa Norlorn bisa jatuh cinta denganmu.” Air mata dia menetes, bak kekecewaan menghunjam lubuk hatinya.
“Taeglyn, boleh saya meminta berhenti?”
“Tapi… Norlorn….”
“Ssst…, sudah saya bilang, saya bersama Anda.”
“Terima… kasih.”
“Jangan nangis lagi, ada saya di sini.”
“Maafkan aku, Soora.”
“Saya lebih nggak suka, Taeglyn saya terlarut dalam kesedihan.”
Taeglyn saya? Kenapa sebutan itu terucap begitu saja? Apa yang terjadi padaku?
“Pelayan lama sekali datangnya,” Taeglyn melongok ke pintu kamar yang terbuka. Lengang. Belum ada yang datang.
“Sebentar lagi juga datang, mungkin sedang melayani yang lain.”
“Itu mustahil, karena yang membunyikan lonceng baru aku saja.”
“Siapa tahu, mereka kelelahan.”
“Iya juga.”
“Pasti datang, tunggu saja.” kataku.
“Cuma karena kau, aku bisa sabar menunggu pelayan.”
“Semua itu butuh proses, Taeglyn.
“Dari mana kau mempelajari semua itu?”
“Dari kehidupan saya.”
“Aku belajar banyak darimu hari ini, Soora.”
“Nggak, Taeglyn. Saya sendiri juga masih belajar.”
“Kau bukan seperti pelajar, melainkan guru!” seru dia.
“Nggak juga,” Aku menggeleng.
“Soora….”
“Ada apa?”
“Aku cuma ingin jujur…” Komentar dia tertahan.
“Anda baik-baik saja?”
“Aku cukup baik. Hanya berpikir, ingin menjagamu sampai aku mati….” Dia melanjurkan.
“Taeglyn, kenapa Anda bilang begitu?!”
“Aku…”
“Taeglyn, tolong jawab pertanyaan saya!”
“Bolehkah aku menjagamu untuk menebus kesalahanku?”
“Taeglyn, kenapa Anda membahas itu terus?”
“Baru kali ini… aku menemukan sosok manusia mirip Ibu,”
“Taeglyn, saya belum pantas mendapatkan sebutan itu.”
“Memang… kau bukan Ibuku. Tapi, kau adalah calon Ibu dari anakku!”
“Semua sudah kehendak-Nya, Taeglyn.”
“Hidupku bersamamu bagai pemeo, Die Strecke schien verloren zu gehen, Scheidung schien zu sterben.”
“Panjang sekali ungkapannya,”
“Jarak yang tampaknya hilang, bercerai serasa mati.” tutur dia.
“Apa artinya?”
“Awalnya kita berbantahan… namun jika kau jauh dariku suatu saat, aku akan merindukanmu.” sahut pangeran Taeglyn.
“Taeglyn… tenang saja, jika Tuhan memberikan garis hidup Anda pada saya, kita akan tetap bersama.” Aku menimpali.
“Semoga… aku juga berharap begitu, bersama dan menjaga keluarga hingga aku… mati.”
Kalimat simetris mengedril dari mulut sang putra raja, serupa
simptom minus. Apa dasarnya dia berkata begitu hingga kedua kali? Semoga
bukan pertanda apa-apa untuk pangeran Taeglyn.
Kenapa aku jadi takut kehilangan dia? Dia yang baru ku kenal dan….
“Soora…!” Vokal dia menyirapkan darahku, nyaris membuat jantung jatuh sepicing.
“Ya?”
“Kau melamun?”
“Nggak, Taeglyn.”
“Lantas?”
“Lupakan saja.”
“Baiklah.”
***
Tak lama selepas berbincang-bincang, sebagian peladen berdominasi rambut
cokelat terang datang, termasuk Tavin dan Adome. Kurang lebih berjumlah
8 pelayan merambah kamar.
“Diener enstchuldigt sich, Prinz. Wir kamen zu spät,” ucap Adome menghormat.
“Das ist okay. Diesmal verzeiht ich euch allen.”
“Was können wir Ihnen helfen, Prinz?” Tavin berotasi untuk bicara.
“Untuk kalian berdua, ajak perempuan ini ke toko pakaian.” tunjuk pangeran Taeglyn padaku, Tavin dan Adome.
“Baik, paduka pangeran.” jawab mereka serempak.
“Bagaimana keadaan pakaianmu, Soora?”
“Sudah cukup kering, pangeran.”
“Kalau begitu, ikutlah bersama Adome dan Tavin.” Pangeran mengutus.
“Baik, Taeglyn.”
Tanpa menunggu lama, aku segera bangun dari ranjang menghampiri Tavin dan Adome di sisi kanan ranjang. Sementara itu, pangeran Taeglyn meraih laci kecil di bufet mengambil beberapa kekandi berukuran sedang dan memberikan pada Adome.
Isinya mungkin emas. Wow… kira-kira berapa karat ya? Atau ada uang kertas juga?
“Belikan perempuan ini yang terbaik,” tuding pangeran.
“Siap laksanakan, pangeran.”
“Jaga dia, jangan sampai terluka! Ingat itu.”
“Siap pangeran, akan kami jaga semampu kami.” ujar Tavin.
“Untuk yang lain, bersihkan kamarku. Paham?”
“Siap, pangeran.” Pelayan lain kelihatan solid.
“Sebaiknya kalian pergi, hari sudah menjelang sore, Adome.”
“Baik paduka pangeran, kami pamit.”
Adome menyuruhku untuk memegang tangan kanan dia dan tangan kiri Tavin, apakah dia akan menggunakan sihir?
“Tunggu dulu. Kau tidak boleh menggunakan sihir, Adome! Tavin menyerobot.
“Tavin, hari menjelang sore. Bagaimana jika toko pakaian sudah tutup?”
“Iya juga,” Tavin garuk kepala.
“Sudahlah, yang mana saja boleh! Kalian cepatlah ke toko pakaian, aku akan menemui Ayah.”
Pangeran Taeglyn pergi dari kamar. Tavin dan Adome berpandangan, begitupun aku kepada mereka. Pelayan lain, masih melaksanakan tugasnya membersihkan kamar pangeran. Semua kelihatan solid, membantu satu sama lain. Ah… senangnya aku melihat pemandangan gotong royong di kamar.
“Syo Ri, aku titip tugas ini pada kalian, ya.” ujar Tavin.
“Kau jangan khawatir, serahkan semua pada kami.” ucap dia, laki-laki berwajah oriental rambut hitam sebahu.
“Kami pamit dulu, selamat tinggal.” Adome melafalkan sebuah pelias asing di telinga, di susul oleh Tavin. Kemudian….
Sekejap lansekap berubah menjadi kawasan umum.
Wow, modern! Aku bagai melihat kawasan Shinshaibashi di Osaka, Jepang. Walau bangunan Eropa kuno mendominasi bersama kerumunan makhluk berpakaian abad pertengahan sepanjang jalan.
“Ini di mana?”
“Hari ini, kita ke wilayah selatan, Nona.” jawab Adome.
“Wah keren, ini tempat belanja?”
“Bisa dibilang begitu, Nona.” sambung Tavin.
“Kalau di tempatku, aku cuma tahu tiga tempat yang pernah aku kunjungi,”
“Oh ya? Ngomong-ngomong, bolehkan saya berkenalan dengan Nona?” tanya Tavin.
“Boleh. Aku Giovani,”
“Nama yang bagus. Saya Adome dan ini teman saya, Tavin.” Adome menunjuk sosok laki-laki berwajah manis di sebelahnya.
“Aku sudah tahu, kok. Kita juga sudah bertemu dua kali termasuk ini.”
“Iya juga. Pagi-pagi, kami bertemu Nona.”
“Maaf sebelumnya, Nona. Bolehkah saya bertanya?” tanya Tavin.
“Boleh, mau tanya apa?”
“Nona berasal dari mana? Belum pernah saya melihat sosok seperti Nona Giovani di sini.”
“Dari negeri yang jauh.”
“Di mana?”
“Indonesia. Kamu tahu?”
“Saya pernah mendengar,”
“Yah, negeriku itu jauh. Hihihi…”
“Oh ya, apakah Nona bersedia memberitahu tiga tempat yang dikunjungi?”
“Oh yang baru aku bilang itu?”
“Betul, Nona.” Tavin mengangguk.
“Aku cuma pernah mengunjuki dua tempat di Indonesia, satu tempat di Jepang.”
“Apa saja?” Adome kelihatan ingin tahu.
“Yang pertama adalah kawasan Passer Baroe di Jakarta.”
“Seperti apa itu, Nona?”
“Passer Baroe dibangun pada tahun seribu delapan ratus dua puluh di Batavia, Adome.”
“Sebaiknya biarkan Nona Giovani bercerita sambil jalan, Adome!” seru Tavin.
“Aku hampir lupa, kita perlu mencari pakaian terbaik untuk Nona Giovani.”
Lekas kedua tangan Adome menggandeng tanganku dan Tavin, berjalan cepat menerohos kerumunan penghuni wilayah selatan sambil mencari tempat menarik untuk melepas lelah sebentar. Lalu, kakinya berhenti di sebuah jembatan kecil pada kawasan tersebut, sebuah jembatan berhias lentera dan bengawan warna merah muda di bawahnya.
“Aku istirahat dulu ya, lelah.” Adome terengah-engah bersandar di penyangga.
“Kau ini payah!” sindir Tavin.
“Kau pikir, ini kisah legenda, Tavin!?”
“Memang tidak, kau baru berjalan segini saja sudah lelah.”
“Faktor umur,”
“Alasan.”
“Sudahlah, kalian jangan bertengkar.”
“Maafkan kami, Nona.”
“Masih mau dengar ceritaku, nggak?”
“Tentu saja.”
“Passer Baroe merupakan pusat perbelanjaan tertua di Jakarta, tempat tinggalku dulu.”
“Berarti sudah lama?” tanya Tavin dan Adome bersamaan.
“Ya. Sudah aku jelaskan dibangun pada tahun seribu delapan ratus dua puluh.”
“Saya baru tahu, di tempat Nona Giovani ada tempat mirip di negeri ini.” Tavin bak kagum mendengar penjelasanku.
“Di manapun selalu ada tempat seperti itu, Tavin.”
“Lalu, di mana dua tempat lagi?”
“Malioboro, DI Yogyakarta dan Shinshaibashi, Osaka, Jepang.”
“Bisa Nona jelaskan secara singkat kedua tempat itu?”
“Jalan Malioboro adalah nama salah satu jalan dari tiga jalan di kota Yogyakarta. Jalan itu terkenal oleh pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan Yogyakarta dan warung lesehan.”
“Menarik. Jadi ingin ke sana,” Tavin menceletuk.
“Mimpi kau! Sadar diri saja, negeri ini jauh dari negeri Nona Giovani.” Adome mencebik.
“Siapa tahu bisa ke sana.” Tavin mengutarakan keinginannya.
“Boleh saja, kalau kalian nggak sibuk.”
“Sepertinya, itu mustahil. Kami terlalu sibuk hingga lupa waktu di istana.”
“Sibuk banget, ya?”
“Karena bagi kami, waktu adalah uang. Uang itu, kami pakai untuk membiayai keluarga kami di desa negeri ini.” sambung Adome.
“Oh… kalian ada keluarga?”
“Tentu.”
“Enaknya,”
“Bagaimana dengan Nona?” tanya Tavin menginterupsi.
“Keluargaku….”
“Mohon maaf, Nona. Bukan maksud kami untuk ikut campur,”
“Nggak apa-apa, keluargaku cuma lebih sibuk dari kalian.” Aku tersenyum simpul.
“Ayo Adome, kita lanjut ke toko pakaian.” seret Tavin. Ku rasa, dia tahu aku hanya berbohong. Oleh karena itu, dia mengeret tangan Adome agar dia bangun.
“Kau bisa sabar tidak?”
Adome mendengus sambil melakukan kegiatan dia. Membaca mantra asing dan semua pemandangan bertukar di sebuah toko pakaian. Gaun-gaun terpampang di etalase. Kelihatan mewah dan mahal beberapa gaun di toko.
Kami memasuki toko dan disambut oleh sosok perempuan bertelinga runcing berambut blonda ikal sedada memakai baju hitam dan berwajah manis.
“Baik, paduka pangeran.” jawab mereka serempak.
“Bagaimana keadaan pakaianmu, Soora?”
“Sudah cukup kering, pangeran.”
“Kalau begitu, ikutlah bersama Adome dan Tavin.” Pangeran mengutus.
“Baik, Taeglyn.”
Tanpa menunggu lama, aku segera bangun dari ranjang menghampiri Tavin dan Adome di sisi kanan ranjang. Sementara itu, pangeran Taeglyn meraih laci kecil di bufet mengambil beberapa kekandi berukuran sedang dan memberikan pada Adome.
Isinya mungkin emas. Wow… kira-kira berapa karat ya? Atau ada uang kertas juga?
“Belikan perempuan ini yang terbaik,” tuding pangeran.
“Siap laksanakan, pangeran.”
“Jaga dia, jangan sampai terluka! Ingat itu.”
“Siap pangeran, akan kami jaga semampu kami.” ujar Tavin.
“Untuk yang lain, bersihkan kamarku. Paham?”
“Siap, pangeran.” Pelayan lain kelihatan solid.
“Sebaiknya kalian pergi, hari sudah menjelang sore, Adome.”
“Baik paduka pangeran, kami pamit.”
Adome menyuruhku untuk memegang tangan kanan dia dan tangan kiri Tavin, apakah dia akan menggunakan sihir?
“Tunggu dulu. Kau tidak boleh menggunakan sihir, Adome! Tavin menyerobot.
“Tavin, hari menjelang sore. Bagaimana jika toko pakaian sudah tutup?”
“Iya juga,” Tavin garuk kepala.
“Sudahlah, yang mana saja boleh! Kalian cepatlah ke toko pakaian, aku akan menemui Ayah.”
Pangeran Taeglyn pergi dari kamar. Tavin dan Adome berpandangan, begitupun aku kepada mereka. Pelayan lain, masih melaksanakan tugasnya membersihkan kamar pangeran. Semua kelihatan solid, membantu satu sama lain. Ah… senangnya aku melihat pemandangan gotong royong di kamar.
“Syo Ri, aku titip tugas ini pada kalian, ya.” ujar Tavin.
“Kau jangan khawatir, serahkan semua pada kami.” ucap dia, laki-laki berwajah oriental rambut hitam sebahu.
“Kami pamit dulu, selamat tinggal.” Adome melafalkan sebuah pelias asing di telinga, di susul oleh Tavin. Kemudian….
Sekejap lansekap berubah menjadi kawasan umum.
Wow, modern! Aku bagai melihat kawasan Shinshaibashi di Osaka, Jepang. Walau bangunan Eropa kuno mendominasi bersama kerumunan makhluk berpakaian abad pertengahan sepanjang jalan.
“Ini di mana?”
“Hari ini, kita ke wilayah selatan, Nona.” jawab Adome.
“Wah keren, ini tempat belanja?”
“Bisa dibilang begitu, Nona.” sambung Tavin.
“Kalau di tempatku, aku cuma tahu tiga tempat yang pernah aku kunjungi,”
“Oh ya? Ngomong-ngomong, bolehkan saya berkenalan dengan Nona?” tanya Tavin.
“Boleh. Aku Giovani,”
“Nama yang bagus. Saya Adome dan ini teman saya, Tavin.” Adome menunjuk sosok laki-laki berwajah manis di sebelahnya.
“Aku sudah tahu, kok. Kita juga sudah bertemu dua kali termasuk ini.”
“Iya juga. Pagi-pagi, kami bertemu Nona.”
“Maaf sebelumnya, Nona. Bolehkah saya bertanya?” tanya Tavin.
“Boleh, mau tanya apa?”
“Nona berasal dari mana? Belum pernah saya melihat sosok seperti Nona Giovani di sini.”
“Dari negeri yang jauh.”
“Di mana?”
“Indonesia. Kamu tahu?”
“Saya pernah mendengar,”
“Yah, negeriku itu jauh. Hihihi…”
“Oh ya, apakah Nona bersedia memberitahu tiga tempat yang dikunjungi?”
“Oh yang baru aku bilang itu?”
“Betul, Nona.” Tavin mengangguk.
“Aku cuma pernah mengunjuki dua tempat di Indonesia, satu tempat di Jepang.”
“Apa saja?” Adome kelihatan ingin tahu.
“Yang pertama adalah kawasan Passer Baroe di Jakarta.”
“Seperti apa itu, Nona?”
“Passer Baroe dibangun pada tahun seribu delapan ratus dua puluh di Batavia, Adome.”
“Sebaiknya biarkan Nona Giovani bercerita sambil jalan, Adome!” seru Tavin.
“Aku hampir lupa, kita perlu mencari pakaian terbaik untuk Nona Giovani.”
Lekas kedua tangan Adome menggandeng tanganku dan Tavin, berjalan cepat menerohos kerumunan penghuni wilayah selatan sambil mencari tempat menarik untuk melepas lelah sebentar. Lalu, kakinya berhenti di sebuah jembatan kecil pada kawasan tersebut, sebuah jembatan berhias lentera dan bengawan warna merah muda di bawahnya.
“Aku istirahat dulu ya, lelah.” Adome terengah-engah bersandar di penyangga.
“Kau ini payah!” sindir Tavin.
“Kau pikir, ini kisah legenda, Tavin!?”
“Memang tidak, kau baru berjalan segini saja sudah lelah.”
“Faktor umur,”
“Alasan.”
“Sudahlah, kalian jangan bertengkar.”
“Maafkan kami, Nona.”
“Masih mau dengar ceritaku, nggak?”
“Tentu saja.”
“Passer Baroe merupakan pusat perbelanjaan tertua di Jakarta, tempat tinggalku dulu.”
“Berarti sudah lama?” tanya Tavin dan Adome bersamaan.
“Ya. Sudah aku jelaskan dibangun pada tahun seribu delapan ratus dua puluh.”
“Saya baru tahu, di tempat Nona Giovani ada tempat mirip di negeri ini.” Tavin bak kagum mendengar penjelasanku.
“Di manapun selalu ada tempat seperti itu, Tavin.”
“Lalu, di mana dua tempat lagi?”
“Malioboro, DI Yogyakarta dan Shinshaibashi, Osaka, Jepang.”
“Bisa Nona jelaskan secara singkat kedua tempat itu?”
“Jalan Malioboro adalah nama salah satu jalan dari tiga jalan di kota Yogyakarta. Jalan itu terkenal oleh pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan Yogyakarta dan warung lesehan.”
“Menarik. Jadi ingin ke sana,” Tavin menceletuk.
“Mimpi kau! Sadar diri saja, negeri ini jauh dari negeri Nona Giovani.” Adome mencebik.
“Siapa tahu bisa ke sana.” Tavin mengutarakan keinginannya.
“Boleh saja, kalau kalian nggak sibuk.”
“Sepertinya, itu mustahil. Kami terlalu sibuk hingga lupa waktu di istana.”
“Sibuk banget, ya?”
“Karena bagi kami, waktu adalah uang. Uang itu, kami pakai untuk membiayai keluarga kami di desa negeri ini.” sambung Adome.
“Oh… kalian ada keluarga?”
“Tentu.”
“Enaknya,”
“Bagaimana dengan Nona?” tanya Tavin menginterupsi.
“Keluargaku….”
“Mohon maaf, Nona. Bukan maksud kami untuk ikut campur,”
“Nggak apa-apa, keluargaku cuma lebih sibuk dari kalian.” Aku tersenyum simpul.
“Ayo Adome, kita lanjut ke toko pakaian.” seret Tavin. Ku rasa, dia tahu aku hanya berbohong. Oleh karena itu, dia mengeret tangan Adome agar dia bangun.
“Kau bisa sabar tidak?”
Adome mendengus sambil melakukan kegiatan dia. Membaca mantra asing dan semua pemandangan bertukar di sebuah toko pakaian. Gaun-gaun terpampang di etalase. Kelihatan mewah dan mahal beberapa gaun di toko.
Kami memasuki toko dan disambut oleh sosok perempuan bertelinga runcing berambut blonda ikal sedada memakai baju hitam dan berwajah manis.
“Guten Tag,” ucap dia.
“Guten Tag, Miss Allie. Wir möchten ein passendes Outfit für Miss Giovani buchen.“ Adome membuka pembicaraan.
“Gibt es ein passendes Outfit zu Miss Giovani, Miss Allie?“
“Es gibt natürlich, Adome. Werde ich seine Kleider mitbringen.“
Nona Allie beranjak ke almari, mengambil beberapa pakaian yang terbungkus untuk dia runjukkan pada kami. Tiga model pakaian yang dipilih oleh Nona Allie, aku sangat menyukai. Salah satunya, gaun lengan panjang selutut bernuansa setengah hitam pada bagian dada, pita dan rok, sedangkan untuk bagian leher dan lengan berwarna putih dihias renda. Model kedua, masih sama. Gaun lengan panjang putih berenda dan dasi kupu-kupu setelan rok Tartan bermotif merah. Model terakhir paling aku favoritkan, gaun lengan pendek berwarna hitam sepaha, berbahan lebih tipis dibanding 2 lainnya. Gaun manis sederhana berdampingan bersama ban leher dari kain berwarna hitam.
“Nona ingin pilih yang mana?” tanya Tavin.
“Boleh ku ambil ketiganya?”
“Tentu boleh, Nona Giovani.” Adome mengangguk.
Dia mengeluarkan 2 kantong yang dititipkan dari pangeran Taeglyn seraya memberikan pada Nona Allie. Nona Allie mengambil 1 kantong utuh dari Adome, lalu di kantong kedua, dia mengeluarkan puluhan keping koin emas dan beberapa alat pembayaran berbentuk kertas. Dia tersenyum, mengucapkan terima kasih pada Adome karena telah berbelanja di toko pakaian miliknya.
Aku jadi penasaran, berapa harga ketiga pakaian di toko Nona Allie?
Adome pamit seraya mengajakku dan Tavin keluar toko. Di luar, Adome menyodorkan pakaian yang telah dibungkus pada Tavin. Takah-takahnya, Tavin kali ini tidak begitu suka mengawatkan pakaian pilihan yang sudah dibeli dari toko. Mungkin, Tavin lelah berjalan hampir seharian sehingga bibir dia senderut.
“Sini, aku saja yang bawa.” tawarku menarik bungkusan pakaian.
“Tidak usah, Nona. Biar saya saja,” tolak Tavin.
“Kamu nggak apa-apa?”
“Tidak Nona,”
“Ayo kita pulang ke istana.” Adome memberi komando.
Seperti tadi, aku segera mengatur posisi di tengah mereka. Tanpa di suruh, ku lakukan sesuai cara, menggenggam salah satu tangan masing-masing pelayan. Untuk pulang, sedikit berbeda dengan pergi ke toko. Adome mengucap mantra, kemudian Tavin mengguncang ring berpoleng selaka di tangan kanan ia. Sepersekian milisekon, terlihat sebuah lubang berwarna keluwung berjarak 10 cm dari tempat kami berdiri. Adome segera meloncat masuk, disusul diriku dan Tavin. Selepas kami meruyup, pandangan berganti di jerambah kastel.
Ajaib! Mirip film fiksi ilmiah dan fantasi. Andai saja, aku bisa di
sini selamanya, mungkin tak ada lagi sosok yang selalu menguras tenaga,
jiwa dan pikiran seperti di duniaku. Bisakah aku tinggal?
No comments:
Post a Comment