16. Kasih Tak Memilih


“Gigi…,” Norlorn memagas ucapan sesaat setelah aksinya selesai, bersambung mengantarkan interogasi, “pernah tidak, kau berpikir akan mempunyai keluarga sendiri?”

“Pernah. Tapi, nggak berpikir dalam waktu dekat.” Aku menggeleng.

“Lalu, bagaimana persepsimu mengenai diriku?” Norlorn melanjutkan diskusi.

“Menurutku, kamu itu lucu dan sedikit romantis walau bukan manusia.” Aku menyungging.

“Paling tidak, aku lawan jenismu ‘kan Gigi?” ucap Norlorn cengar-cengir.

“Itu juga salah satunya,” balasku masem.

“Tenang saja, aku masih normal. Justru, bangsamu yang terkadang mempunyai kecenderungan aneh.” Bibir Norlorn lekas tersimpul.

“Namanya juga manusia, mempunyai perasaan sedemikian rumit.” ujarku memblokade kicauan.

Norlorn bangkit dari kolam menyudahi kegiatan sambil membopong tubuhku keluar kamar mandi. Ia mendatangi ranjang, menempatkan diriku dalam keadaan setengah basah. Kemudian, kembali berjalan masuk kamar mandi. Sepertinya, Norlorn mengambil handuk dan pakaiannya yang tertinggal.

Aku bangun, melangkah ke kamar mandi merawa busana tergeletak depan pintu. Tungkai bergerak kembali ke ranjang untuk memakai baju berikut sepatu. Tak lama setelah itu, Norlorn keluar dengan pakaian lengkap bersama lencana di dada kiri ia yang sedari tadi ingin ku tanyakan.

“Lambang apa itu?” tunjukku ke dadanya.

“Ini?” tanya dia menunjuk insinye miliknya.

“Iya,”

“Lencana ini menandakan bagian dari keluarga kerajaan.” ucap dia.

“Semacam identitas, ya?”

“Bisa dibilang begitu, karena di sini merupakan pusat pemerintahan.” Norlorn membalas.

“Berarti wilayah lain berbeda?”

“Tentu saja.” Norlorn mengangguk.

“Baru tahu aku,”

“Kerajaan ini bernama Etchaland, tempat segala pembuatan dan pengesahan undang-undang dilakukan oleh para raja.” jelas Norlorn.

“Raja nggak cuma satu?”

“Tentu tidak. Kau pikir, duniaku dongeng?” Norlorn mencebik.

“Justru aku bertanya karena tidak tahu.”

“Peraturan negeri juga dibuat di kerajaan ini.” Sambung Norlorn.

“Nggak jauh beda dengan dunia manusia ternyata,”

“Kau sudah paham?”

Aku mengangguk untuk menandakan kepahaman penjelasan. Tetapi, masih ada rasa kurioritas menyatroni otak lantaran perjalanan ku lakukan. 

“Bagaimana dengan wilayah lain?”

“Kau tahu wilayah barat?”

“Aku tahu,”

“Wilayah barat merupakan pusat sejarah dan pendidikan.” 

“Berarti, kamu bersekolah di sana?”

“Ya, walaupun di wilayah ini ada lembaga pendidikan.”

“Apa yang membedakan instansi pendidikan di barat dengan wilayah lain?”

“Dari fasilitas dan tenaga pengajarnya.” Norlorn bersemangat. 

“Kayaknya, aku memahami deh. Semua wilayah ada aspek masing-masing, ‘kan?”

“Tepat sekali.”

“Di Utara, merupakan daerah dingin dan bersalju. Portal di Hutan Cahaya sangat mudah di akses.” Norlorn mengganjur napas.

“Maksudnya?”

“Dulu, daerah utara merupakan daerah rawan penculikan penduduk negeri oleh para oknum manusia biadab.” Norlorn membuka mulut.

“Begitulah manusia jika dibutakan oleh dunia, mencari jalan pintas menculik makhluk lain.”

“Sekarang tidak lagi. Kalau ada, itu hanya penduduk nakal yang ingin lepas dari negeri ini,” 

“Lepas?”

“Iya, ingin keluar dari sini tapi tidak mau izin kemari.”

“Ku pikir, penduduk negeri ini semuanya taat peraturan.” kataku mengangkat bahu.

“Tidak juga, semua itu dari kesadaran diri.” ujar Norlorn.

“Ya, aku juga terkadang melanggar peraturan di negeriku.” Aku menjulur lidah.

“Aku juga iya…. “ Norlorn cekikikan.

“Wah, sama saja rupanya.” 

“Sesekali, peraturan itu dibuat untuk dilanggar.” Norlorn nyengir.

“Ada-ada saja kamu,”

“Sesekali boleh dilakukan, supaya tidak kaku.” Dia terkekeh, kalimatnya menyerupai impresi kalau keluarga kerajaan tidak harus senpurna dalam dongeng.

“Betul juga ya,” Aku responsif. 

“Aku hidup di alam ini, bukan di alam khurafat.” tuding Norlorn tertawa.

“Noey…,” 

“Ya?”

“Ngomong-ngomong, aku bosan di kamar. Boleh aku keluar?” 

“Kau ingin keluar ke mana?”

“Berkeliling istana. Boleh?”

“Boleh saja, tapi hati-hati ya…” Mata Norlorn mengedip satu sekejap, pertanda jawaban telah disetujui.

“Ya, aku akan hati-hati. Memang kenapa?”

“Ada…” ucapan Norlorn manggantung, wajah ia tampak histeria. Sekelebat, tengkuk menjadi rinding. Kenapa wajah Norlorn ketakutan? Mungkinkah istana ini ada… mambang menakutkan? 


Tuhan… jika iya, tamatlah aku. Istana sebesar ini ada hantu menyeramkan dan aku, akan menjadi calon keluarga kerajaan. Dilema….


“Ada apa!?” Suaraku menggetar.

“Ada para paduka pangeran, pelayan, kakakku dan Yang Mulia.” Norlorn tersungging, pelupuk mata ia turun satu sisi beriringan pengecapnya mengelelot.

“Kamu ini!” Tanganku secara alamiah menjewer telinga Norlorn. Mengagetkan saja, ku pikir istana ini ada hantu. 

“Kenapa aku dijewer lagi!?” Norlorn menentang.

“Kamu mau ngerjain aku, ya?”

“Siapa yang mengerjaimu?”

“Kamu! Ku kira ada hantu,” Aku mengelus dada, setidaknya lega tidak ada wujud yang menakutkan.

“Hantu?”

“Iya,”

“Ada kok…,” Norlorn tergelak.

“NORLORN…!!”

“Apa? Kau tanya hantu bukan? Di sini ada,”

“Jangan bohong!”

“Memang kau pikir, aku termasuk bangsa manusia?” tunjuk Norlorn tergelak.

“Ah iya ya, aku lupa.” 


Sial! Pandai sekali Norlorn bermain kata-kata, aku juga hampir lupa dia bukan manusia, melainkan lelembut bukan dari negaraku.


“Tapi….”

“Tapi apa?”

“Hantu lain juga ada kok, selain penghuni kerajaan.” Dia tersenyum.

“Astaga, kamu bercanda ‘kan?”

“Tidak. Pergi saja kau ke menara istana,” Norlorn menggeleng, pernyataannya serasa memintaku untuk pergi ke tempat yang belum dikunjungi.

“Untuk apa aku pergi ke sana?”

“Supaya kau tahu, di sini juga luas. Sesekali, berjalan-jalanlah di dalam istana.”

“Ya memang itu rencanaku. Bagaimana kau ini?”

“Maksudku, kau bisa menjelajahi sendiri tanpa ditemani aku.” sahut dia.

“Memangnya, nggak apa-apa aku sendiri?”

“Tenang saja, pelayan sudah tahu kau ada sini.”

“Yang lain?”

“Sepertinya belum.” Norlorn nyengir. Sekali lalu, tangan kanan ia membuat lambang perdamaian.

“Kalau aku dikira pencuri bagaimana?”

“Tidak akan. Tenang saja, sebut namaku jika ada penjaga yang menanyakanmu.” Norlorn berkata, dia bagai penanggung diriku akan baik-baik saja selama di istana.

“Kamu yakin?”

“Sudah, pergi keluar sana. Ingin berjalan-jalan ‘kan?”

“Baiklah, aku pergi dulu.”

Tahu-tahu, terdengar bunyi jentikan dari jemari Norlorn. Sulit dipercaya, pintu kamar terbuka pelan setelah ada binar berwarna biru benhur menerpa gagang pintu. Kok bisa? Aku tidak mimpi bukan?

“Kok… bisa?”

Norlorn hening, hanya tersenyum lebar di sebelahku.

Seketika, aku menyadari bahwa Norlorn menggunakan magi untuk membuka pintu. Tak seperti tadi, membuka pintu dengan kunci. Seharusnya, dia pakai saja kemampuannya untuk melakukan apa saja. Kenapa memilih cara lama?

“Kau baru sadar?”

“Kenapa nggak dari tadi kamu buka pintu waktu kita pulang?”

“Kau tidak bertanya padaku.”

“Iya juga sih.”

“Jadi, kau bisa sihir?”

“Sudah lihat ‘kan?”

“Maksudku, kenapa kamu nggak menggunakannya selama bersamaku?”

“Sihir hanya akan membuat malas bergerak. Akan ku pakai jika memang perlu.” Norlorn menangkis.

“Kamu benar. Ya sudah, aku pergi dulu.” Aku bangun dari ranjang, berjalan keluar kamar.

“Pergilah ke manapun kau suka, lorong istana yang akan menuntun kakimu.”

Suara Norlorn mulai terdengar lamat-lamat sesaat kaki melangkah menyusuri lorong. Tak dapat ku percaya, semua barang tetap kelihatan berkelas dan mahal. Mulai dari guci hingga hiasan dinding. Tapi tunggu… aku melihat sebuah lukisan ukuran cukup besar di dinding kiri bergambar perempuan berambut ikal berwarna cokelat muda memakai baju zirah. Siapa dia? Waktu Norlorn menunjukkan reka adegan pesta dansa, sepertinya tak ada lukisan dinding, atau aku tidak memperhatikan?

Ku lanjutkan perjalanan menapak jejak lorong, ada beberapa lukisan lagi selain perempuan tadi. Salah satunya, lukisan bergambar Ayah Norlorn menggendong sesosok anak laki-laki berambut perak memakai kostum kerajaan. Aku mengenal anak itu… dia adalah Norlorn kecil. Diri kecil ia amat menggemaskan, sekarang telah menjadi laki-laki matang berwajah tampan. Sebanding dengan pertumbuhannya ‘kan? Di samping Tuan Nyvorlas ada sosok anak kecil perempuan memakai gaun hitam berambut ikal sebahu berkelir argentum, berpupil mata biru bulan, mirip sosok perempuan yang ku lihat pertama kali di lukisan. Dalam lukisan lain juga ada, tetapi wajah perempuan itu lebih muda dari lukisan pertama dan tak memakai baju zirah, hanya gaun biasa namun elegan. 

Jika dipikir kembali, anak perempuan berambut ikal berwarna perak dan versi dia dewasa sangat mirip dengan perempuan berambut ikal cokelat muda. Ku rasa, perempuan itu adalah kakak Norlorn yang ingin diberitahu perihal pernikahanku nanti. Tapi… 


Ah tidak, semoga saja dia baik. Bukan seperti bayanganku, sosok perempuan bawel dan judes layaknya tokoh antagonis sinetron yang setiap hari ditonton si Mbok. 


Kedua tungkai seperti tak dapat menghentikan perjalanan, laksana hendak memberitahu sedikit silsilah keluarga kerajaan ini padaku. Banyak sekali lukisan di tembok, sampai lukisan Tavin dan Adome pun ada. Namun, letaknya di sisi kanan dinding. Lukisan Tavin mengapit sebuah lukisan besar seluruh pelayan kerajaan di sisi kanan, sedangkan Adome di sisi kiri. Dominan memang laki-laki, tetapi pelayan perempuan juga ada walau hanya dua. Yang satu berambut hitam bersanggul khas pelayan, berwajah mirip manusia di negeriku. Yang satunya, berambut kuning gading seperti Erlan dan bermuka oriental. Hampir mirip dengan para pelayan laki-laki yang bisa dibilang mempunyai wajah bak karakter komik serial cantik ku baca semasa sekolah. Kurang lebih, di lukisan ada 20 sosok pelayan termasuk Adome dan Tavin. Dominan laki-laki berambut cokelat keemasan bercampur pelayan berambut warna cokelat tua dan hitam. 

Sejujurnya, aku malah membayangkan mereka semua adalah Hosuto di dunia manusia, sedangkan pelayan perempuan antara cosplayer atau bekerja di maid café. Begitulah khayalan seorang mantan weeaboo yang telah kembali ke jalan lurus. 

Sekonyong-konyong, pengamatan berbelot ke sisi kiri dinding bagai menyambung cerita singkat tergambar dalam pemerian. Ada 7 lukisan lain setelah lukisan keluarga Norlorn, sebuah lukisan keluarga. Sosok pria berambut hitam memakai mahkota dengan kostum bertatahkan berlian diiringi 3 sosok remaja laki-laki berpakaian glamour, dan seorang wanita bergaun ungu memakai tiara merangkul sosok anak kecil laki-laki berpakaian tak kalah mewah. Mereka sama seperti keluarga Norlorn, bangsa Alp. Terkecuali, para pelayan yang lebih manusiawi perwujudannya dibanding keluarga kerajaan. Apakah itu adalah lukisan raja dan istrinya? Sedangkan keempat anak laki-laki dalam lukisan adalah pangeran? Ku rasa iya, kalau dilihat dari representasi gambar lain yang menunjukkan versi dewasa 4 laki-laki kecil di lukisan sebelumnya.

Menarik juga—

Ulang ku menyelusuri koridor istana sebagaimana panduan Norlorn di kamar. Jadi penasaran, di mana akhir dari jalur ini? Akankah ada tempat lain atau berakhir pada jalan buntu? Selangkah demi selangkah menjejaki sampai semuanya berganti menjadi lorong gelap minim penerangan. Hanya ada obor kecil menyala di beberapa sisi dinding.

Jika gelap begini, bagaimana melanjutkan perjalanan?

Perlukah menggunakan ketaya yang terpasang? Atau aku ikuti saja jalan ini tanpa menggunakan obor? Bagai buah simalakama, jika tidak mengambil obor akan kesulitan mengetahui di mana akhirnya. Tapi jika memakai obor, bolehkah obor dinding diambil?

Ada tidak ya larangan mengambil obor di dinding? Jika tidak ada, dapat dipakai menjadi penerangan menelusuri istana sampai selesai. Beberapa detik kemudian, buyar pikiranku… akibat terbetik derap langkah berjarak kurang lebih 2 meter dari tempatku berdiri.

Siapa itu? Jangan-jangan….

Lekas ku cari tempat bersembunyi di belakang guci hingga derap itu tidak terdengar lagi atau pemilik langkah tak menyadari keberadaanku. Setidaknya, guci-guci mahal di koridor mampu menutupi seluruh tubuh, itu sudah lebih dari cukup untuk seseorang memiliki badan kecil dan pendek dari rata-rata wanita umur 27 tahun pada umumnya.

Aku memantau keadaan dari belakang guci, hanya terdengar suara sepatu, belum ada wujudnya. Siapa kira-kira pemilik langkah karismatis itu? Sekian menit menanti sosok berlangkah wibawa tersebut, belum ada perkembangan, sampai-sampai akhirnya…

***

Tapak tanganku menutup mulut secara instingtif saat melihat kemunculan perawakan sosok laki-laki berambut cokelat kehitaman sebahu tak terlalu lurus memakai hiasan kepala serupa lukisan, berkulit tidak terlalu putih dan bertubuh tinggi, berhidung mancung seperti karakter ganteng di game RPG. Mengenakan pakaian bernuansa hijau tua bercampur putih dengan ornamen goresan flora berkelir galuh di bagian dada. Sedangkan, serawal dan sepatunya berwarna putih susu.

Sepasang pupil berwarna senada dengan pakaiannya melirik guci yang menjadi tempatku mengintai dia. Ekspresi yang seolah-olah tahu ada yang memata-matai dari balik tempayan. Semoga ia tak menyadari kehadiran manusia di sini.

“Wer ist da!?”

Suara dia memantul, terdengar sama berwibawa dengan langkahnya. Perlukah mengenalkan diri ini di hadapan dia? Sebetulnya ragu, tapi jika tidak ku lakukan, akan menjadi restriksi pikiran. Aku bukan pencuri atau penyusup ‘kan? Lagi pula, Norlorn bilang kalau ada yang menanyaiku suruh menyebutkan nama dia. Tak mungkin juga mereka asal memenjarakanku jika aku memperkenalkan diri secara baik-baik sebagai teman Norlorn, setidaknya hingga makan malam tiba.

Buru-buru diriku keluar dari persembunyian. Mimik laki-laki maskulin itu tampak salah tingkah sekaligus pelik saat melihat sosok manusia berada di dekatnya.

“Wer bist du?”

Aku tak mengerti apa yang dia bicarakan, mungkin aku sedikit tahu maksudnya. Dia pasti bertanya, siapa diriku bisa ada di sini? Sepertinya dia menanyakan itu.

“Saya Giovani, teman dari Norlorn.”

“Gio… vani?”

“Maaf beribu maaf jika saya mengejutkan Tuan. Sekiranya kehadiran saya menganggu, saya pamit.” Aku membungkuk seraya melangkah untuk mohon diri.

“Tunggu!” seru dia.

“Mohon maaf, ada yang bisa saya bantu?”

“Kau… teman Norlorn?”

“Ya,” Aku mengangguk.

“Aku tak percaya jika kau temannya.” Matanya mengamati dari ujung rambut hingga kaki. Gamblang kerlingan dia, mengidentifikasikan terdapat rasa ingin tahu lebih lanjut kedatangan sosok manusia di istana.

“Mungkin, Tuan dapat menanyakan langsung pada Norlorn mengenai saya.” Aku membalas dengan bersikap biasa.

“Norlorn mempunyai teman perempuan semungil dirimu?” Dia tercengang.

Aku tersenyum simpul, tak tahu harus senang atau sedih oleh perkataan laki-laki berpupil hijau tersebut.

“Saya hanya berjalan-jalan menyusuri lorong istana sampai tiba di sini.” tuturku.

“Baiklah, aku percaya kau bukan penyusup, Nona mungil.” kicau si laki-laki, birai ia tersenyum tipis.

“Maaf, saya mengejutkan Anda.”

“Tidak apa-apa, aku baru tahu Norlorn punya teman perempuan semanis dirimu.” ucap dia terkekeh.

“Saya bukan gula, Tuan.”

“Bahkan, kau lebih manis dari gula,” Dia makin tergelak mendengar perkataanku tadi. Dasar laki-laki aneh. Bisa-bisanya, menggombali sosok manusia belum dia kenal betul.

“Jika saya manis, tentu rombongan semut akan mengerumuni saya, bukan?”

“Kau bisa bercanda juga, Nona mungil.” gelak dia.

“Memang kenyataannya begitu Tuan.” Aku nyengir.

“Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan.” Dia ikut mesem.

“Saya sudah memperkenalkan diri pada Tuan. Giliran Tuan mengenalkan diri pada saya.” Aku menunjuk dia sedetik.

“Aku Taeglyn, pangeran termuda kerajaan ini.” kata dia berlutut sambil mencium tanganku.

Sejujurnya, cukup risih dengan perlakuannya. Mengingat diriku bukan siapa-siapa baik di duniaku atau di sini. Mengapa dia bersikap begitu dengan manusia baru dikenal?

“Paduka tidak perlu bersikap begitu pada saya, saya bukan siapa-siapa.”

“Itu hanya perkenalan dariku, Nona mungil. Tak perlu sungkan.”

“Tapi… paduka….”

“Mengapa tidak? Perempuan manis seperti dirimu layak ku sambut.” balas dia.

“Sebelumnya, saya berterima kasih atas pujian paduka pada saya,”

“Aku tidak pandai berbohong pada perempuan, apa yang ku lihat, itulah yang ku katakan.” Dia bak menangkis perkataanku.

“Baiklah, saya percaya paduka bukan laki-laki don juan,”

Ups… mulut ini, bisakah tidak menyindir sebentar? Mengucapkan kalimat yang dirasa tidak sopan pada pangeran? Ku harap, dia tidak mendengarku beberapa detik lalu.

“Kau bilang apa?” tanya dia, dahinya berkerut.

“Saya bilang, saya melihat lukisan Anda di dinding tadi,” Aku berdalih.

“Oh ya? Kebetulan sekali kita bertemu di sini.” ucap Taeglyn tersenyum lebar.

Sepertinya, pangeran tidak mendengar kalimat tidak sopanku barusan. Semoga iya.

“Menurut saya, tak ada namanya kebetulan. Semua sudah dirancang oleh Yang Kuasa.”

“Sepertinya begitu,” Taeglyn mengangkat bahu, seakan tak percaya apa yang dia temukan hari ini.

“Saya percaya, pertemuan tadi sudah ada di skenario kehidupan saya atau paduka sendiri.”

“Bisa jadi begitu. Bahkan, aku sendiri tidak mengetahui hari ini akan bertemu perempuan mungil manis di lorong.” Pipi ia merona merah delima.
Dia itu kenapa? Apakah selama ini tidak pernah mengenal perempuan?

“Begitulah, skenario Tuhan tak dapat ditebak.”

“Aku setuju. Ngomong-ngomong, kau mau ke mana?”

“Saya ingin ke menara istana. Pangeran sendiri?”

“Kau juga? Bagaimana kalau kita berangkat bersama-sama?” Tawar ia mengambil obor dan mangajakku melanjutkan perjalanan.

“Tentu saja saya menerimanya, pangeran.”

Lorong istana semakin lama tambah jarang pencahayaan, menambah kesan ortodoks dan okultisme pada istana. Tidak semenyeramkan di kira, malah lorong ini terlihat begitu klasik meski nuansa misterius tetap dominan di mata. Pangeran Taeglyn seakan memahfumi keheranan dan kejerianku.

Tangan dia menggenggam erat, seperti sinyal bahwa dia bukan sosok jahat, melaikan sosok penanggungjawab layaknya Norlorn tadi pagi.
“Lorong ini memang gelap, karena….” Kalimat pangeran Taeglyn menggantung, suaranya terkesan pilu.

Apa lagi ini? Seperti sinetron saja.

“Maaf pangeran, sebetulnya ada apa di lorong ini?”

“Kau akan tahu setelah sampai di menara.”

Pangeran Taeglyn mempercepat langkahnya dari koridor, menarik lenganku hingga rok baju iring melambai. Menaiki puluhan anak tangga terbuat dari gerinda, sehingga menimbulkan bunyi menggisil dari sepatu.

Kemudian, kaki dia berhenti pada sebuah jalan berbatu. Tidak kalah gelap dari koridor yang tadi ku jelajahi setelah melihat lukisan keluarga kerajaan. Kami berjalan pelan, lebih tepatnya bagai seorang penceluk. Berjalan sembunyi-sembunyi, merapat ke tembok sebagaimana pemain sirkus.

Apa yang direncanakan pangeran?

Sebelum pertanyaanku terjawab, Pangeran Taeglyn segera berlutut seraya memaut tubuh ini. Tak lama, bibir ia menyengap bibirku. Aku tersentak, pupil mata membulat dampak tindak tanduknya.

Apa sih!? Dia pikir, aku perempuan murahan? Bisa seemaknya diajak ke tempat sspi lalu di”pakai”?

Petanyaanku serasa terjawab oleh isyarat mata ia, sepasang mata menunjukkan adanya makhluk lain bertengger di pilar menara. Mendadak, jantungku laksana berhenti berdenyut sesaat melihat makhluk amat...

Sosok ular hitam raksasa berkepala 6 melilit salah satu fondasi benara, lidahnya menjulur serupa api. Benar-benar menakutkan, begitu besar, 3 kali lipat ukurannya dari tiang menara dan Anaconda pada sinema Hollywood. Lututku rasanya lemas, melihat makhluk sebesar itu secara langsung.

Kalau begini akhirnya, aku tak akan menerima tawaran pangeran Taeglyn ke sini! Ular itu mulai turun dari pilar, bunyi mendesing hampir memecahkan telinga. Tak kalah dengan bunyi berderik-derik dari ekornya.

Pangeran Taeglyn menyuruh tetap diam hingga ular itu pergi sampai akhirnya menghilang di balik kegelapan jalan. Aku bernapas lega setelah ular raksasa tidak ada lagi di mataku. Pangeran mengeloskan pagutan dan ciuman dia.

“Maaf….”

“Nggak apa-apa pangeran. Saya anggap, tadi adalah pertolongan Anda.” ucapku, kaku.

“Maafkan aku, aku tidak bermaksud…”

“Jangan diteruskan pangeran, saya paham maksud Anda,”

“Sekali lagi, maafkan aku.”

“Siapa ular itu? Besar sekali. Melihat dia, seakan mati sejenak.” Celotehku.

“Dia adalah Slah-stissh, ular penjaga menara ini.” Pangeran Taeglyn menjelaskan.

“Dia buas?”

“Lebih tepat disebut tempramental tinggi dan pemberang,”

“Lalu, yang kita lakukan tadi untuk apa?”

“Slah-stissh merupakan bangsa bukit Nyë,”

“Di mana?”

“Di Hutan Cahaya.”

“Oh, saya sudah mendengar itu dari Norlorn.”

“Ternyata, Norlorn sudah cukup bercerita banyak rupanya.”

“Pertanyaan saya belum Anda jawab, Pangeran.”

“Bangsa bukit Nyë merupakan bangsa ular tertua di Hutan cahaya, mereka amat menyukai erotisisme,” Pangeran Taeglyn berkisah.

“Jadi, yang kita lakukan adalah….”

“Dia akan pergi kalau melihat pemandangan seperti kita tadi,”

“Kenapa begitu?”

“Karena bagi Slah-stissh, itu merupakan kunci masuk dalam menara.” Pangeran Taeglyn menunjuk sebuah pintu cokelat tertutup cahaya hijau keunguan.

“Itu pintunya, pangeran?”

“Ya, itu pintu menara.” jawab pangeran Taeglyn.

“Bagaimana, jika ular itu datang lagi lalu menutup pintu menara?”

“Kita akan melakukan seperti tadi, tentunya dengan sedikit tambahan.” Dia mengedip mata.

“Huh!? Saya bukan perempuan seperti pangeran pikirkan!”

“Aku hanya bercanda, tapi kita akan selamat jika melakukan cara itu.”

“Nggak ada cara lain?”

“Belum ada, Nona mungil.” Pangeran Taeglyn menggeleng.

“Repot juga,”

“Ngomong-ngomong, kau punya kekasih?”

“Kekasih di?”

“Di duniamu,”

“Nggak punya.”

“Semanis dirimu, tidak punya kekasih? Mustahil.” Dia berujar, wajah ia memancarkan keraguan.

“Saya bersumpah, pangeran.”

“Lalu di sini?” Alis dia naik.

“Di sini ya?” tanyaku, bingung harus jawab apa. Apakah harus mengaku, aku adalah kekasih Norlorn? Tapi, kalau aku mengaku… tidak kejutan namanya.

“Iya,”

“Nggak ada.” jawabku. Terpaksa aku berbohong, semoga tidak berdampak buruk nantinya.

“Yakin?”

“Begitulah pangeran. Maaf, bukankah Anda ingin masuk ke pintu sana?” Aku menoleh ke pintu.

“Iya juga, kau ingin melihat ke dalam ‘kan?”

“Jika pangeran nggak keberatan.”

“Mari ku antar,”

Pangeran memadamkan obor dengan sekali jentikan. Lalu, dia membaca sebuah syair berbahasa asing yang di duga adalah sebuah mantra pembuka pintu. Di penghujung bacaan, berangsur-angsur, pintu terselimuti cahaya hijau keunguan terbuka.

Pangeran menaik turunkan kelima jemari kanan ia, memberi aba-aba untuk mengikuti ia masuk. Yang ku pikirkan pertama kali, menara adalah tempat amat gelap tanpa penerangan. Tapi dalam menara ini, sebaliknya. Sangat terang dan indah. Tak dapat ku lukiskan dengan kata-kata. Sebuah taman minimalis berada di dalam, ada sebuah bangunan kecil menarik perhatian mataku di pojok ruangan.

“Ruangan apa itu, pangeran?”

“Kau ingin masuk, Nona mungil?”

“Ya, aku ingin tahu.”

“Tampaknya, kau amat tertarik dengan menara ini.”

“Salah satu alasanku adalah menyelesaikan naskah novelku.”

“Kau penulis cerita?”

“Kurang lebih begitu,”

“Hebat!”

“Tidak sehebat itu, pangeran. Saya tidak dikenal di dunia saya,”

“Terkenal atau tidak, semua butuh proses.” Pangeran mengacungkan jempol.

“Mungkin akan lama,”

“Menulislah hingga kau tak sanggup lagi menulis.”

“Ya, itu selalu saya lakukan, pangeran.”

“Tulisan itu layaknya sejarah, tak akan lekang oleh waktu.” Senyum dia merekah, macam membagikan injeksi motivasi.

“Saya pernah mendengar ungkapan itu, tapi… entah di mana.”

“Mungkin, ada di salah satu buku yang kau baca.” Pangeran Taeglyn menanggapi, dia mempersilakanku mendatangi palka berukuran 5 x 5 meter di sudut taman.

Ruangan ini lebih mirip museum dibanding kamar semata. Jadi tambah ilmu untuk mengetahui sebagian sejarah wilayah ini hingga asal-usul keluarga istana. Diriku baru paham, keluarga Norlorn dan keluarga raja masih ada ikatan wangsa. Sangat wajar, jika keluarga Norlorn tinggal satu tempat bersama keluarga raja. Di sudut kanan, ada lukisan 2 wanita berbeda bingkai. Aku mengenal sekilas, Ibunya Norlorn dan ratu.

Banyak barang-barang peninggalan mereka di kamar. Mulai dari baju zirah, hingga pedang dengan bercak darah. Sekilas bayang, netraku menyaksikan peristiwa masa lalu. Terlampau menyedihkan untuk diceritakan. Air dari mata secara impulsif menitik membiaki pipi.

“Apa yang kau lihat, Nona mungil?” tanya pangeran Taeglyn, serasa paham keadaan sekarang.

“Aku nggak lihat apa-apa, pangeran.” Aku mengelik, sambil menghapus air mata.

“Jika kau tidak melihat apa-apa, mengapa kau menangis?”

“Aku cuma kelilipan.”

“Kau bohong, Nona mungil. Aku tahu apa yang kau lihat… tentang Ibuku.” ujar pangeran Taeglyn. Tangan simpatik ia berusaha menenangkanku.

“Maafkan saya, pangeran.”

“Tidak apa-apa, justru aku berterima kasih kau sudah menemaniku di sini.”

“Anggap saja, saya mendapat pengetahuan baru di sini.” kataku.

“Ngomong-ngomong, kau berapa lama di sini, Nona mungil?”

“Di menara ini? Sudah cukup. Saya ingin kembali ke kamar Norlorn.” Aku menjawab menuju pintu keluar.

“Maksudku, kau berapa lama di istana ini?”

“Saya sendiri belum tahu kapan saya bisa pulang, pangeran.”

“Baiklah. Kau masih ingin di sini, Nona mungil?”

“Sudah cukup untuk naskah saya, pangeran.”

“Mari kita kembali.” Pangeran Taeglyn menuntunku keluar. Namun, belum ada 10 langkah, dia menarikku ke sisi lain menara.

“Sebenarnya ada apa?”

“Slas-stissh telah kembali,” bisik dia.

“Astaga….”

“Apakah, kau bersedia melakukan itu lagi sebelum dia marah?”

“Benarkah nggak ada cara lain untuk keluar, pangeran?”

“Aku sudah bilang tidak ada, ‘kan?”

“Baiklah kalau begitu, saya akan mempersembahkan khusus untuk Slas-stissh.” Aku mulai menyusun strategi, merisikkan rencana pada pangeran. Pangeran Taeglyn nampaknya terguncang sedikit waktu mendengar rencanaku agar Slas-stissh mengizinkan kami keluar.

“Bagaimana dengan rencana saya, pangeran?”

“Kau yakin ingin melakukan bersamaku, Nona mungil?” Tangannya menyentuh bahuku.

“Sudah saya bilang barusan, mempersembahkan khusus untuk Slas-stissh.” Aku merespons, pangeran Taeglyn yang semula tercengang seketika berubah menjadi ganas.

Dia membopong diriku keluar ruangan. Kini, aku tersentak menatap kelapa Slas-stissh sudah ada di pintu menara.

“Dd... i… a, datang….”

Pangeran Taeglyn menempatkan diriku dalam pangkuan ia di kursi taman menara. Mata Slas-stissh mengisyaratkan sudah tidak sabar menunggu kami melakukan hal kesukaannya. Pangeran Taeglyn telah memberi kode pertunjukan untuk Slas-stissh akan dimulai. Segera ku kancing bibir tipis sang putra mahkota muda memakai bibirku, berbalas-balasan menjajap genahar masing-masing. Atmosfer kian beringsang semasa persabungan berjalan. Kecupan si putra mahkota tambah berangasan, tatkala ciuman erotis menyambar leher. Membangkitkan desah sensual yang mencagun bergaung pada benara.

Ku geladah di balik lancingan ia, ada sesuatu suah mengeras. Genitalia besar, tak kuat tertahan lama-lama di genggamanku. Bibirku merisik, “Sekarang, paduka….”

Jariku membimbit arah dari balik gaun, membelamkan “milik” putra mahkota dalam abaimana. Cukup sesak rasanya, setelah seluruhnya terbenam dalam “milikku”.

“Sempit… Nona mungil.” Terdengar lejar napas sang pangeran di telinga.

“Maaf paduka, saya terbawa suasana.”

“Tidak masalah, kita tinggal menunggu Slas-stissh pergi.” ujar pangeran melirik Slas-stissh. Kepala ularnya mundur perlahan dari pintu.
Membuat diriku sedikit lega dan ada harapan untuk keluar dari menara dengan baik-baik saja.

“Sepertinya, dia sudah puas, paduka.” Aku menyeletuk.

“Ku rasa iya, Nona mungil.” Pangeran Taeglyn mengangguk. Gelagatnya, ia menunggu seluruh kepala Slas-stissh keluar menjauhi pintu.

“Paduka tak ingin meneruskan ini bersama saya?”

“Aku….” ujarannya melempai.

“Ada apa paduka?”

“Kau… kekasih Norlorn, bukan!?” tembak ia.

“Lalu kenapa?”

“Aku melihat semua dari matamu, Nona munggil yang nakal!”

“Lantas, apa hubungannya?”

“Kau tidak sepolos kelihatannya.” Pangeran Taeglyn menyeringai.

“Saya tidak pernah bilang diri saya polos, bukan?”

“Bagaimana kalau diteruskan saja di kamarku, Nona mungil?” tawar pangeran.

“Bagaimana bisa? Slas-stisah masih di sini,”

“Dengan ini, Nona mungil.”

Pangeran Taeglyn mengucap sebuah mantra, lalu….

Semua suasana berganti menjadi kamar bernuansa putih nan megah. Posisiku masih sama, membenamkan “milik” sang putra mahkota dalam “milikku”. Hanya berganti tempat di ranjang milik pangeran Taeglyn.

“Kenapa Anda nggak melakukan dari tadi, paduka!?”

“Bagaimana aku bisa melewatkan dirimu begitu saja, Nona mungil?”

“Jika Anda bisa sihir, nggak perlu repot menghindari slas-stissh!”

“Jangan marah dulu. Ada alasan mengapa aku tidak memakai sihir langsung.” Pangeran Taeglyn tertawa.

“Kenapa Anda tertawa, paduka?”

“Apakah kau tidak menyadari, sedari kau berjalan di lorong, aku mengamatimu?”

“Kapan?”

“Kau tak mendengar langkah kakiku?”

“Saya memang mendengar dan bertemu Anda.”

“Iya, memang. Namun, tidak semudah itu ku biarkan manusia asing memasuki menara.”

“Anda jahat, pangeran!”

“Siapa yang jahat? Kau saja yang tidak menyadarinya!”

“Anda benar-benar….”

“Apa? Aku jahat? Kau salah, Nona mungil!”

“Lalu apa!?”

“Kau manis. Sayang… kecerobohanmu lebih dominan.” Bibir pangeran naik setengah.

“Kurang ajar!”

“Lalu, kenapa kau menuruti saja perintahku barusan?”

“Jadi… yang tadi adalah….”

“Kau benar. Itu hanyalah akal-akalanku semata untuk mencicipimu, Nona manis.” Tangannya menepam buah dadaku.

“Jadi, tentang Slas-stissh….”

“Slas-stissh hanya ular biasa berkepala enam dari bukit Nyë.”

“Tentang erotisisme itu….”

“Kau tidak berpikir, apakah seekor hewan dapat mengerti tentang itu?” Pangeran Taeglyn mengelak.

“Sial! Anda menipu saya, pangeran!”

“Aku tidak menipumu, Nona mungil! Kau juga menawari untuk meneruskan,”

“Kalau Anda ingin melakukan bersama saya, kenapa nggak bilang!?”

“Kalau aku bilang, kau akan menyangka diriku kasanova!”

Sial, aku terjebak muslihat putra mahkota sialan ini. Salahku juga, tidak melihat apa motif dia mengajak berangkat bersama. Ternyata, modus. Dasar mata ke ranjang!

“Sudahlah Nona mungil, simpan saja marahmu itu.”

“Anda menyebalkan, pangeran!”

“Aku menyebalkan!? Kau sendiri memasukkan “milikku” ke dalam punyamu, bukan?”

Ini benar-benar membuat pusing! Jika sudah begini, aku harus menuntaskannya.

“Kali ini kau menang, laki-laki don juan!”

“Akui saja, diriku lebih baik dari kekasihmu,”

“Kasih tidak memilih, pangeran! Tapi, Anda sudah mengerjai saya.”

“Bilang saja, kau ingin meneruskan bersamaku. Tak usah malu!”

“Anda ini!”

“Perempuan itu, gengsinya besar.”

Kedua lengan gagahnya berasak ke pinggul, mendesak diriku untuk meneruskan atraksi. Sepasang tangan beringas menaik turunkan pangkal pahaku, membuat manuver mengayun. Jahanam! Ku akui, serangan dia lebih nikmat dari Norlorn. Sentuhannya, ciuman… bahkan gempuran “miliknya” saat ini memang….

“Bagaimana, Nona mungil? Masih ingin bilang aku menipumu?” Pertanyaan ia semacam travesti.

Aku menggeleng.

“Seperti katamu, kasih tak memilih…” Ibu jarinya mengusap biraiku, birai kering yang baru tersentuh lagi.

“Aku memang ceroboh, menawarimu begitu saja di menara.”

“Semua sudah terjadi, Nona mungil.” ucap dia mempercepat ayunan panggulku.

“Ppa..du..ka…”

Napas sudah terkapah-kapah, tubuh bak merelakan sang putra mahkota menabalkan sosok manusia asing jadi boneka pemuasnya. Aku tak tahu, sudah berapa lama pangeran Taeglyn melantaskan agresi, mengayun badan yang sudah tak berdaya untuk memenuhi hasratnya.

Sekonyong-konyong, kelopak mataku mengatup hingga pandangan menjadi eigengrau. Tak dapat lagi ku lihat dia, cuma sentuhan dan suara berbisik di telinga,

“Jangan khawatir, Nona mungil. Aku akan bertanggung jawab….”

Setelah itu, semuanya lesap.

No comments:

Post a Comment