13. Dunia Baru


“Bangunlah... sebelum pelayan datang,” Norlorn mengeloskan dekapan dari pinggang.

“Nggak bisa dilanjut?” 

“Memangnya, mau dilanjut apa?” Bibir Norlorn terangkat seperdua, persepsi sundal mencolok, seakan membangunkan kembali vitalitas tertunda.

Ku sentuh bibir di wajah ia. Kemudian, Norlorn menjatuhkan badannya rendah semacam tadi. Pupil dia melihat saksama bola mata milikku, suak dia ikut merapat, bersentuhan dengan penghidu. Mata ini menyungkup menunggu si rupawan sensual menjajat bagian dalam sambil bersilih saliva miliknya.

“Aku belum ingin menjelejahi milikmu,” bisik Norlorn.

“Lakukan saja atau kamu aku patuk!” seruku, tangan kanan menggayakan hewan ular serial india. 

“Patuk saja,” Norlorn nyengir.

“Kamu saja yang patuk. Mudah ‘kan?” Aku melonjak, Norlorn kaget, sehingga berputar ke sisi sebelahnya. 

“Kau ini agresif sekali,” Norlorn berpaling.

“Kamu nggak tahu? Aku sudah ada di puncak nafsu ingin digagahi. Paham!?” 

“Aku memang tidak tahu.” Norlorn menggeleng.

“Sudahlah lakukan saja! Nggak perlu berdebat.” 

Tubuhku menerjang dia, Norlorn memperhatikan air muka. Ia membuntang, pupil miliknya membulat. Rona merah visibel di pipi dia, suara Norlorn terdengar gugup, “Mau—apa—kau?” 

“Kamu ingin tahu, sayang?”

Norlorn balas seringai, mendempetkan wajahku. Dia bagai ksatria buas di peperangan dan sensual dalam gerakan menggauli sosok haus belaian. Seksi sekaligus garang... kombinasi harmonis. Norlorn meraba paha, “Apa sayang? Katakan padaku....”

Rok ku dibuka, matanya menyilik kulit berwarna pingai. 

“Kamu inginnya apa?” 

Aku mengawai kancing kostum dia, membuka satu-persatu. Dada bidang Norlorn terpampang, kepala ku jatuhkan seraya mencium aroma tubuh seksi nan jahanam miliknya. Jari jenjang Norlorn meraba organ liabel terselubung di balik rok, lalu memainkannya. Mata ikut mengejam, mencicip jemari menggeliang di dalam. Ku remas kostum ia, sekali lalu berucap, “Aku ingin ini....”

“Semuanya... milikmu,” Aku berkata tersendat-sendat.

“Benarkah?”

“Tentu saja.”

Jari dia semakin bermain dalam daerah kewanitaan, meningkatkan tempo permainan. Begini saja... sudah menimbulkan sensasi nikmat, apalagi dikombinasi bersama ‘miliknya’?

“Kau suka?”

“Selalu suka... jika kamu,” 

“Aku juga.” Norlorn membelai lembut serabut faraj, sesaat... sentuhannya terhenti. Genitalia terasa ranai dan sedikit kendur. 
Dia mencabut jari sambil memperlihatkan cairan bening berbalut. Norlorn membiarkan jari ia behias cairan. “Sudah ingin?” tanya Norlorn.

“Aku memang ingin,” 

“Setelah sarapan....” Norlorn bungkas, mengemban tubuh pendekku.

“Aku nggak tahan lagi!” ucapku merenyeh.
Norlorn menapuk kening, lalu bernegosiasi, “Sabar sayang... setelah jalan-jalan, mau?”

“Seka...”

Dia menggerendel perkataan, bibir menggiurkan kepunyaannya mengasak bibirku. Genahar agak ku buka, agar mempermudah indra perasa Norlorn mengelana. Menunggu belintan tak berangka sena liar merodong di dalam.

Beberapa saat menunggu... lidah sensual ia mulai beraksi, berputar menjajap palka mulut. Nada kecapan terdengar mersik sembari meninjau pengembaraan dia dan bergilir saliva ku tunggu. Seketika... kecupan reda.

“Kenapa berhenti!?”

“Aku tidak ingin para pelayan melihat kita.” Norlorn mengimbau.

“Masa bodoh dengan pelayan!”

“Kau lupa? Kita belum menikah...”

Belum meneruskan pembicaraan, ada dua orang laki-laki masuk ke kamar. Bersetelan kemeja putih panjang, berompi hitam dengan celana bahan berwarna senada dan dasi kupu-kupu berangkap pantofel kemilap. Sesosok laki-laki berambut cokelat gelap, berwajah manis tanpa anting di telinga. Di sebelahnya, laki-laki berambut warna lemon, berparas menarik, berpupil deragem memakai kalung dan anting logam. 

Mereka mengamati posisiku... kelihatan di raut, dua persona itu gelagapan memandang sosok perempuan bersama Tuannya. Dwi pasang mata menempak satu sama lain, troli kayu berisi nampan makanan dengan tutup masing-masing konstan statis di tempatnya. Norlorn membelalak untuk membuyarkan fokus sepasang bedinda.

“Seht ihr was?!” Norlorn mengkritik jelah.

Dua pelayan tergegau mendengar Norlorn berbahana, gelagat mereka pucat kesi. Kemudian mengucapkan beberapa kalimat bahasa asing tak ku mengerti sambil undur diri dan keluar kamar.

“Siapa nama dua sosok tadi?”

“Tavin dan Adome.” Norlorn menjawab pendek.

“Yang mana Tavin dan mana sosok Adome?” Indra penglihat penasaran pada jejak aura dua pelayan.

“Ehem—“ Norlorn mengacau sentralisasi.

“Aku hanya ingin tahu,”

“Apa kepentinganmu ingin tahu para pelayan?”

“Cuma bertanya.” jawabku sekadarnya.

Alis Norlorn naik membelek mataku sebentar... akhirnya dia membuka anekdot, “Baiklah aku percaya. Tavin tidak memakai anting dan kalung. Jelas?”

“Ya,”

“Sekarang sudah waktunya sarapan.”

Norlorn berdiri sembari memajukan troli padaku. Kemudian, membuka semua tutup makanan tersaji. Kiranya sedap, hidangan mewah dari berbagai lopak menimbulkan rasa lapar. Suguhan tak jauh berbeda di duniaku. Semacam pasta khas Eropa dan beberapa hidangan kecil seperti potongan buah atau cupcake didampingi dua buah botol yang ku duga anggur merah berikut gelasnya.

Sarapan paginya begini? Ini serius?

“Kau mau pilih yang mana?” Norlorn membuyarkan lamunan.

“Yang paling enak piring ke berapa?”

“Bagaimana kalau ku beri rekomendasi piring ke empat?” Norlorn tersenyum jenaka, mengambil dua buah piring di bagian bawah, lalu mengambil beberapa sauk laksan spiral berhias lelehan keju, irisan daging, saus krim dan sayuran.

“Itu Fusili ?”

“Iya. Kau suka?”

“Begitulah. Dulu sekali… aku suka membuat sendiri.”

“Oh ya? Perempuan bertangan halus sepertimu bisa masak?” Lirikan ia bagai mencemeeh, biji matanya menyungguh.

“Kamu ngeraguin aku?”

“Bukan meragukan, cobalah kau membuatkan masakan untukku.” jawab dia terkekeh.

“Nanti,”

“Baiklah, aku tunggu.” Norlorn tersenyum.

“Sudah siap ‘kan makanannya?” tatapku ke kereta dorong.

“Sudah. Kau ambil saja sendoknya.” tunjuk Norlorn ke piring makan dan baki berisi sendok dan garpu.

Norlorn memberi piring berisi satu porsi Fusili padaku sambil menjangkau sudu tersedia. Setelah itu, ku suap sedikit demi sedikit suguhan lezat di lopak. Sulit dijelaskan, pokoknya lebih enak dari buatanku atau pasta buatan restoran yang pernah ku kunjungi.

“Bagaimaba rasanya?” tanya Norlorn.

“Enak banget. Siapa yang membuat?”

“Coba tebak….” Norlorn terbahak.

“Siapa sih? Jangan main tebak-tebakan buah manggis dong,”

“Adome.” Norlorn menjawab singkat, suapan fusili terakhirnya telah tuntas.

“Wow… dia bisa masak?”

“Dia itu kepala pelayan sekaligus koki di kerajaan ini.” jelas Norlorn.

“Pantas….”

“Kenapa, Gi?”

“Enak masakannya.”

“Begitulah. Tapi, aku yakin masakanmu lebih enak dibanding Adome,” Norlorn berucap, nada bicara kedengaran agak mencibir.

“Ya, coba sendiri saja nanti.”

“Benar? Ku tunggu masakanmu.”

“Tunggu saja….” ucapku, mata mengedip sebelah.

“Jadi ‘kan kau ikut berjalan-jalan?”

“Tentu,”

“Baiklah. Kita berangkat sekarang.”

Norlorn beranjak sambil menaruh piring ke troli dan pergi ke sisi lain kamar. Dia bersiap nemakai tunik, membawa perbekalan dan mengambil salah satu pedang terpajang di tembok kamar. Persiapannya banyak sekali, dia itu sebenarnya mau kemana?

“Kelihatannya kamu repot banget, Noey?” tanyaku seraya menuang anggur ke gelas.

“Dengar… kau ini tamu dan tanggungjawabku!” Norlorn berseru.

“Lalu, kenapa persiapannya banyak?”

“Kau tak akan tahu bahaya di luar sana, kalau tak ada persiapan.” Perkataan ia terdengar tegas.

“Siapa kamu sebenarnya, Norlorn!?”

“Kau tak perlu tahu!”

“Katakan padaku!”

“Apa urusanmu ingin mengetahui itu?”

“Cuma mau tahu, nggak ada maksud lain.”

“Baiklah, akan ku katakan sebuah rahasia padamu,”

“Rahasia apa?”

“Aku adalah anak dari panglima kerajaan.”

“Oh… maaf, aku kurang ngerti maksud kamu.”

“Ayah adalah pimpinan panglima seluruh wilayah, aku hanya membantu menjaga istana ini.”

“Pantas… persiapanmu begitu matang. Rupanya kamu panglima muda.”

“Sudah cukup penjelasannya?”

“Ya cukup… maaf karena keingintahuanku.”

“Tak masalah.”

“Tetap jadi berjalan-jalan ‘kan, Noey?”

“Tentu saja, kita akan berkeliling negeri.” Norlorn mengangguk sembari tersimpul.

Dia berjalan ke jendela utama, kedua tangannya membuka kaca. Angin sedingin salju berdesir memutari kamar, mulutku mengeluarkan halimun. Ku usap bersamaan kedua telapak tangan untuk meredakan rasa dingin.

“Gigi, kau baik-baik saja?” Raut Norlorn terpancar kekhawatiran dan mengambil sebuah mantel bulu tergantung di kapstok, lalu memakaikan mantel ke tubuhku.

“Jangan sampai kau hipotermia, Nona….” Dia berucap.

Norlorn kembali ke jendela dan mengeluarkan sebuah alat peniup dari tas kain di balik jubah. Alat itu berbunyi meringking, membuat pengang dan nyaris pecah gendang telinga. Norlorn tetap bergeming di jendela, wajah ia melihat ke langit bagai menunggu sosok datang pada dia. Ku yakin, sosok itu merupakan sosok istimewa. Seperti apa wujudnya? Diriku amat menghendaki makhluk yang dimaksud tampak segera di cakrawala.

“Siapa yang kamu panggil, Noey?”

Suara mengaum terserempak dari tawang, seolah-olah menyahut tanda tanyaku. Aku menoleh ke jendela. Tak ada apapun, cuma langit berawan. Lantas, dari mana auman itu?

“Ayo kita turun, dia sudah datang.” Norlorn menutup jendela, segera menarikku keluar kamar. Kami berlari menyusuri lorong, dan menuruni tangga hingga lantai dasar, mengerahkan kecepatan menuju pintu utama kastel.

Pintu istana terbuka lebar, didampingi beberapa jagapati. Mata membelalak melihat halaman luas berumput corak ungu layung telah terisi sosok sangat besar. Sato berbentuk serigala dari kepala, cakar depan dan ekor. Sedangkan, cakar belakang berwujud cakar burung. Bermanik mata aswad, berbulu patron putih pada bagian perut, mempunyai sepasang sayap hitam berwarna pirau. Hewan tersebut bagai bersantai menunggu pemiliknya. Badannya memanjang disertai kibasan ekor.

“Wow….”

“Ayo,” Norlorn mengajakku menghampiri sang hibrida.

“Ini… Simurgh ‘kan!?” Mataku tak percaya melihat hewan fantasi secara langsung.

“Benar.”

Norlorn lekas medaki sayap Simurgh, memasang tali kemudi di moncong untuk mempersiapkan perjalanan hari ini. Setelah di rasa cukup, Norlorn kembali turun… meranti tangan miliknya pada diriku. Ku sodorkan tangan memanjat sayap seauai panduan Norlorn. Dia nenyuruh duduk di sisi depan sambil memerintah untuk menggengam erat tali kekang. Dari belakang, Norlorn bertindak sebagai penyeimbang. Ia menarik tali kemudi perlahan… membuat Simurgh bangkit lalu berdiri tegak.

Ku lihat ke bawah… sangat tinggi pemandangan dari atas. Para pengawal terlihat kecil, sampai membuat tubuh gemetar. Norlorn mendekap tanganku dan berbisik, “Jangan takut, aku dibelakangmu.”

Norlorn menarik tali sedikit cepat. Simurgh menggeru, sayap mulai msngepak… menimbulkan deru pawana menggoyang rumput. Kepala Simurgh mendongak, kedua cakar depan mencakar langit, kemudian—

Berlari membelakangi pelataran dan meninggalkan garis haluan. Sayap meruak, bagai pertanda sang Simurgh akan mengangkut kami ke suatu loka. Panorama keaderahan sentral mulai mini, para rakyat yang beredar menyerupai kelik-kelik. Pengalaman perdana menggetarkan hati menaiki hewan fantasi di alam lain dengan tujuan berplesir. Sesudahnya, pandangan bertukar dari bangunan abad pertengahan menjadi permadani samudra bernuansa biru cerah.

Simurgh terbang ke bawah, kepalanya sedikit menukik bahar. Cakar depan ia berkilap, raganya menjorong bersama ketiga kakas lainnya. Osean kelihatan terpisah, tatkala kuku tajam milik sang makhluk babad menggoleng tirta hingga menyulut renjis ke wajah. Air laut sejuk mendatangkan keceriaan.

“Kau merasa senang, Gigi?”

“Pengalaman perdana, menaiki secara langsung hewan fantasi kayak di film fiksi buatan Hollywood.” Rasa takjub terlontar dari bibir.

“Kau senang, tidak?”

“Senang sekali.” Aku menjawab berbareng anggukan.

“Tak kalah indah dengan duniamu ‘kan, Nona?” timpal Norlorn.

“Jauh lebih indah….”

Arah mengudara Simurgh kembali merabung, serampin kepak kian rentang berkimbang-kimbang menjauhi segara. Ku lihat tali kemudi, sepasang tangan putih meta cekatan mengendarai Simurgh. Kebeningan lautan menyilam, berganti lansekap cakrawala beregak fauna surealisme melangit di bumantara.


Naik… turun… terbang mendobrak angkasa dan membelah lautan. Dunia Norlorn masih banyak rahasia harus diungkap. Kaki ini tak akan kembali… bersumpah untuk mengejar semua misteri selama berada di sini.” -Giovani Alvar. 

No comments:

Post a Comment