“Aku suka wangi tubuhmu, Gigi.” Norlorn balik membaui. Ucapan merisik
berlakur deru napas membuat rinding tengkuk. Hidung bangir ia
melambat-lambatkan mengusik leher, aku kian menggermang karena efek
napas bertiup. Desauan impulsif timbul kala tepi mulut Norlorn melekat.
“Aku memang menyukai ini... tapi, nggak perlu hampir setiap menit ‘kan?” celotehku di selangan ofensif.
Dia menahan kecupan sekedip, “Maaf. Ku kira kau....”
“Aku nggak se-hiper pikiranmu.” Aku menyatakan keberatan.
“Ayolah... aku sudah minta maaf ‘kan?”
Aku tahu. Jangan diulang lagi sebelum ku minta.” perintahku.
“Baik. Aku tak akan mengulanginya,” Kepala Norlorn turun naik. Sudah cukup menggambarkan persetujuan di mataku.
“Karena kamu sudah melakukan kesalahan denganku, ada hukuman untuk ini....”
“Apa?” Air muka ia agaknya kelabakan.
“Lanjutkan!”
Netra ia membelalang. Tampak terjerat oleh ucapanku. Sekejap, tilikan ia
ganas dan mengatakan, “Dengan senang hati ku terima hukuman darimu,”
Ciuman dia semakin membara. Tak ingin hipokrit, kecupan Norlorn lebih
‘panas’ ketimbang beberapa teman Kakakku. Hampir ketiga kali dibuat
asyik masyuk oleh ia. Mengundang erotisisme dalam rasio.
Sesapan dia di leher memalangi konsentrasi. Lupakan masalah kefasikan
dan penyangkalan sejemang. Baru Norlorn yang akseptabel mengerti
idiosinkrasi diriku. Ibarat makanan, Norlorn layaknya Okonomiyaki,
menyandang sifat “suka-suka” dan... bisa menyesuaikan keadaan.
Dikondisikan seperti lapisan atas Okonomiyaki, sesuai selera pemasaknya.
“Noey....” Mataku mengatup, mencecap setiap sun bibir melintas perlahan-lahan.
“Hn?” jawab Norlorn lamat-lamat.
“Aku sudah puas menghukum, hentikan... saja.” Aku mencacau, sambil menyirapkan mata.
Norlorn menyetop aktivitas, kening dia bekernyit, “Kenapa? Aku belum puas menerima hukuman darimu.”
“Bukan begitu maksudku... cuma ingin istirahat. Aku ngantuk, Noey.”
“Baiklah, aku mengerti. Sekarang sudah hampir larut, ayo tidur.” Tangan
Norlorn meragut selimut dan menyembunyikan tubuh kami hingga batas perut
ia. Lengan miliknya turun lenyai ke pinggul. Pelupuk Norlorn turun,
mata dia sudah tertutup. Ku genggam punggung tangannya seraya memulai
tidur. Lalu... tidak ada lagi pemandangan kamar, hanya dengut halus
sempat terdengar.
***
Kamar Norlorn, pagi hari waktu setempat....
Terai hangat menyapu suak dari atas, menerap terjaga di mata. Sudah pagi!? Biji mata mengejap menyinkronkan suasana. Cepat sekali... hari telah fajar. Ku pikir, baru tidur sebentar… tapi kenyataannya berbeda. Norlorn masih tidur, terlihat dari tangan yang diam. Kalau di sini pagi, kira-kira pukul berapa di dunia manusia? Apakah di kamar ada kejadian heboh? Semoga tidak.
Ku usap pipi Norlorn... halus dan licin. Lalat pun mungkin terpleset jika hinggap di wajah ia. Tak lama, kelopak matanya terangkat. Biji mata sebiru bulan mengamati iris mataku lebih dekat. Tempo animo cukup lama, sehingga sebuah senyum melengkung di bibir sambil... mengepres raga.
“Guten Morgen,” ucap ia.
“Guten Morgen.” ganjarku.
Terai hangat menyapu suak dari atas, menerap terjaga di mata. Sudah pagi!? Biji mata mengejap menyinkronkan suasana. Cepat sekali... hari telah fajar. Ku pikir, baru tidur sebentar… tapi kenyataannya berbeda. Norlorn masih tidur, terlihat dari tangan yang diam. Kalau di sini pagi, kira-kira pukul berapa di dunia manusia? Apakah di kamar ada kejadian heboh? Semoga tidak.
Ku usap pipi Norlorn... halus dan licin. Lalat pun mungkin terpleset jika hinggap di wajah ia. Tak lama, kelopak matanya terangkat. Biji mata sebiru bulan mengamati iris mataku lebih dekat. Tempo animo cukup lama, sehingga sebuah senyum melengkung di bibir sambil... mengepres raga.
“Guten Morgen,” ucap ia.
“Guten Morgen.” ganjarku.
“Bagaimana tidurmu, Gigi? Nyenyak?” tanya Norlorn, mulut ia mengesun lincah.
Seperti jadi istri dia saja, membangunkan dengan kecupan pada bibir. Aku tersanjung... seumur hidup belum pernah mengalaminya. Tangan ia menyisir rambut berarakan milikku, senyum ia tersimpul.
“Nyenyak.”
“Terima kasih sudah menginap.”
“Sama-sama, Noey.”
“Senang di sini?”
“Tentu saja,” Aku mengangguk.
“Aku ada rencana berjalan-jalan. Mau ikut?” Norlorn mengusul.
“Dengan senang hati.”
“Baiklah. Tentunya, sebelum berangkat sebaiknya sarapan terlebih dulu, bukan?” Norlorn menawari.
“Ide bagus.”
“Kalau kau sudah menjadi bagian dari kerajaan ini, akan lebih mudah lagi.” Norlorn mengucap dengan kekeh kecil.
“Aku?”
“Ya... kamu.”
“Belum terpikir sampai menjadi bagian kerajaan,”
“Aku pernah berkata, ‘kan? Kau adalah tujuanku?”
“Iya juga. Tapi, tetap bisa pulang nggak?”
“Jangan khawatir. Portal kamar ini dan kamarmu terhubung.” jawab Norlorn.
“Berarti, terhubung dengan alam ini?” tanyaku.
“Tidak.”
“Lalu, di mana portal sesungguhnya?”
“Hutan Cahaya....”
“Jauh dari sini?” Aku menukik ke inti pembicaraan.
“Cukup jauh.” tanggap Norlorn.
“Harus ditempuh dengan kendaraan?”
“Ya. Kau tenang saja, aku punya seekor Simurgh,” Mata kiri Norlorn mengedip.
“Wow—“
“Kau tahu Simurgh?”
“Sering mendengar tapi aku belum tahu wujudnya.”
“Kau akan tahu setelah dia datang kemari.” Senyuman Norlorn merekah.
“Pertanyaanku belum kau jawab, Noey.”
“Pertanyaan yang mana?” Dahi ia berkerut.
“Soal portal.”
“Oh... portal utama ada di bagian utara negeri ini, dalam Hutan Cahaya.”
“Begitu... ya,”
“Sudah paham?”
“Aku mengerti. Jadi hutan bagian utara itu terhubung langsung ke portal utama. Benar?”
“Betul, di kota Freiburg im Breisgau, lebih tepat di Hutan Hitam.”
“Ada di?”
“Ujung barat daya negara bagian di Jerman.”
“Freidburg termasuk di negara bagian apa?”
“Baden-Württermberg.”
“Oh... semakin banyak pengetahuanku tentang negara Jerman.”
“Sudah bisa ditebak bukan, aku berasal dari mana?” Norlorn membuka selimut, ikut berbaring di sampingku.
“Ya... ya, aku sudah tahu,”
“Kau mau ke Freiburg juga?”
“Boleh.”
“Nanti ku antar,”
“Asyik... terima kasih.”
Norlorn bersuit. Ia menempatkan tangannya di kalang. Aku merapat, dia bertanya, “Kau sedang apa?”
“Cari posisi enak,”
“Gigi, boleh kah aku bertanya?”
“Tanya tentang?”
“Apakah kau nyaman bersamaku?”
“Aku sudah cukup membuktikan.” Aku membom jawaban.
Norlorn menggeleng, “Bukan itu.”
“Lantas?”
“Mau kah kau menjadi pendamping hidupku?” Norlorn menatap dalam. Tatapan matanya lopak-lapik, “tak perlu dijawab sekarang, mungkin... kau berpendapat lain tentang hubungan ini. Tapi, aku benar-benar....” Norlorn bergeming sambil mengusap wajahnya. Netra ia membura memendam rasa. “Lupakan,” ucap dia.
“Aku tetap akan menjawabnya sekarang.”
“Tak perlu buru-buru, Gigi.”
“Aku mau mendampingimu...”
“Kau sudah yakin dengan keputusanmu menerimaku?”
“Yakin.”
“Terima kasih. Akan ku sampaikan segera pada keluargaku.” Norlorn kelihatan trenyuh. Senyum tersimpul berikut air mata.
“Dari pertama kau datang, aku yakin takdirku beraamamu.” Aku mengalungi lengan dia. Daya pikat itu sudah membuat tertarik dari pertama muncul. Magnet berbeda dari yang lain manjantur kalbu.
Norlorn memapak pautan tanganku dari lengan sambil bercakap, “Kalau kau masih ingin “itu”, nanti saja.”
Siapa juga yang ingin melakukan “hubungan ranjang”? Hatiku cuma layuh pada dia hingga tak berkutik.
Tubuh Norlorn berpindah dari ranjang, mengambil pakaian ia dan memakai kembali lengkap bersama emblem tak ku ketahui. Terkecuali… pedang yang sempat terselip di pinggang, dia kembalikan ke dinding.
“Setiap hari, kau selalu berpakaian begitu?”
“Tentu, walau terkadang aku memilih pakaian lebih sederhana.” jawab Norlorn di sisi ranjang, ia agaknya terleka oleh sepatu.
“Keren....”
“Sebaiknya, kau pakai bajumu.” Norlorn menyuruh, tangan ia sudah menggenggam gaun semalam.
“Gaunnya kepanjangan. Aku kurang suka,”
“Baiklah, kau tunggu di sini. Aku akan ke kamar Kakak perempuanku.” Norlorn berdiri dari duduk, kemudian berjalan ke pintu kamar lalu keluar.
Bunyi menderit pintu menambah penilaian antik dalam puri.
Pengalaman tak terlupakan, menjelajah alam impian beserta keajaiban dan kawan-kawan meningkatkan keimananku akan kuasa-Nya. Tak akan pernah ku lupakan kedamaian ini. Suatu saat, akan ada kerinduan untuk kembali lagi.
Ku mengingat perjumpaan dengan Norlorn, perihal sebuah kenangan dan... rasa rindu paling sengit dibanding dulu. Termenung... kemudian,
Seperti jadi istri dia saja, membangunkan dengan kecupan pada bibir. Aku tersanjung... seumur hidup belum pernah mengalaminya. Tangan ia menyisir rambut berarakan milikku, senyum ia tersimpul.
“Nyenyak.”
“Terima kasih sudah menginap.”
“Sama-sama, Noey.”
“Senang di sini?”
“Tentu saja,” Aku mengangguk.
“Aku ada rencana berjalan-jalan. Mau ikut?” Norlorn mengusul.
“Dengan senang hati.”
“Baiklah. Tentunya, sebelum berangkat sebaiknya sarapan terlebih dulu, bukan?” Norlorn menawari.
“Ide bagus.”
“Kalau kau sudah menjadi bagian dari kerajaan ini, akan lebih mudah lagi.” Norlorn mengucap dengan kekeh kecil.
“Aku?”
“Ya... kamu.”
“Belum terpikir sampai menjadi bagian kerajaan,”
“Aku pernah berkata, ‘kan? Kau adalah tujuanku?”
“Iya juga. Tapi, tetap bisa pulang nggak?”
“Jangan khawatir. Portal kamar ini dan kamarmu terhubung.” jawab Norlorn.
“Berarti, terhubung dengan alam ini?” tanyaku.
“Tidak.”
“Lalu, di mana portal sesungguhnya?”
“Hutan Cahaya....”
“Jauh dari sini?” Aku menukik ke inti pembicaraan.
“Cukup jauh.” tanggap Norlorn.
“Harus ditempuh dengan kendaraan?”
“Ya. Kau tenang saja, aku punya seekor Simurgh,” Mata kiri Norlorn mengedip.
“Wow—“
“Kau tahu Simurgh?”
“Sering mendengar tapi aku belum tahu wujudnya.”
“Kau akan tahu setelah dia datang kemari.” Senyuman Norlorn merekah.
“Pertanyaanku belum kau jawab, Noey.”
“Pertanyaan yang mana?” Dahi ia berkerut.
“Soal portal.”
“Oh... portal utama ada di bagian utara negeri ini, dalam Hutan Cahaya.”
“Begitu... ya,”
“Sudah paham?”
“Aku mengerti. Jadi hutan bagian utara itu terhubung langsung ke portal utama. Benar?”
“Betul, di kota Freiburg im Breisgau, lebih tepat di Hutan Hitam.”
“Ada di?”
“Ujung barat daya negara bagian di Jerman.”
“Freidburg termasuk di negara bagian apa?”
“Baden-Württermberg.”
“Oh... semakin banyak pengetahuanku tentang negara Jerman.”
“Sudah bisa ditebak bukan, aku berasal dari mana?” Norlorn membuka selimut, ikut berbaring di sampingku.
“Ya... ya, aku sudah tahu,”
“Kau mau ke Freiburg juga?”
“Boleh.”
“Nanti ku antar,”
“Asyik... terima kasih.”
Norlorn bersuit. Ia menempatkan tangannya di kalang. Aku merapat, dia bertanya, “Kau sedang apa?”
“Cari posisi enak,”
“Gigi, boleh kah aku bertanya?”
“Tanya tentang?”
“Apakah kau nyaman bersamaku?”
“Aku sudah cukup membuktikan.” Aku membom jawaban.
Norlorn menggeleng, “Bukan itu.”
“Lantas?”
“Mau kah kau menjadi pendamping hidupku?” Norlorn menatap dalam. Tatapan matanya lopak-lapik, “tak perlu dijawab sekarang, mungkin... kau berpendapat lain tentang hubungan ini. Tapi, aku benar-benar....” Norlorn bergeming sambil mengusap wajahnya. Netra ia membura memendam rasa. “Lupakan,” ucap dia.
“Aku tetap akan menjawabnya sekarang.”
“Tak perlu buru-buru, Gigi.”
“Aku mau mendampingimu...”
“Kau sudah yakin dengan keputusanmu menerimaku?”
“Yakin.”
“Terima kasih. Akan ku sampaikan segera pada keluargaku.” Norlorn kelihatan trenyuh. Senyum tersimpul berikut air mata.
“Dari pertama kau datang, aku yakin takdirku beraamamu.” Aku mengalungi lengan dia. Daya pikat itu sudah membuat tertarik dari pertama muncul. Magnet berbeda dari yang lain manjantur kalbu.
Norlorn memapak pautan tanganku dari lengan sambil bercakap, “Kalau kau masih ingin “itu”, nanti saja.”
Siapa juga yang ingin melakukan “hubungan ranjang”? Hatiku cuma layuh pada dia hingga tak berkutik.
Tubuh Norlorn berpindah dari ranjang, mengambil pakaian ia dan memakai kembali lengkap bersama emblem tak ku ketahui. Terkecuali… pedang yang sempat terselip di pinggang, dia kembalikan ke dinding.
“Setiap hari, kau selalu berpakaian begitu?”
“Tentu, walau terkadang aku memilih pakaian lebih sederhana.” jawab Norlorn di sisi ranjang, ia agaknya terleka oleh sepatu.
“Keren....”
“Sebaiknya, kau pakai bajumu.” Norlorn menyuruh, tangan ia sudah menggenggam gaun semalam.
“Gaunnya kepanjangan. Aku kurang suka,”
“Baiklah, kau tunggu di sini. Aku akan ke kamar Kakak perempuanku.” Norlorn berdiri dari duduk, kemudian berjalan ke pintu kamar lalu keluar.
Bunyi menderit pintu menambah penilaian antik dalam puri.
Pengalaman tak terlupakan, menjelajah alam impian beserta keajaiban dan kawan-kawan meningkatkan keimananku akan kuasa-Nya. Tak akan pernah ku lupakan kedamaian ini. Suatu saat, akan ada kerinduan untuk kembali lagi.
Ku mengingat perjumpaan dengan Norlorn, perihal sebuah kenangan dan... rasa rindu paling sengit dibanding dulu. Termenung... kemudian,
***
Derit pintu memberantakkan memori, Norlorn telah kembali membawa
beberapa pakaian di kedua tangannya. Menyodorkan satu persatu kepadaku.
Tangan meraih semua arkatipe gaun klasik yang ada. Kali ini, pakaian ia
bawa berbahan lebih tipis dibanding gaun pesta semalam.
“Pilih saja mana yang kau suka.” Norlorn berpendapat, nadanya terdengar mengajak.
“Aku nggak pandai memilih pakaian. Bagaimana,kalau kamu saja yang bantu pilih?”
“Boleh juga!” Norlorn berseru riang.
Dia menyortir beberapa gaun seraya mengaut ukuran paling pas dan kecocokan model untukku. Dari beberapa model, ia menjatuhkan pilihan pada sebuah gaun klasik tidak terlalu panjang berlengan pendek, terbuka pada bagian bahu dan atas dada.
“Coba kau pakai. Semoga cocok,” Tangan ia memberikan gaun.
Sepertinya akan bagus di badan... gaun lucu dengan rok warna biru muda dan bagian atas campuran warna putih dan hitam pada korset. Tanpa menunggu lama, ku pakai gaun beserta sepatu sambil menunjukkan pada dia.
“Bagaimana? Cocok?” tanyaku berpose bak model majalah remaja.
Norlorn menyerikan tinjauan dari leher hingga lutut. Semburat merah muda terlekat di pipi ia, semerah buah Stroberi. Dia mendekat ke tengah ranjang... sekali lalu, menggencet seliraku.
“Ku akui, kau lebih cantik dari semalam.” Norlorn melihat biji mataku.
“Wah... kamu bercanda?”
“Sejak kapan aku bercanda?!”
“Ku kira... kamu mempunyai selera humor,” Aku menertawakan tuturan ia.
Norlorn bersut. Sebentar... melekatkan bibirnya di bibirku. Waktu ciuman lebih lama, semakin mengarahkan alat perasa untuk menimbangi permainan.
Dia menyudahi aksi, kemudian berkata,”Kau tahu? Sedari aku kecil, belum pernah menyukai sosok manusia!” Norlorn bertutur lantam.
“Lalu?” Aku mengerling, melingkarkan tangan di pinggang ia.
“Sejak aku melihatmu, pandanganku berubah....” Norlorn mengelus bibirku, dia berkusu-kusu, “berubah total...”
“Apa?”
“Aku percaya, kau manusia yang tak akan membuat negeri ini berantakan.” jawab Norlorn. Tangan hangat ia melukis kerinduan dalam pelukan di ranjang.
“Aku nggak merasa begitu. Tapi... diri ini sudah berjanji akan ikut menjaga kedamaian negeri ini.”
Kalimat instingtif terkatakan, wajah Norlorn tertegun. Tampak dari tatapan mata tersentuh oleh perkataanku. Seakan, ia bahagia ada sosok manusia ikut menjaga alamnya. Bagiku, semua makhluk Tuhan, mutlak hidup damai dan terjaga. Itu aku... bagaimana denganmu?
“Pilih saja mana yang kau suka.” Norlorn berpendapat, nadanya terdengar mengajak.
“Aku nggak pandai memilih pakaian. Bagaimana,kalau kamu saja yang bantu pilih?”
“Boleh juga!” Norlorn berseru riang.
Dia menyortir beberapa gaun seraya mengaut ukuran paling pas dan kecocokan model untukku. Dari beberapa model, ia menjatuhkan pilihan pada sebuah gaun klasik tidak terlalu panjang berlengan pendek, terbuka pada bagian bahu dan atas dada.
“Coba kau pakai. Semoga cocok,” Tangan ia memberikan gaun.
Sepertinya akan bagus di badan... gaun lucu dengan rok warna biru muda dan bagian atas campuran warna putih dan hitam pada korset. Tanpa menunggu lama, ku pakai gaun beserta sepatu sambil menunjukkan pada dia.
“Bagaimana? Cocok?” tanyaku berpose bak model majalah remaja.
Norlorn menyerikan tinjauan dari leher hingga lutut. Semburat merah muda terlekat di pipi ia, semerah buah Stroberi. Dia mendekat ke tengah ranjang... sekali lalu, menggencet seliraku.
“Ku akui, kau lebih cantik dari semalam.” Norlorn melihat biji mataku.
“Wah... kamu bercanda?”
“Sejak kapan aku bercanda?!”
“Ku kira... kamu mempunyai selera humor,” Aku menertawakan tuturan ia.
Norlorn bersut. Sebentar... melekatkan bibirnya di bibirku. Waktu ciuman lebih lama, semakin mengarahkan alat perasa untuk menimbangi permainan.
Dia menyudahi aksi, kemudian berkata,”Kau tahu? Sedari aku kecil, belum pernah menyukai sosok manusia!” Norlorn bertutur lantam.
“Lalu?” Aku mengerling, melingkarkan tangan di pinggang ia.
“Sejak aku melihatmu, pandanganku berubah....” Norlorn mengelus bibirku, dia berkusu-kusu, “berubah total...”
“Apa?”
“Aku percaya, kau manusia yang tak akan membuat negeri ini berantakan.” jawab Norlorn. Tangan hangat ia melukis kerinduan dalam pelukan di ranjang.
“Aku nggak merasa begitu. Tapi... diri ini sudah berjanji akan ikut menjaga kedamaian negeri ini.”
Kalimat instingtif terkatakan, wajah Norlorn tertegun. Tampak dari tatapan mata tersentuh oleh perkataanku. Seakan, ia bahagia ada sosok manusia ikut menjaga alamnya. Bagiku, semua makhluk Tuhan, mutlak hidup damai dan terjaga. Itu aku... bagaimana denganmu?
No comments:
Post a Comment