23. Keajaiban Semesta

Tangan Taeglyn konstan mengeret tanganku. Dia berbebar sampai rok baju ikut berkembang dan menggayun lamban oleh perbuatan Taeglyn. Aku tahu, dia sudah bilang ingin ke kamar, tapi apa yang dia lakukan nanti? Melanjutkan makan malam atau telanjur gemas kemudian tidur? Lalu, manusia yang diajak ditinggalkan?


Aku ‘kan terus melangkah maju

Walau badai menerpaku 
Tak ‘kan rapuh semangatku mengejar citaku…

“Ppa… ngeran, bisakah Anda lebih melambankan lari Anda?” ujarku dari belakang.

“Lebih cepat lebih baik!”

“Saya tahu, kenapa pangeran tidak memakai sihir saja?!”

Kalimat keberatan ternyatakan dari tuturan. Tidak lama, dia menahan larinya sambil menoleh. Fokus Taeglyn memindai mataku, raut dia agak kemalu-maluan sembari mengatakan,

“Kau benar. Aku tidak memikirkan hal itu,” Taeglyn menepuk dahi, suara tepukan nyaring dia membuatku menahan tawa.

“Sebetulnya, saya ingin bicara dari tadi. Namun, saya takut pangeran marah pada saya.”

“Maafkan aku, Soora.”

“Tidak masalah bagi saya, pangeran.”

Taeglyn menjentik jari dia, lalu lansekap berubah di kamar. Dia meloloskan tangannya padaku.

Apa yang direncanakan pangeran? Ada sebuah meja bundar berisi makanan dengan tatanan minimalis bersama dua kursi. Meja itu terletak di depan sofa.

“Kau kaget? Kau belum menghabiskan makan malam ‘kan?”

“Iya pangeran. Saya tidak masalah.”

“Tidak baik meninggalkan makan malam sebelum habis.”

“Apa boleh buat?”

“Itu semua karena diriku, maaf...” Wajah Taeglyn guram.

“Sudahlah pangeran, tidak apa-apa.”

“Untuk menebus kesalahan, bolehkah aku menikmati makan malam berdua bersamamu?” tanya Taeglyn mendadak.


Bila… letih mengarungi hati

Asa ini tak ‘kan mati
Demi mimpi… semangatku kini ‘kan menyala lagi


“Makan malam? Jadi, semua ini adalah…”

“Kau benar, Soora. Aku yang menyiapkan ini semua,” Taeglyn tersenyum kikuk, birainya menakhlikkan sedikit lengkuk ke bawah.

“Sejujurnya, Anda tidak perlu bersusah-susah menyiapkan semua. Tapi, saya menghargainya.”

“Benarkah?” Senyum Taeglyn mulai merengkah.

“Iya, pangeran. Sejak kapan Anda menyiapkan semuanya?”

“Mudah saja bagiku. Seperti ini…”

Dia menyentuh pundak. Sedikit-sedikit, cerlang membelar memadati leher hingga lutut. Sepersekian sekon, cahaya menyilam. Lalu, berganti menjadi sebuah busana berpotongan tanpa kerah dan lengan berwarna biru tua dengan rok mengembang di tubuhku. Bagian atas gaun berjenis kemben bermotif batu hias.


‘Kan ku lintasi semua rintangan di depanku

Biarpun berliku… jalan menuju impianku
Tegar… berjuang menghadapi semua problema
Satu hal ku yakin 
‘Kan ku jelang nanti keajaiban semesta

(Keajaiban Semesta-Ost. Knight Kris)

“Pangeran,”

“Kenapa? Kau tidak suka pemberianku?”

“Bukan begitu maksud saya. Jika pangeran dapat melakukan sihir dalam sekejap, kenapa pangeran mau mengeluarkan uang hanya untuk membeli beberapa potong pakaian?”

Interogasi panjang mencagun, membuat Taeglyn membersut dahi. Aku tersenyum simpul berharap tidak salah bicara dan membuat dia marah. Tahu sendiri ‘kan dominan besar sifat bangsawan? Aku sendiri tidak tahu betul atau tidak sifat para bangsawan atau sosok kaya seperti di sinetron. Karena keluarga tiri memang keturunan itu. Namun, Kak Hikaru bersikap baik pada kami. Ayah tiri juga, hanya saja dia lebih percaya omongan orang lain sehingga membuat malas mendengar ocehan paranoid serta tindakan kekerasan dilakukan dia.

“Sihir hanya digunakan dalam keadaan terdesak. Bukankah semua itu sudah dijelaskan?”

“Apakah keadaan ini termasuk keadaan terdesak?”

“Tentu,”

“Baiklah. Saya mengerti keputusan Anda.”

“Jadi, kau ingin meneruskan makan malam?”

Taeglyn membungkuk sembari mengarih tangan dia padaku. Aku menerima dengan mewalakkan tanganku di tapak tangannya.

“Kau perempuan menarik baru ku temui,” ujar dia.

“Mungkin. Saya tidak tahu pangeran.” Aku mengangkat bahu, membuat dahi Taeglyn berkerut.

“Apakah kau tidak menyadari itu?”

“Tidak. Yang saya lihat, jika manusia lain melihat saya, mereka ingin menganiaya.”

“Itu tidak mungkin, Soora!”

“Saya berani bersumpah, pangeran.”

“Aku kurang yakin dengan perkataanmu. Itu semua, hanya doktrin pernah kau alami.”

“Entahlah pangeran.”

“Aku melihat semua dari matamu. Kalaupun kau tidak tahu, aku tahu.”

“Memang saya tidak tahu.”

“Dengarkan aku, Soora. Anggapan pesimis di matamu benar-benar menganggu!”

“Apa maksud Anda?!”

“Kau seperti makhluk putus asa, jarang berpikir positif untuk dirimu sendiri.” Dia menunjuk.

Dia mengatakan kalimat itu? Dia tahu semua rahasia ku simpan rapat di mata. Semua terbongkar. Astaga… tapi aku akui, perkataan dia benar. Aku masih suka mengeluh dan merasa cobaan terlalu berat macam karakter protagonis sinetron salah satu stasiun TV nasional.

“Saya…”

“Sudahlah, jangan memikirkan itu lagi. Sebaiknya, kita lanjutkan makan malam.”

Taeglyn membuka semua penutup makanan terbuat dari kaca dan meletakkan di kereta dorong. Lantas, dia ulang menjentik jari. Setelah itu, jendela kamar tersibak, memamerkan visi bumantara petang bersongket kartika.

“Wow… bintangnya banyak sekali, pangeran.”

“Indah, ‘kan?”

“Sangat indah.”

“Tahu kah kau, bintang di langit malam ini bukan hanya sekadar helium dan gas hidrogen?”

“Apa itu?”

“Mereka adalah penjelmaan dari utusan dewa dan dewi semesta.” balas Taeglyn eksplisit.

“Wow…”

“Malam ini merupakan waktu tepat untuk bermunajat pada semesta,”

“Bermunajat? Saya bingung dengan permohonannya.”

“Apapun yang kau minta.”

“Memangnya bisa?”

“Kau jangan ragu akan kuasa semesta.”

“Baiklah. Boleh saya bermunajat dulu sebelum memulai makan malam?”

“Silakan.”

Taeglyn menyetujui pengharapan, sekali lalu dia tersenyum. Aku acap menautkan kedua tangan sambil bermunajat. Cuma beberapa permintaan dianggap bagi sebagian orang tidak penting, namun berharga bagiku.

Wahai semesta, restuilah permintaanku agar keluarga tiri kembali damai dan tentram seperti dulu, sembuhkanlah saudaraku, Akshita supaya dia kembali menjadi periang. Terakhir, bantulah diriku mendapatkan sosok terbaik dalam hidup. Aamiin

Permintaan telah selesai diucapkan. Semoga, suatu saat keajaiban semesta berpihak padaku tanpa menunggu lama. Selepas bertafakur, aku bersama Taeglyn menyantap makanan tersedia di piring. Makanan ku temui pada makan malam tadi. Bedanya, impresi kali ini lebih tertutup. Hanya berdua bersama salah satu putra mahkota penerus tahta kerajaan.

“Jika permohonanmu baik, kau tinggal menunggu keajaiban semesta bekerja.” Taeglyn mengaru sebentar di sela-sela makan malam.

Aku menjawab menggunakan anggukan, tidak ingin makan malam bersama Taeglyn seperti tadi. Kacau balau dan menyisakan dua suapan terakhir. Bukan berlebihan, cuma tidak ingin merusak suasana susah payah dibangun oleh sang penerus kerajaan.


Sepertinya, Taeglyn memiliki sifat lebih lembut dibanding Norlorn. Mungkin, sikap keras merupakan cara dia menutupi rasa sedih karena kesepian. Apalagi, Taeglyn adalah pangeran bungsu. Diriku tahu dari lukisan terpajang di lorong, lukisan itu bercerita sebagian masa lalu Taeglyn. 


Apakah ini juga bisa disebut keajaiban semesta? Seorang pangeran berhati keras dan keras kepala mendadak lembut di depan sosok perempuan baru dia kenal dan masih berstatus calon istri saudaranya? Belum pasti dan Tuhan yang maha tahu.

No comments:

Post a Comment