Tangan Taeglyn konstan mengeret tanganku. Dia berbebar sampai rok baju
ikut berkembang dan menggayun lamban oleh perbuatan Taeglyn. Aku tahu,
dia sudah bilang ingin ke kamar, tapi apa yang dia lakukan nanti?
Melanjutkan makan malam atau telanjur gemas kemudian tidur? Lalu,
manusia yang diajak ditinggalkan?
Aku ‘kan terus melangkah maju
Walau badai menerpaku
Tak ‘kan rapuh semangatku mengejar citaku…
“Ppa… ngeran, bisakah Anda lebih melambankan lari Anda?” ujarku dari belakang.
“Lebih cepat lebih baik!”
“Saya tahu, kenapa pangeran tidak memakai sihir saja?!”
Kalimat keberatan ternyatakan dari tuturan. Tidak lama, dia menahan
larinya sambil menoleh. Fokus Taeglyn memindai mataku, raut dia agak
kemalu-maluan sembari mengatakan,
“Kau benar. Aku tidak memikirkan hal itu,” Taeglyn menepuk dahi, suara tepukan nyaring dia membuatku menahan tawa.
“Sebetulnya, saya ingin bicara dari tadi. Namun, saya takut pangeran marah pada saya.”
“Maafkan aku, Soora.”
“Tidak masalah bagi saya, pangeran.”
Taeglyn menjentik jari dia, lalu lansekap berubah di kamar. Dia meloloskan tangannya padaku.
Apa yang direncanakan pangeran? Ada sebuah meja bundar berisi
makanan dengan tatanan minimalis bersama dua kursi. Meja itu terletak di
depan sofa.
“Kau kaget? Kau belum menghabiskan makan malam ‘kan?”
“Iya pangeran. Saya tidak masalah.”
“Tidak baik meninggalkan makan malam sebelum habis.”
“Apa boleh buat?”
“Itu semua karena diriku, maaf...” Wajah Taeglyn guram.
“Sudahlah pangeran, tidak apa-apa.”
“Untuk menebus kesalahan, bolehkah aku menikmati makan malam berdua bersamamu?” tanya Taeglyn mendadak.
Bila… letih mengarungi hati
Asa ini tak ‘kan mati
Demi mimpi… semangatku kini ‘kan menyala lagi
“Makan malam? Jadi, semua ini adalah…”
“Kau benar, Soora. Aku yang menyiapkan ini semua,” Taeglyn tersenyum kikuk, birainya menakhlikkan sedikit lengkuk ke bawah.
“Sejujurnya, Anda tidak perlu bersusah-susah menyiapkan semua. Tapi, saya menghargainya.”
“Benarkah?” Senyum Taeglyn mulai merengkah.
“Iya, pangeran. Sejak kapan Anda menyiapkan semuanya?”
“Mudah saja bagiku. Seperti ini…”
Dia menyentuh pundak. Sedikit-sedikit, cerlang membelar memadati leher
hingga lutut. Sepersekian sekon, cahaya menyilam. Lalu, berganti menjadi
sebuah busana berpotongan tanpa kerah dan lengan berwarna biru tua
dengan rok mengembang di tubuhku. Bagian atas gaun berjenis kemben
bermotif batu hias.
‘Kan ku lintasi semua rintangan di depanku
Biarpun berliku… jalan menuju impianku
Tegar… berjuang menghadapi semua problema
Satu hal ku yakin
‘Kan ku jelang nanti keajaiban semesta
(Keajaiban Semesta-Ost. Knight Kris)
“Pangeran,”
“Kenapa? Kau tidak suka pemberianku?”
“Bukan begitu maksud saya. Jika pangeran dapat melakukan sihir dalam
sekejap, kenapa pangeran mau mengeluarkan uang hanya untuk membeli
beberapa potong pakaian?”
Interogasi panjang mencagun, membuat Taeglyn membersut dahi. Aku
tersenyum simpul berharap tidak salah bicara dan membuat dia marah. Tahu
sendiri ‘kan dominan besar sifat bangsawan? Aku sendiri tidak tahu
betul atau tidak sifat para bangsawan atau sosok kaya seperti di
sinetron. Karena keluarga tiri memang keturunan itu. Namun, Kak Hikaru
bersikap baik pada kami. Ayah tiri juga, hanya saja dia lebih percaya
omongan orang lain sehingga membuat malas mendengar ocehan paranoid
serta tindakan kekerasan dilakukan dia.
“Sihir hanya digunakan dalam keadaan terdesak. Bukankah semua itu sudah dijelaskan?”
“Apakah keadaan ini termasuk keadaan terdesak?”
“Tentu,”
“Baiklah. Saya mengerti keputusan Anda.”
“Jadi, kau ingin meneruskan makan malam?”
Taeglyn membungkuk sembari mengarih tangan dia padaku. Aku menerima dengan mewalakkan tanganku di tapak tangannya.
“Kau perempuan menarik baru ku temui,” ujar dia.
“Mungkin. Saya tidak tahu pangeran.” Aku mengangkat bahu, membuat dahi Taeglyn berkerut.
“Apakah kau tidak menyadari itu?”
“Tidak. Yang saya lihat, jika manusia lain melihat saya, mereka ingin menganiaya.”
“Itu tidak mungkin, Soora!”
“Saya berani bersumpah, pangeran.”
“Aku kurang yakin dengan perkataanmu. Itu semua, hanya doktrin pernah kau alami.”
“Entahlah pangeran.”
“Aku melihat semua dari matamu. Kalaupun kau tidak tahu, aku tahu.”
“Memang saya tidak tahu.”
“Dengarkan aku, Soora. Anggapan pesimis di matamu benar-benar menganggu!”
“Apa maksud Anda?!”
“Kau seperti makhluk putus asa, jarang berpikir positif untuk dirimu sendiri.” Dia menunjuk.
Dia mengatakan kalimat itu? Dia tahu semua rahasia ku simpan rapat
di mata. Semua terbongkar. Astaga… tapi aku akui, perkataan dia benar.
Aku masih suka mengeluh dan merasa cobaan terlalu berat macam karakter
protagonis sinetron salah satu stasiun TV nasional.
“Saya…”
“Sudahlah, jangan memikirkan itu lagi. Sebaiknya, kita lanjutkan makan malam.”
Taeglyn membuka semua penutup makanan terbuat dari kaca dan meletakkan
di kereta dorong. Lantas, dia ulang menjentik jari. Setelah itu, jendela
kamar tersibak, memamerkan visi bumantara petang bersongket kartika.
“Wow… bintangnya banyak sekali, pangeran.”
“Indah, ‘kan?”
“Sangat indah.”
“Tahu kah kau, bintang di langit malam ini bukan hanya sekadar helium dan gas hidrogen?”
“Apa itu?”
“Mereka adalah penjelmaan dari utusan dewa dan dewi semesta.” balas Taeglyn eksplisit.
“Wow…”
“Malam ini merupakan waktu tepat untuk bermunajat pada semesta,”
“Bermunajat? Saya bingung dengan permohonannya.”
“Apapun yang kau minta.”
“Memangnya bisa?”
“Kau jangan ragu akan kuasa semesta.”
“Baiklah. Boleh saya bermunajat dulu sebelum memulai makan malam?”
“Silakan.”
Taeglyn menyetujui pengharapan, sekali lalu dia tersenyum. Aku acap
menautkan kedua tangan sambil bermunajat. Cuma beberapa permintaan
dianggap bagi sebagian orang tidak penting, namun berharga bagiku.
Wahai semesta, restuilah permintaanku agar keluarga tiri kembali
damai dan tentram seperti dulu, sembuhkanlah saudaraku, Akshita supaya
dia kembali menjadi periang. Terakhir, bantulah diriku mendapatkan sosok
terbaik dalam hidup. Aamiin
Permintaan telah selesai diucapkan. Semoga, suatu saat keajaiban semesta
berpihak padaku tanpa menunggu lama. Selepas bertafakur, aku bersama
Taeglyn menyantap makanan tersedia di piring. Makanan ku temui pada
makan malam tadi. Bedanya, impresi kali ini lebih tertutup. Hanya berdua
bersama salah satu putra mahkota penerus tahta kerajaan.
“Jika permohonanmu baik, kau tinggal menunggu keajaiban semesta bekerja.” Taeglyn mengaru sebentar di sela-sela makan malam.
Aku menjawab menggunakan anggukan, tidak ingin makan malam bersama
Taeglyn seperti tadi. Kacau balau dan menyisakan dua suapan terakhir.
Bukan berlebihan, cuma tidak ingin merusak suasana susah payah dibangun
oleh sang penerus kerajaan.
Sepertinya, Taeglyn memiliki sifat lebih lembut dibanding Norlorn.
Mungkin, sikap keras merupakan cara dia menutupi rasa sedih karena
kesepian. Apalagi, Taeglyn adalah pangeran bungsu. Diriku tahu dari
lukisan terpajang di lorong, lukisan itu bercerita sebagian masa lalu
Taeglyn.
Apakah ini juga bisa disebut keajaiban semesta? Seorang pangeran berhati
keras dan keras kepala mendadak lembut di depan sosok perempuan baru
dia kenal dan masih berstatus calon istri saudaranya? Belum pasti dan
Tuhan yang maha tahu.
No comments:
Post a Comment