Kamar Taeglyn, pukul 8.30 malam waktu setempat
Taeglyn mengajak kami duduk di resbang kamar. Sofa berdesain Eropa
klasik itu terasa lunak. Sedari tadi, penasaran dengan sofa berwarna
putih susu terletak di dekat jendela. Sekarang, bisa merasakan nikmatnya
duduk di sofa empuk.
“Dik, lo kok diam?” tanya Kak Hikaru, agak menyurai lamunan.
“Hn?”
“Tahu nih Giovani, tumben bengong saja,” timpal Kak Reira.
“Gue bingung mau ngomong apa.”
“Kayak bukan Giovani yang gue kenal deh,” ucap Kak Hikaru.
“Bingung gue.” Aku garuk kepala.
“Sudah-sudah, kalian ini santai saja.” Taeglyn merarai dari sofa sebelah kiri.
“Pangeran, nggak menyangka saya bisa bertemu Anda lagi setelah sekian lama.” cakap Kak Reira membuka topik.
“Betul.” Taeglyn mengangguk.
“Jadi, pangeran dan teman saya yang narsis ini saling kenal?” Kak Hikaru celingukan.
“Seperti yang sudah ku katakan, Reira adalah teman sekolahku.”
“Kok bisa, Reira sekolah di sini?”
“Gini, biar gue jelasin. Sebelum gue jadi conjurer kayak sekarang, gue iseng meraga sukma,” Kak Reira menyambung.
“Kenapa lo yang jawab?” Kak Hikaru mengangkat alis.
“Gue jelasin dulu sebelum pangeran yang jawab.” celetuk Kak Reira.
“Ayo lanjut dong, Kak. Gue juga mau tahu kenapa kalian saling kenal.” Aku menanggapi tuturan Kak Reira dengan rasa kemelitan.
“Trus?” Kak Hikaru memelotot, dia amat kelihatan tertarik mendengar cerita..
“Mau tahu banget atau tahu saja?” Mata Kak Reira mengerdip sebelah.
“Ih, Kak Reira nyebelin banget!”
“Tahu lo, Rei. Masih saja bercanda,”
“Iya gue lanjutin. Sabar dong!” kata Kak Reira senderut.
“Sudah ah, lama. Mending nggak usah lanjut!” seru Kak Hikaru tak kalah
gregetan. Akhirnya, dia serta-merta mereguk segelas wine jamuan dari
Taeglyn sampai habis dalam satu kali teguk.
“Buset dah, pangeran belum minum, lo sudah habis.” kata Kak Reira tergeleng-geleng.
“Lo kelamaan sih. Jadi bete duluan,”
“Sudah-sudah, tidak masalah jika ada yang minum terlebih dahulu.” Taeglyn mengantarai.
“Maaf untuk kelakuan teman saya, pangeran. Maklum, dia agak-agak…”
“Apa lo bilang?!”
“Nggak, maksud gue… lo agak-agak haus. Begitu,” ucap Kak Reira. Taksiranku, tubuh dia beringsut ke sebelah kanan sofa..
“Hmmm,”
“Bagaimana kalau ganti topik?” Taeglyn mengusulkan.
“Betul,” Angguk diriku.
“Setuju,” Kak Reira ikut sepakat.
“Omong-omong, kalian pasti lapar ‘kan?”
“Jelas, kebetulan memang belum makan sudah dijemput ke sini.” jawab Kak Hikaru semaunya.
Tidak ragu-ragu aku bangun dari sofa. Sementara, tangan menjinjit
telinga beranting dia untuk mengingatkan harus sopan sebagai tamu.
Lebih-lebih lagi, dia sekarang sedang berhadapan dengan salah satu
pangeran kerajaan. Kalau dia begitu, bukan dia saja masuk bui, tetapi
aku juga.
“Kak, bisa nggak sih lo sopan sebagai tamu?!”
Kak Hikaru melaung pelan, tangan dia menjangkau tanganku dari telinganya, “Ya… ya ampun, gue salah. Lepasin jeweran lo!”
“Minta maaf sana sama pangeran!”
“Ya, gue minta maaf. Tapi, lepas dulu jeweran lo.” Kak Hikaru bicara,
tangan dia masih berusaha membebaskan tarikan tanganku di telinga.
“Oke gue lepasin. Tapi, lo harus minta maaf.”
“Iya-iya,”
“Cepetan sana!”
“Pangeran, saya meminta maaf jika kelakuan saya kurang berkenan di
sini.” Kak Hikaru berdiri dan membungkuk empat puluh lima derajat pada
Taeglyn. Ah, rupanya kebisaan Ojigi tetap mendarah daging pada
diri dia. Begitu juga dengan Kak Reira, ikut melakukan ojigi setelah Kak
Hikaru. Mereka melaksanakan Saikeirei. Sehingga, mau tidak mau
aku harus mengikuti mereka berdua walau bungkuk belum sempurna secara
aturan. Mungkin, bungkukan diriku sedikit lebih tinggi dibanding Kak
Hikaru dan Kak Reira.
“Sudah-sudah, tidak apa-apa.” kata Taeglyn menahan tawa melihat sikap kami pada dia.
“Maaf Taeglyn, memang ini merupakan budaya dari salah satu negara di tempat tinggal kami.” Kepalaku sedikit mendongak untuk menakwilkan.
“Baiklah, aku menghargai sikap kalian padaku,” kata dia ikut menirukan sikap Kak Hikaru dan Reira.
Sepertinya Taeglyn membungkuk sekitar tiga puluh derajat. Itu artinya apa ya? Terus terang saja, aku tidak sepenuhnya paham dengan tradisi ojigi ini.
Buru-buru ku senggol siku Kak Hikaru sesaat setelah dia selesai melakukan ojigi bersama Kak Reira dan Taeglyn. Dia menoleh sambil merisik,
“Ada apa?”
“Gue mau tanya, kenapa Taeglyn membungkuk sampai tiga puluh derajat?” bisikku.
“Dia melakukan Keirei, padahal seharusnya nggak perlu,”
“Maaf Taeglyn, memang ini merupakan budaya dari salah satu negara di tempat tinggal kami.” Kepalaku sedikit mendongak untuk menakwilkan.
“Baiklah, aku menghargai sikap kalian padaku,” kata dia ikut menirukan sikap Kak Hikaru dan Reira.
Sepertinya Taeglyn membungkuk sekitar tiga puluh derajat. Itu artinya apa ya? Terus terang saja, aku tidak sepenuhnya paham dengan tradisi ojigi ini.
Buru-buru ku senggol siku Kak Hikaru sesaat setelah dia selesai melakukan ojigi bersama Kak Reira dan Taeglyn. Dia menoleh sambil merisik,
“Ada apa?”
“Gue mau tanya, kenapa Taeglyn membungkuk sampai tiga puluh derajat?” bisikku.
“Dia melakukan Keirei, padahal seharusnya nggak perlu,”
“Kok nggak perlu?”
“Anggukan kepala lima derajat harusnya sudah cukup. Soalnya, dia statusnya lebih tinggi dari kita.” jawab Kak Hikaru lirih.
“Hmmm, aku tahu apa yang kalian bicarakan dari tadi.” cakap Taeglyn tersenyum simpul pada kami, kedua tangan dia terlipat di dada.
“Maaf pangeran, bukan kami bermaksud lancang. Tapi….” ujaran Kak Hikaru menggantung di punca lidah.
“Anggap saja, itu undangan dariku mempersilakan kalian masuk ke kamar,” tuturnya ramah.
“Terima kasih, pangeran.” Kak Reira kembali melakukan keirei seperti Taeglyn.
Kurang lebih 15 menit dalam perbincangan kami, suara derit pintu terdengar. Maximillian dan beberapa pelayan laki-laki sudah datang membawakan jamuan untuk kami. Adome dan Tavin lagi? Sudah hampir seharian ini mereka hadir, yang membedakan untuk malam ini mereka bersama beberapa pelayan lain.
Ya Tuhan, kalau begini bisa-bisa aku obesitas mendadak. Setidaknya untuk jiwaku. Hihihi…
Bagaimana tidak? Belum ada setengah jam makan malam selesai, aku disuguhkan lagi makanan penutup penggugah selera meski kebanyakan dominan manis. Sedangkan, untuk Kak Hikaru dan Kak Reira lebih mendominasi daging dan pasta.
“Silakan dinikmati hidangannya.” ucap Maximillian.
“Terima kasih, Maximillian dan semuanya.” Taeglyn tersenyum lebar.
“Hamba pamit undur diri, paduka pangeran.” Maximillian membungkuk seraya melangkah mundur diikuti para pelayan.
“Tunggu Maximillian, apakah tidak ada lagi selain ini?” tanya Taeglyn.
“Mohon maaf paduka pangeran, hampir saja hamba lupa menyampaikan pesan dari Yang Mulia.”
“Pesan?”
“Selesai menikmati jamuan, paduka pangeran dan Tuan Reira diperintah menghadap Yang Mulia.” jawab Maximillian.
“Lalu, bagaimana dengan Hikaru dan Giovani?”
“Yang Mulia juga menyuruh Nona Giovani dan Tuan Hikaru menunggu di kamar tamu,”
“Untuk apa Maximillian?”
“Mohon maaf paduka pangeran, ini di luar kapasitas hamba sebagai pengawas kerajaan.”
“Ayah ada-ada saja.” Taeglyn menggeleng pelan.
“Nggak apa-apa Taeglyn, kami akan menunggu.” timpal diriku.
“Baiklah jika kalian tidak masalah.”
“Hamba pamit, paduka pangeran.” Maximillian meneruskan langkahnya keluar bersama para pelayan dan pintu kembali menutup.
“Silakan kalian memilih makanan kalian suka.”
Sial! Lama-lama gemuk sungguhan. Tuhan, lindungi aku dari godaan makanan-makanan yang terhidang. Aamiin
“Giovani, kau tak ikut makan?”
“Maaf Taeglyn, saya masih kenyang.”
“Pangeran, Adik saya ini kurang suka makanan manis.”
Kak Hikaru terkekeh, dia menuju kereta dorong berisi makanan dan memilih hidangan bistik. Sementara, Kak Reira memilih hidangan pasta. Melihat mereka makan, aku jadi ingin mencicipi bistik juga. Tapi… bagaimana, ya?
“Giovani, kenapa kau diam saja?” tanya Taeglyn mengambil sepiring buah-buahan di kereta dorong.
Aku menggeleng, “Nggak apa-apa, Taeglyn.”
“Kau tidak ingin memakan camilan atau kue?”
“Nggak Taeglyn, terima kasih.”
“Kau suka buah, tidak?”
“Suka. Tapi, hanya beberapa.”
“Kau suka apa?”
“Saya suka apel.”
“Kalau begitu, ambillah.” ujar dia menyorongkan lopak padaku.
“Terima kasih, Taeglyn.”
Kami bertiga menikmati hidangan jamuan dari Taeglyn, apel segar sedikit demi sedikit tertelan ke dalam tembolok. Belum pernah ku temui apel seenak ini. Warna berma menggugah selera membuat diriku semakin suka dan ingin memakan lagi dan lagi.
“Kalian suka hidangannya?”
Kami menjawab dengan dua kali anggukkan. Taeglyn tersenyum dan berbicara, “Syukurlah jika kalian menyukainnya.”
“Saya suka bistik hidangannya, pangeran.” kata Kak Hikaru meletakkan pisau dan menelungkup garpu di sebelah kanan sebagai tanda selesai. Disusul oleh Kak Reira bersama gigitan terakhirku pada apel hidangan.
“Yang memasak adalah kepala pelayan dan asistennya.”
“Wah, benarkah?” Kak Reira ingin tahu.
“Di istana ini tidak ada koki istana, yang ada kepala pelayan merangkap menjadi juru masak.” Taeglyn menjelaskan.
“Pasti Adome ‘kan, Taeglyn?”
“Kau benar, Giovani.” Taeglyn tersenyum lebar.
“Ternyata yang jadi juru masak adalah laki-laki.” Kak Reira nyengir.
“Makanya, Rei lo belajar masak.” Kak Hikaru menyerobot.
“Halaah…nggak usah ngomong, emangnya lo bisa masak?”
“Bisa dong,”
“Masak apa emangnya lo?” Kak Reira terdengar mewahamkan jawaban Kak Hikaru.
“Masak air.” jawab kak Hikaru.
“Itu sih bukan masak namanya, Kak. Kalau cuma masak air, semua juga bisa.”
Apa-apaan Kak Hikaru itu? Dengan pedenya dia bilang bisa masak. Padahal, dari dulu masak air pun selalu gagal.
“Kalian ini… benar-benar berbakat menjadi kelamar.” Taeglyn tertawa keras dari sofa.
“Kelamar?” Kak Reira dan Kak Hikaru berpandangan.
“Pelawak. Untung gue makan buku tesaurus jadi paham,”
“Gila lo, buku tesaurus dimakan.” Kak Hikaru menganga.
“Maksud Adik lo, dia menghapal bukan makan beneran. Gimana sih lo?!” Kak Reira menepuk dahi.
“Kirain dimakan beneran.” Kak Hikaru mesem.
“Sudah-sudah, jangan membuatku tertawa lagi. Perutku sakit….” Taeglyn tambah tergelak, sampai-sampai dia mencengkeram perutnya.
“Maafkan kami, Taeglyn,”
“Tidak apa-apa, baru kali ini diriku benar-benar terhibur oleh pembicaraan kalian.” Taeglyn menggeleng dengan senyuman.
“Kami meminta maaf Taeglyn, jika kedatangan kami nggak sopan.”
“Tidak masalah. Oh ya, aku akan memanggil pelayan dan Maximillian untuk mengantar kau dan Kakakmu ke kamar tamu.”
Taeglyn bangkit dari sofa mendatangi bufet dan membunyikan lonceng sebanyak lima kali. Suara gegenta merebak, bersambung-sambung laksana bunyi pelesit. Ingar-bingar membikin kuping ngilu. Tak beberapa lama, Maximillian dan beberapa pelayan datang menghadap. Tidak ada Adome, namun aku mengetahui ada Tavin bersama tiga pelayan lain.
“Tavin dan yang lain, tolong antarkan Giovani dan Kakak laki-lakinya ke kamar tamu.”
“Baik paduka pangeran.” Tavin mengangguk.
“Maximillian, di mana Ayah menyuruhku dan Reira menghadap dia?”
“Di ruang keluarga, paduka pangeran.”
“Baiklah. Aku akan ke sana.”
Taeglyn menempatkan kembali gegenta di bufet. Tangan dia memperlihatkan gestur agar Reira mengikuti dia keluar bersama Maximillian. Sedangkan aku, dan Kak Hikaru diajak Tavin pergi ke kamar tamu bersama para pelayan. Kami keluar kamar dan menjejaki koridor puri, menuruni tangga kastel sampai tiba di kamar tamu lantai dua. Tepatnya, di sebelah kamar Norlorn. Aku baru tahu, kalau kamar tertutup itu adalah kamar tamu.
Tavin membuka pintu kamar dengan sekali dorongan. Tercelik panorama minimalis bergaya rococo dari dalam. Aku tahu gaya itu, karena pernah mempelajari buku desain interior kepunyaan Kak Hikaru sebelum dia memilih pindah dari program studi teknik sipil dan perencanaan ke progam studi Sastra Jepang. Jangan tanya aku mengenal Kak Hikaru kapan. Jelasnya, sebelum Ibuku menikah dengan Ayah dia.
“Anggukan kepala lima derajat harusnya sudah cukup. Soalnya, dia statusnya lebih tinggi dari kita.” jawab Kak Hikaru lirih.
“Hmmm, aku tahu apa yang kalian bicarakan dari tadi.” cakap Taeglyn tersenyum simpul pada kami, kedua tangan dia terlipat di dada.
“Maaf pangeran, bukan kami bermaksud lancang. Tapi….” ujaran Kak Hikaru menggantung di punca lidah.
“Anggap saja, itu undangan dariku mempersilakan kalian masuk ke kamar,” tuturnya ramah.
“Terima kasih, pangeran.” Kak Reira kembali melakukan keirei seperti Taeglyn.
Kurang lebih 15 menit dalam perbincangan kami, suara derit pintu terdengar. Maximillian dan beberapa pelayan laki-laki sudah datang membawakan jamuan untuk kami. Adome dan Tavin lagi? Sudah hampir seharian ini mereka hadir, yang membedakan untuk malam ini mereka bersama beberapa pelayan lain.
Ya Tuhan, kalau begini bisa-bisa aku obesitas mendadak. Setidaknya untuk jiwaku. Hihihi…
Bagaimana tidak? Belum ada setengah jam makan malam selesai, aku disuguhkan lagi makanan penutup penggugah selera meski kebanyakan dominan manis. Sedangkan, untuk Kak Hikaru dan Kak Reira lebih mendominasi daging dan pasta.
“Silakan dinikmati hidangannya.” ucap Maximillian.
“Terima kasih, Maximillian dan semuanya.” Taeglyn tersenyum lebar.
“Hamba pamit undur diri, paduka pangeran.” Maximillian membungkuk seraya melangkah mundur diikuti para pelayan.
“Tunggu Maximillian, apakah tidak ada lagi selain ini?” tanya Taeglyn.
“Mohon maaf paduka pangeran, hampir saja hamba lupa menyampaikan pesan dari Yang Mulia.”
“Pesan?”
“Selesai menikmati jamuan, paduka pangeran dan Tuan Reira diperintah menghadap Yang Mulia.” jawab Maximillian.
“Lalu, bagaimana dengan Hikaru dan Giovani?”
“Yang Mulia juga menyuruh Nona Giovani dan Tuan Hikaru menunggu di kamar tamu,”
“Untuk apa Maximillian?”
“Mohon maaf paduka pangeran, ini di luar kapasitas hamba sebagai pengawas kerajaan.”
“Ayah ada-ada saja.” Taeglyn menggeleng pelan.
“Nggak apa-apa Taeglyn, kami akan menunggu.” timpal diriku.
“Baiklah jika kalian tidak masalah.”
“Hamba pamit, paduka pangeran.” Maximillian meneruskan langkahnya keluar bersama para pelayan dan pintu kembali menutup.
“Silakan kalian memilih makanan kalian suka.”
Sial! Lama-lama gemuk sungguhan. Tuhan, lindungi aku dari godaan makanan-makanan yang terhidang. Aamiin
“Giovani, kau tak ikut makan?”
“Maaf Taeglyn, saya masih kenyang.”
“Pangeran, Adik saya ini kurang suka makanan manis.”
Kak Hikaru terkekeh, dia menuju kereta dorong berisi makanan dan memilih hidangan bistik. Sementara, Kak Reira memilih hidangan pasta. Melihat mereka makan, aku jadi ingin mencicipi bistik juga. Tapi… bagaimana, ya?
“Giovani, kenapa kau diam saja?” tanya Taeglyn mengambil sepiring buah-buahan di kereta dorong.
Aku menggeleng, “Nggak apa-apa, Taeglyn.”
“Kau tidak ingin memakan camilan atau kue?”
“Nggak Taeglyn, terima kasih.”
“Kau suka buah, tidak?”
“Suka. Tapi, hanya beberapa.”
“Kau suka apa?”
“Saya suka apel.”
“Kalau begitu, ambillah.” ujar dia menyorongkan lopak padaku.
“Terima kasih, Taeglyn.”
Kami bertiga menikmati hidangan jamuan dari Taeglyn, apel segar sedikit demi sedikit tertelan ke dalam tembolok. Belum pernah ku temui apel seenak ini. Warna berma menggugah selera membuat diriku semakin suka dan ingin memakan lagi dan lagi.
“Kalian suka hidangannya?”
Kami menjawab dengan dua kali anggukkan. Taeglyn tersenyum dan berbicara, “Syukurlah jika kalian menyukainnya.”
“Saya suka bistik hidangannya, pangeran.” kata Kak Hikaru meletakkan pisau dan menelungkup garpu di sebelah kanan sebagai tanda selesai. Disusul oleh Kak Reira bersama gigitan terakhirku pada apel hidangan.
“Yang memasak adalah kepala pelayan dan asistennya.”
“Wah, benarkah?” Kak Reira ingin tahu.
“Di istana ini tidak ada koki istana, yang ada kepala pelayan merangkap menjadi juru masak.” Taeglyn menjelaskan.
“Pasti Adome ‘kan, Taeglyn?”
“Kau benar, Giovani.” Taeglyn tersenyum lebar.
“Ternyata yang jadi juru masak adalah laki-laki.” Kak Reira nyengir.
“Makanya, Rei lo belajar masak.” Kak Hikaru menyerobot.
“Halaah…nggak usah ngomong, emangnya lo bisa masak?”
“Bisa dong,”
“Masak apa emangnya lo?” Kak Reira terdengar mewahamkan jawaban Kak Hikaru.
“Masak air.” jawab kak Hikaru.
“Itu sih bukan masak namanya, Kak. Kalau cuma masak air, semua juga bisa.”
Apa-apaan Kak Hikaru itu? Dengan pedenya dia bilang bisa masak. Padahal, dari dulu masak air pun selalu gagal.
“Kalian ini… benar-benar berbakat menjadi kelamar.” Taeglyn tertawa keras dari sofa.
“Kelamar?” Kak Reira dan Kak Hikaru berpandangan.
“Pelawak. Untung gue makan buku tesaurus jadi paham,”
“Gila lo, buku tesaurus dimakan.” Kak Hikaru menganga.
“Maksud Adik lo, dia menghapal bukan makan beneran. Gimana sih lo?!” Kak Reira menepuk dahi.
“Kirain dimakan beneran.” Kak Hikaru mesem.
“Sudah-sudah, jangan membuatku tertawa lagi. Perutku sakit….” Taeglyn tambah tergelak, sampai-sampai dia mencengkeram perutnya.
“Maafkan kami, Taeglyn,”
“Tidak apa-apa, baru kali ini diriku benar-benar terhibur oleh pembicaraan kalian.” Taeglyn menggeleng dengan senyuman.
“Kami meminta maaf Taeglyn, jika kedatangan kami nggak sopan.”
“Tidak masalah. Oh ya, aku akan memanggil pelayan dan Maximillian untuk mengantar kau dan Kakakmu ke kamar tamu.”
Taeglyn bangkit dari sofa mendatangi bufet dan membunyikan lonceng sebanyak lima kali. Suara gegenta merebak, bersambung-sambung laksana bunyi pelesit. Ingar-bingar membikin kuping ngilu. Tak beberapa lama, Maximillian dan beberapa pelayan datang menghadap. Tidak ada Adome, namun aku mengetahui ada Tavin bersama tiga pelayan lain.
“Tavin dan yang lain, tolong antarkan Giovani dan Kakak laki-lakinya ke kamar tamu.”
“Baik paduka pangeran.” Tavin mengangguk.
“Maximillian, di mana Ayah menyuruhku dan Reira menghadap dia?”
“Di ruang keluarga, paduka pangeran.”
“Baiklah. Aku akan ke sana.”
Taeglyn menempatkan kembali gegenta di bufet. Tangan dia memperlihatkan gestur agar Reira mengikuti dia keluar bersama Maximillian. Sedangkan aku, dan Kak Hikaru diajak Tavin pergi ke kamar tamu bersama para pelayan. Kami keluar kamar dan menjejaki koridor puri, menuruni tangga kastel sampai tiba di kamar tamu lantai dua. Tepatnya, di sebelah kamar Norlorn. Aku baru tahu, kalau kamar tertutup itu adalah kamar tamu.
Tavin membuka pintu kamar dengan sekali dorongan. Tercelik panorama minimalis bergaya rococo dari dalam. Aku tahu gaya itu, karena pernah mempelajari buku desain interior kepunyaan Kak Hikaru sebelum dia memilih pindah dari program studi teknik sipil dan perencanaan ke progam studi Sastra Jepang. Jangan tanya aku mengenal Kak Hikaru kapan. Jelasnya, sebelum Ibuku menikah dengan Ayah dia.
Perkemalan lebih akrab terjadi saat Ibu Kak Hikaru masih hidup. Dia
diperkenalkan padaku sewaktu sudah pindah ke program studi sastra Jepang
di kampus tempat aku kuliah. Ibunya bercerita, dia mahasiswa pindahan
program studi teknik sipil dan perencanaan pada salah satu kampus negeri
kota Yogyakarta.
Tentu saja, aku sudah cukup mengetahui eksistensi dia di kampus karena kepiawaiannya dalam hal supranatural. Sebelum aku benar-benar menyadari,, dia memang anak dari sahabat Ibuku yang selalu diceritakan tanpa menyebut nama. Lalu, buku-buku Kak Hikaru dihibahkan ke salah satu Kakak kandungku, Irianto. Dari sanalah diriku belajar sedikit mengenai desain interior.
“Silakan, Tuan dan Nona.” Tavin mempersilakan masuk, lalu beberapa pelayan lain berjejer di sisi kiri dan kanan kamar.
“Terima kasih, Tavin.”
“Terima kasih kembali, Nona Giovani.” ucap Tavin tersenyum lebar.
“Oh ya Tavin, aku kayaknya perlu mengganti baju tidur. Bisa meminjam piyama atau yang lain?”
“Semua sudah tersedia dalam almari. Namun untuk ukuran, saya mohon maaf karena itu semua diluar kapasitas saya ketahui.” jawab Tavin.
“Nggak apa-apa, Tavin.”
“Saya pamit undur diri, Nona Giovani dan Tuan Hikaru. Selamat beristirahat.”
“Selamat beristirahat juga, Tavin.”
“Jika Nona Giovani dan Tuan Hikaru membutuhkan bantuan, Nona bisa membunyikan lonceng dari luar kamar.” Tavin berjalan ke pintu kamar menyusul beberapa pelayan dan pintu sudah terkatup.
“Rococo banget nih, Dik.” tutur Kak Hikaru.
“Gue sudah tahu, Kak,”
“Gue nggak mimpi ‘kan, Dik?”
“Menurut lo, tadi sakit nggak gue jewer?”
“Sakit.”
“Berarti?”
“Bukan mim…pi.” jawab Kak Hikaru tergugu-gugu.
“Jangan norak.”
“Nggak nyangka banget gue, seumur-umur dari kuliah gue di Jogja sebelum pindah ke Jakarta, baru lihat langsung desain interior rococo begini.”
Mata Kak Hikaru berkilat, kelihtan antusias pada desain dalam kamar tamu. Ternyata, jiwa invertor dirinya belum sepenuhnya berganti menjadi cendekiawan. Begitulah kelakuan Kakak tiriku yang satu itu, agak udik.
“Jangan norak!”
“Siapa yang norak? Lo nggak bisa bedain kagum sama norak?”
“Nggak kalau buat lo,” jawabku seperlunya.
“Dih, lo kok begitu sama gue?!”
“Habisnya, gue mau jawab apa lagi?”
“Hih….”
“Nggak bisa jawab ‘kan, lo?”
“Siapa bilang?”
“Trus?”
“Cuma malas saja,”
“Alasan. Udah ah, gue rindu ketemu kasur mau tidur.” Aku mengambil ancang-ancang menuju tempat tidur tersedia di bagian kanan kamar.
“Eee… tunggu!” seru Kak Hikaru, tangan dia meragut tanganku.
“Ada apa lagi sih, Kak!?”
“Galak banget lo sama Abang sendiri?”
“Masalahnya, gue sudah nggak tahan ngantuk.”
“Gue mau ngomong sama lo sebentar, bisa ‘kan?”
“Mau ngomong apaan? Buruan!”
“Satu menit deh. Gue cuma mau bilang, kalau gue sayang sama lo. Bukan sekadar Adik, tapi lebih dari itu!”
“Lo bilang apaan?”
“Gue sayang sama lo dari waktu… Mama kenalin gue ke… lo.” jawab Kak Hikaru gagap.
Astaga, cobaan apa lagi sekarang? Tuhan… apa yang terjadi pada dia?
“Lo jangan ngaco!”
“Dik, Gue serius.”
“Sudah deh, jangan bikin gue tambah pusing! Kita itu Kakak dan Adik, nggak lebih!”
“Dik, tolong dengarkan gue dulu!”
“Nggak mau! Gue mau tidur.”
“Onegai,”
Tentu saja, aku sudah cukup mengetahui eksistensi dia di kampus karena kepiawaiannya dalam hal supranatural. Sebelum aku benar-benar menyadari,, dia memang anak dari sahabat Ibuku yang selalu diceritakan tanpa menyebut nama. Lalu, buku-buku Kak Hikaru dihibahkan ke salah satu Kakak kandungku, Irianto. Dari sanalah diriku belajar sedikit mengenai desain interior.
“Silakan, Tuan dan Nona.” Tavin mempersilakan masuk, lalu beberapa pelayan lain berjejer di sisi kiri dan kanan kamar.
“Terima kasih, Tavin.”
“Terima kasih kembali, Nona Giovani.” ucap Tavin tersenyum lebar.
“Oh ya Tavin, aku kayaknya perlu mengganti baju tidur. Bisa meminjam piyama atau yang lain?”
“Semua sudah tersedia dalam almari. Namun untuk ukuran, saya mohon maaf karena itu semua diluar kapasitas saya ketahui.” jawab Tavin.
“Nggak apa-apa, Tavin.”
“Saya pamit undur diri, Nona Giovani dan Tuan Hikaru. Selamat beristirahat.”
“Selamat beristirahat juga, Tavin.”
“Jika Nona Giovani dan Tuan Hikaru membutuhkan bantuan, Nona bisa membunyikan lonceng dari luar kamar.” Tavin berjalan ke pintu kamar menyusul beberapa pelayan dan pintu sudah terkatup.
“Rococo banget nih, Dik.” tutur Kak Hikaru.
“Gue sudah tahu, Kak,”
“Gue nggak mimpi ‘kan, Dik?”
“Menurut lo, tadi sakit nggak gue jewer?”
“Sakit.”
“Berarti?”
“Bukan mim…pi.” jawab Kak Hikaru tergugu-gugu.
“Jangan norak.”
“Nggak nyangka banget gue, seumur-umur dari kuliah gue di Jogja sebelum pindah ke Jakarta, baru lihat langsung desain interior rococo begini.”
Mata Kak Hikaru berkilat, kelihtan antusias pada desain dalam kamar tamu. Ternyata, jiwa invertor dirinya belum sepenuhnya berganti menjadi cendekiawan. Begitulah kelakuan Kakak tiriku yang satu itu, agak udik.
“Jangan norak!”
“Siapa yang norak? Lo nggak bisa bedain kagum sama norak?”
“Nggak kalau buat lo,” jawabku seperlunya.
“Dih, lo kok begitu sama gue?!”
“Habisnya, gue mau jawab apa lagi?”
“Hih….”
“Nggak bisa jawab ‘kan, lo?”
“Siapa bilang?”
“Trus?”
“Cuma malas saja,”
“Alasan. Udah ah, gue rindu ketemu kasur mau tidur.” Aku mengambil ancang-ancang menuju tempat tidur tersedia di bagian kanan kamar.
“Eee… tunggu!” seru Kak Hikaru, tangan dia meragut tanganku.
“Ada apa lagi sih, Kak!?”
“Galak banget lo sama Abang sendiri?”
“Masalahnya, gue sudah nggak tahan ngantuk.”
“Gue mau ngomong sama lo sebentar, bisa ‘kan?”
“Mau ngomong apaan? Buruan!”
“Satu menit deh. Gue cuma mau bilang, kalau gue sayang sama lo. Bukan sekadar Adik, tapi lebih dari itu!”
“Lo bilang apaan?”
“Gue sayang sama lo dari waktu… Mama kenalin gue ke… lo.” jawab Kak Hikaru gagap.
Astaga, cobaan apa lagi sekarang? Tuhan… apa yang terjadi pada dia?
“Lo jangan ngaco!”
“Dik, Gue serius.”
“Sudah deh, jangan bikin gue tambah pusing! Kita itu Kakak dan Adik, nggak lebih!”
“Dik, tolong dengarkan gue dulu!”
“Nggak mau! Gue mau tidur.”
“Onegai,”
“Ya sudah cepetan, mata gue sudah merem melek.”
“Gue hanya mau bilang, gue suka dan sayang sama lo.”
“Sudah? Ada lagi?”
“Nggak ada. Walau gue tahu, lo pasti nggak akan jawab perasaan gue.”
“Kak, ini demi kebaikan kita juga. Kalau gue jadian sama lo, trus Papa tahu gimana?”
“Iya juga sih,” timpal dia garuk kepala.
“Yang ada, kita berdua dicap anak durhaka.”
“Iya ya, gue nggak kepikiran sampai sana,”
“Gue hargai perasaan lo. Sebenarnya dari awal gue ketemu lo di kampus, gue ada perasaan sama lo.”
“Oh ya?”
“Tapi, Akshita sudah telanjur suka sama lo. Makanya, gue lebih milih mengalah.”
“Jadi, perasaan lo ke gue sama kayak gue ke lo?”
“Iya. Tapi… gue lebih milih mengalah, gue nggak mau Akshita sedih dan kumat lagi depresinya.”
“Ah… Akshita belum ada perkembangan di rumah sakit.” Kak Hikaru menunduk, tatapan mata dia risau.
“Sebaiknya, lo temani Akshita. Jangan gue. Dia lebih butuh lo untuk selalu ada di samping dia.”
“Dik, gue nggak nyangka sama lo. Kalau selama ini, lo lebih mengutamakan Akshita dibanding diri lo sendiri.” Kak Hikaru mengusap air mata yang menetes di mata dia.
“Akshita itu separuh jiwa gue. Seandainya dia ada masalah, gue pasti ngerasain.”
“Terima kasih, ya.”
“Buat apa?”
“Lo sudah bilang perasaan lo ke gue, Dik.”
“Supaya nggak kelamaan dan jadi jerawat.”
“Bisa saja lo,” Kak Hikaru terbahak.
“Gue mau ganti baju dan tidur. Pamit dulu ke kamar mandi,”
Tungkaiku bergerak ke lemari untuk mengambil piyama. Sekian menit memilih, akhirnya diriku menemukan ukuran piyama yang sepertinya sedang untuk tubuh. Lalu, langkahku lanjut beredar ke kamar mandi terletak di bagian kiri kamar. Pintu kamar mandi sedikit terbuka mengingatkan aku pada masa kecil. Hanya, kamar mandi di sini sangat glamor. Berbeda dengan kamar mandi di rumahku atau Kak Hikaru.
Masa kecilku kebanyakan dihabiskan di kamar mandi untuk bermain air bersama Akshita sampai Ibu memarahi kami. Hihihi…
Kemudian, diriku masuk ke dalam dan menutup pintu supaya bisa menyalin pakaian tidur sekaligus melepas sepatu. Aku yakin, dari luar Kak Hikaru masih mematung di bagian sentral kamar.
“Gue hanya mau bilang, gue suka dan sayang sama lo.”
“Sudah? Ada lagi?”
“Nggak ada. Walau gue tahu, lo pasti nggak akan jawab perasaan gue.”
“Kak, ini demi kebaikan kita juga. Kalau gue jadian sama lo, trus Papa tahu gimana?”
“Iya juga sih,” timpal dia garuk kepala.
“Yang ada, kita berdua dicap anak durhaka.”
“Iya ya, gue nggak kepikiran sampai sana,”
“Gue hargai perasaan lo. Sebenarnya dari awal gue ketemu lo di kampus, gue ada perasaan sama lo.”
“Oh ya?”
“Tapi, Akshita sudah telanjur suka sama lo. Makanya, gue lebih milih mengalah.”
“Jadi, perasaan lo ke gue sama kayak gue ke lo?”
“Iya. Tapi… gue lebih milih mengalah, gue nggak mau Akshita sedih dan kumat lagi depresinya.”
“Ah… Akshita belum ada perkembangan di rumah sakit.” Kak Hikaru menunduk, tatapan mata dia risau.
“Sebaiknya, lo temani Akshita. Jangan gue. Dia lebih butuh lo untuk selalu ada di samping dia.”
“Dik, gue nggak nyangka sama lo. Kalau selama ini, lo lebih mengutamakan Akshita dibanding diri lo sendiri.” Kak Hikaru mengusap air mata yang menetes di mata dia.
“Akshita itu separuh jiwa gue. Seandainya dia ada masalah, gue pasti ngerasain.”
“Terima kasih, ya.”
“Buat apa?”
“Lo sudah bilang perasaan lo ke gue, Dik.”
“Supaya nggak kelamaan dan jadi jerawat.”
“Bisa saja lo,” Kak Hikaru terbahak.
“Gue mau ganti baju dan tidur. Pamit dulu ke kamar mandi,”
Tungkaiku bergerak ke lemari untuk mengambil piyama. Sekian menit memilih, akhirnya diriku menemukan ukuran piyama yang sepertinya sedang untuk tubuh. Lalu, langkahku lanjut beredar ke kamar mandi terletak di bagian kiri kamar. Pintu kamar mandi sedikit terbuka mengingatkan aku pada masa kecil. Hanya, kamar mandi di sini sangat glamor. Berbeda dengan kamar mandi di rumahku atau Kak Hikaru.
Masa kecilku kebanyakan dihabiskan di kamar mandi untuk bermain air bersama Akshita sampai Ibu memarahi kami. Hihihi…
Kemudian, diriku masuk ke dalam dan menutup pintu supaya bisa menyalin pakaian tidur sekaligus melepas sepatu. Aku yakin, dari luar Kak Hikaru masih mematung di bagian sentral kamar.
No comments:
Post a Comment