Makan malam berdua dengan pangeran adalah makan malam terelegan dan
paling tenang ku temui selama hidup. Selama ini, hanya pertengkaran atau
kesendirian saja adanya. Belum pernah menikmati saat-saat berdua dalam
keharmonisan.
“Soora,” sebut Taeglyn.
Aku tersenyum, sekali lalu menaikkan alis. Lengan tengah bergerak mendulang segenap sorongan pasta sebelum selesai.
“Soora, kenapa kau diam saja?” Aku kian bungkam, tidak ingin memerantakkan acara makan malam yang kacau sebelumnya.
Taeglyn menambahkan percakapan, “Baiklah kalau kau tidak ingin bicara. Aku tunggu sampai kau dapat bercerita.”
Antara interval beberapa detik, akhirnya makan malam selesai menyusul
sang putra mahkota di meja. Sehabis suapan terakhir sembari mereguk
segelas anggur, barulah diriku dapat menjawab interogasi dia.
“Maaf Taeglyn, bukan saya nggak ingin bercerita. Saya hanya menghabiskan
makan malam saya dulu baru bicara,” interupsiku pada dia.
“Oh… ku kira kau tidak menikmati makan malam.”
“Saya amat menikmati makan malam bersama Anda, Taeglyn.”
“Benarkah?”
“Saya bukan manusia pandai bermain kata-kata.” Aku memandangi mata dia.
“Jadi, kau suka?”
“Benar-benar suka.”
“Syukurlah jika begitu adanya. Setidaknya, persiapanku tidak sia-sia.”
“Terima kasih untuk pemberiannya, Taeglyn.”
“Tidak usah dipikirkan, aku hanya melakukan persiapan kecil untuk
menebus kesalahan di ruang makan.” Dia kemalu-maluan, pipinya agak
berma.
Aku pikir, dua kali anggukan kepala dan sedikit senyuman cukup bagi pertanyaan Taeglyn padaku.
“Soora… aku jadi tidak sabar untuk bertemu dengan kakak laki-lakimu,” cakap Taeglyn seketika.
“Oh ya? Dia memang kakak terbaik untuk saya.”
“Aku sudah tahu.”
“Benarkah itu?”
“Aku sudah melihat dari matamu sedari tadi. Sudah ku jelaskan ‘kan?”
“Iya juga.”
“Soora, apa Kakakmu merupakan seseorang spesial bagi hidupmu?”
“Kak Hikaru itu, seseorang paling berarti untuk saya dan saudara kembar saya walau dia kakak tiri.” Aku menggubris.
“Aku jadi mengerti, kenapa saat ku lihat matamu, bayangan Kakakmu yang muncul.”
“Pangeran sudah tahu Kak Hikaru?”
“Dia tampan dan baik. Aku pikir, tidak ada salahnya kau berhubungan dengan dia lebih dari sekadar Kakak dan Adik. Hahaha….”
“Hah?!” Mataku membelalang.
Apa maksud pertanyaan dia? Apa hubungannya Kak Hikaru denganku? Sekali Kakak, tetap saja Kakak.
“Maksudku… kenapa kalian tidak menjadi sepasang kekasih saja?”
Sepasang kekasih!? Pikirannya itu di mana? Memangnya bisa pernikahan model begitu?
“Taeglyn, Hikaru itu Kakak saya. Mana bisa begitu?”
“Memang dia Kakakmu, tapi tidak sedarah. Ya tidak?” Dia menyernyih komikal.
“Ya memang. Tapi, saya tidak ada perasaan apa-apa selain sebagai Kakak.”
“Kau yakin? Kakak tirimu itu tampan. Kenapa kau tidak tertarik?”
Pertanyaan sang putra mahkota mencatuk lubuk hati. Jeda beberapa detik,
dia minum segelas anggur merah tersedia bagaikan menanti sahutan diriku.
“Cinta nggak bisa dipaksa, Taeglyn.”
Sekonyong-konyong, pangeran muda di depanku terteguk. Dia terbatuk,
barangkali lantaran tangkisan pertanyaan dia. Iras dia ahmar akibat
tersedak anggur merah di gelas.
“Taeglyn, Anda baik-baik saja?”
Aku berkacak dari seliri, merapati pria berambut hitam kecoklatan tak
terlalu lurus panjang sebahu itu. Mendebik pungkur gagah ia. Sikapnya
kelihatan seperti anak kecil gumoh akibat minum susu.
“Tidak apa-apa, aku hanya terperangah mendengar jawabanmu tadi.” Dia mengirap tangannya naik turun.
“Apakah jawaban saya salah?”
“Tidak, maksudku kau rupanya bisa menangkis pertanyaanku.”
“Itulah adanya. Cinta nggak bisa dipaksa,”
“Aku tahu….”
“Taeglyn, kenapa Anda bilang begitu pada saya?”
“Karena aku pikir, kau bisa cocok dengan Kakakmu.”
“Anda benar. Tapi, dia cocok dengan saya karena tertarik di suatu hal sama.”
“Kau tak ingin mencoba keluar dari zona Kakak-Adik?”
“Nggak. Berhubungan dengan manusia itu merepotkan.”
“Maksudmu?” Kening dia bekernyut.
“Berhubungan dengan manusia terlalu banyak tuntutan.”
“Lantas, jika kau tidak berhubungan dengan manusia bagaimana kau hidup?”
“Untuk bersosialisasi saya memaklumi. Namun, untuk asmara saya mundur saja.”
“Kenapa? Masa lalu yang gagal?”
“Nggak perlu saya jawab lagi. Anda pasti melihat semua,”
“Ya… ya aku paham. Cuma, kau hidup di masa sekarang. Apa kau tidak takut hidup sendirian?”
“Kenapa harus takut? Ada Tuhan menyertai saya.”
“Di tempat tinggalmu, bukankah pernikahan itu penting?” Jari dia mencipta tanda kutip.
“Bagaimana ya? Memang sih katanya penting. Tapi untuk saya, saya hidup
melalui bantuan dari Tuhan bukan pernikahan.” jawabku berjarak.
“Lalu, jika pernikahan itu tidak begitu penting bagimu, mengapa kau
menyetujui turnamenku dengan Norlorn?” Dia menghujani mendadak.
“Karena Anda…”
“Ada apa denganku?”
“Anda bukanlah manusia.”
“Ya… ya,”
“Saya trauma berhubungan lebih jauh dengan manusia. Rentan dengan adanya teman palsu,”
“Bukankah bangsa kami di mata bangsamu dianggap penipu?” Taeglyn semacam menyoalkan travesti.
“Saya tidak peduli soal itu. Saya hanya mencari ketulusan. Jika memang
bangsa Anda penipu, Tuhan akan membuka jawabannya suatu saat.”
“Baru kali ini, aku menemui jawaban tak terduga dari seorang manusia
turunan ras matahari.” Taeglyn terheran-heran dari kursi makan.
“Saya hanya mengikuti kata hati. Karena, rasa nggak pernah bohong.”
“Lalu, apakah kau betul-betul tidak tertarik lagi dengan manusia?”
“Sejujurnya iya untuk asmara. Jika bersosialisasi, saya masih bisa menjalaninya seperti saya bilang.”
“Aku jadi paham, kenapa kau bilang tidak mempunyai kekasih di duniamu.” Taeglyn menyela.
“Orang bilang, saya salah jalan. Padahal, hidup itu pilihan.”
“Ya, kau benar, Soora.”
“Jika saya nggak ingin bersama manusia, bukan urusan orang lain untuk mengatur hidup saya.”
“Wah, aku belajar banyak darimu.”
“Saya mengatakan apa yang saya alami saja,”
“Soora….”
“Ada apa Taeglyn?”
“Aku ingin bersamamu. Tidak ingin mengikuti turnamen,” kerlingan dia ganar, tangan bahaduri dia mendekap panggul sebelah kanan.
“Maaf Taeglyn, peraturan tetap peraturan.”
“Huh…” Tarikan respirasi dari penghidu bangir Taeglyn kedengaran putus asa.
“Anda bilang, saya tinggal menunggu keajaiban semesta. Betul ‘kan?”
“Memang aku bilang begitu. Tapi….”
“Jika memang garis takdir Anda bersama saya, semesta pasti akan memberikan keajaibannya pada kita.” tanggapku pada Taeglyn.
“Baiklah, aku mengaku kalah.” Dia tersenyum lepas. Kali ini, letak duduk
dia menggisar mengarah padaku. Tangan kiri dia seolah-olah tak ingin
kalah dari tangan kanan miliknya, ikut merengkuh bagian pinggul kiri
tubuhku.
“Nggak ada yang kalah dan menang di sini, Taeglyn.”
“Tidak. Aku kalah dengan pemikiranmu sedari kita bertemu, Soora.”
“Baiklah, saya nggak akan bicara lagi.” Aku tersenyum simpul.
“Bukan begitu maksudku.”
“Lalu?”
“Aku tidak pernah berpikiran seperti itu.” Taeglyn menggeleng pelan.
“Santai saja, setiap makhluk mempunyai garis takdir sendiri.” kataku.
Ujung tangan Taeglyn mengagih dagu, ain berona hijau benderang
memandangi mataku jeluk. Sepersekian sekon, birai tipis dia menggemik
bibirku. Kecupan pendek kembali terjalin di tengah kicauan.
Taeglyn meradukan ciuman, sekali lalu dia cakap lirih, “Aku selalu
menyukaimu, meski diri ini tidak tahu apakah keajaiban semesta berpihak
padaku atau tidak.”
No comments:
Post a Comment