Dari jarak beberapa meter, terlihat ekspresi juri memandang satu sama lain. Mungkin, mereka masih putus akal menentukan siapa pemenangnya.
“Norlorn dan Taeglyn hebat juga.” sahut pangeran kerajaan barat. Keluarga kerajaan lain tampak berbisik-bisik dari belakang.
“Keduanya sama-sama keras kepala.” Pangeran Tarathiel menyetujui.
“Lalu, apa hasilnya?”
“Semuanya tergantung juri.”
“Bukan Yang Mulia?”
“Bukan.” Pangeran Tarathiel menggeleng.
Tambah rumit. Jika tidak ada pemenang, berarti seri. Apa ini pertanda aku tidak mendapatkan salah satu atau malah keduanya?
“Pasti akan ada pemenangnya, kau tidak perlu khawatir, Nona kecil.”
“Mereka terlalu kuat.” Aku mengomong.
“Itulah.” Angguk pangeran.
“Mungkin akan ada babak penentuan.”
“Bisa iya, bisa tidak.” Pangeran Tarathiel mengangkat bahu.
Sejujurnya, aku sendiri belum yakin apakah akan ada ronde penentuan atau tidak. Cuma, melihat keadaan seperti ini, kemungkinan besar ada babak penentuan. Tiba-tiba, peluit terdengar dari tengah lapangan. Wasit mengumumkan akan ada babak kedua. Babak yang berfungsi sebagai penentuan akhir.
Peluit kembali berbunyi, isyarat babak kedua di mulai. Norlorn dan pangeran kembali mengambil posisi. Wasit mengangkat kain kuning dan meninggalkan arena. Sama dengan babak awal, keduanya begitu kuat.
Pertarungan semakin sengit dan seru. Sorak penonton semakin Cumiakkan telinga dan menggema. Sebelah kanan mendukung sang panglima muda, sebelah kiri mendukung pangeran. Baik Norlorn atau pangeran, keduanya sama-sama hebat. Ku akui itu. Kemampuan pedang mereka, tidak bisa diremehkan begitu saja.
Belum ada satu jam, pertarungan sengit itu terhenti. Semua mata di koleseum memandang serius. Pedang milik Norlorn terjatuh. Mataku ikut membeliak, bagaimana bisa? Mereka sama-sama hebat. Tapi, mengapa pedang Norlorn terjatuh? Apa yang Norlorn lakukan?
Dari arena pertandingan, pangeran mendongkan pedangnya pada leher si panglima muda. Sangat jelas senyumnya. Senyum kepuasan.
“Ini tidak bisa dibiarkan!” Pangeran Tarathiel beranjak menuju arena.
“Tunggu!” Yang Mulia berseru.
“Kenapa ayah? Bagaimana jika Taeglyn berbuat suatu hal mengancam keselamatan Norlorn?”
“Percaya padaku, nak. Adikmu tidak akan melakukan hal yang tidak baik.”
“Tapi yah?” Pangeran Taredd, sang putra tertua menyela.
“Percaya padanya.” kata Yang Mulia tegas.
“Baik ayah. Semoga Taeglyn tidak meminta sesuatu yang membahayakan keselamatan Norlorn.” Pangeran Taredd kembali diam.
“Semoga saja, Taeglyn dapat berpikir waras.” Pangeran Ruvyn berujar.
“Bagaimana jadinya, pangeran?” tanyaku gugup.
“Satu-satunya cara untuk mengetahui jawaban pertanyaanmu hanya saat pernikahan.” jawaban pangeran nomer tiga membuat bulu roma berdiri. Bukan apokaliptis, hanya gamam dengan jawaban saat pertalian keluarga baru.
“Astaga…”
Pendukung sang putra mahkota bungsu bersorak, semuanya memadati arena pertandingan. Gegap gempita bertala-tala memeriahkan keberhasilan pangeran. Satu persatu pendukung memberikan ucapan selamat untuk kemenangan turnamen. Pangeran bungsu merah muka, dari raut wajah dia tampak sukacita.
Hal itu bertumbukan dengan pendukung panglima muda, mereka menundukkan kepala seakan berduka pada kekalahan. Tidak ada selamat ataupun sorak dari kursi penonton. Hanya ada tuan Nyvorlas dan Kak Nueleth menggiring Norlorn keluar dari arena pertandingan.
Haruskah aku ikut memberi ucapan selamat pada pemenang?
Norlorn sudah pergi meninggalkan arena, aku harus menyusulnya. Tapi di mana dan ke mana harus ku cari? Xenomorph Coliseum begitu luas, tidak mudah mencari Norlorn dari lorong-lorong panjang di dalam.
Aku harus meminta bantuan siapa untuk mencari Norlorn? Kebanyakan penonton memenuhi arena pertandingan, tidak terkecuali Kak Hikaru dan Kak Reira. Kursi keluarga kerajaan sudah sepi. Tapi… tunggu, ada sosok lain yang masih duduk di salah satu kursi penonton. Sosok itu bertelinga runcing, berambut merah jingga bergaya acak bagian belakang, memakai t-shirt, jeans berwarna navy, dan sepatu sedang memainkan gawainya. Bentuk gawai laki-laki itu mirip kepunyaan Adome, namun terlihat lebih tipis dan mahal.
Loh, itu bukannya Erlan teman Norlorn? Kenapa dia tidak turun ke arena? Haruskah aku minta bantuannya? Pikirku.
Lebih cepat lebih baik. Urusan dibantu atau tidak, belakangan. Yang penting usaha dulu. Aku hanya ingin mencari Norlorn bukan meminta aneh-aneh. Siapa tahu, Erlan memang dapat membantu. Aku menaiki tangga menuju tempat Erlan duduk. Melangkah stabil hingga berdiri tepat di sisi dia.
“Permisi,”
Sosok itu menoleh. Dia berujar, “Jika kau ingin mencari Norlorn, turunlah ke arena dan masuk pintu pada saat Norlorn memasuki arena pertandingan.”
“Terima kasih.”
Sekejap, Erlan kembali menatap gawainya. Dia tidak membalas ucapan. Jari-jari tangannya menyentuh papan ketik gawai sangat cepat. Kelihatannya, dia sedang mengobrol daring dengan sosok lain, entah siapa. Paling tidak, Erlan sudah memberi tahu di mana Norlorn. Aku yakin, dia belum pulang ke istana. Pasti masih di dalam.
Aku menuruni tangga sampai ke arena, tapi sang putra mahkota bungsu memanggil agar segera bergabung ke tengah arena. Oh tidak! Jujur, diriku tidak punya waktu untuk bergabung dengan pemenang saat ini. Diri ini segera berlari ke bagian tengah memasuki pintu kiri.
Pintu masih terbuka dengan keadaan cukup gelap meski ada sinar matahari masuk dari jendela-jendela lorong bagian dalam koloseum. Suara boots berdebum di lantai koloseum mencari di mana Norlorn berada.
Aku berjalan menyusuri lorong-lorong memperhatikan pintu-pintu tertutup. Di mana Norlorn? Apakah dia sudah pulang? Semoga belum. Di dalam sini sepi, bahkan terlalu gelap untuk ukuran siang hari.
Tap… tap… tap…
Langkahku semakin keras beradu dengan lantai kayu. Sudah cukup lama menelusuri koridor koloseum tak ada tanda Norlorn masih di sini.
Jangan-jangan, dia dan keluarganya sudah pulang. Jika betul, mau tidak mau kembali ke tengah arena dan bergabung. Baru ingin membalikkan badan, ada keributan di salah satu ruangan. Pintunya sedikit terbuka.
Aku mengendap-endap ke ruangan untuk melihat siapa yang ribut. Suara-suara ku kenal terdengar dari dalam. Memakai bahasa asing tidak aku tahu. Sepertinya masalah serius. Apakah memang berhubungan dengan pertandingan?
Aku mengintip dari samping. Benar dugaanku, ada Kak Nueleth dan tuan Nyvorlas berusaha melerai pertengkaran antara kedua anaknya. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Kalau saja berbahasa Indonesia….
Tiba-tiba, suara Norlorn mengeras, “Tidak! Giovani bukan sosok seperti itu!”
“Jika bukan, mana buktinya? Apakah dia menemuimu hari ini? Tidak ‘kan!”
“Nueleth, jangan tekan Norlorn terus!” Tuan Nyvorlas memotong.
“Lalu bagaimana?”
“Percaya padaku, anak manusia keturunan matahari itu bukan seperti pikiranmu.” Tuan Nyvorlas mengusap bahu Kak Nueleth.
“Jaminannya?”
“Ayah berani jamin.”
“Baiklah, aku mempercayai ayah. Tapi jika iya, aku tidak akan memaafkan anak manusia itu dan Taeglyn sialan!” seru Kak Nueleth berapi-api.
“Sudahlah Nueleth, biarkan Norlorn sendiri dulu. Lebih baik kita pulang sekarang.”
“Aku turuti permintaan ayah.” Suara Kak Nueleth terdengar tidak senang dengan keadaan.
“Nanti akan ayah jemput lagi setelah Norlorn tenang.” ucap tuan Nyvorlas.
Aku panik. Segera bersembunyi di balik pintu. Semoga tidak ketahuan. Aku bergumam.
Braakk…!!
Pintu kayu mengenai keningku dengan keras. Membuat kepala sakit. Bagus sekali! Sebentar lagi jidatku akan benjol karena hantaman keras Kak Nueleth membuka pintu. Seharusnya, aku tidak bersembunyi dari balik pintu kalau tidak ingin terkena pukulan maut.
Mata berkunang-kunang, aku seperti melihat Kak Nueleth dan tuan Nyvorlas kembar identik berjalan keluar dari lorong. Kemudian, tak terlihat apapun lagi.
***
“Gigi, bangun…”
Suara itu terdengar sayup. Suara ku kenal, suara pengubah hidupku beberapa waktu lalu. Memanggil namaku berulang-ulang. Aku berusaha membuka mata melihat sosok yang ingin ku temui. Susah payah membuka dalam keadaan masih agak pening akibat benturan.
“Gigi,” Norlorn bergumam pelan. Manik mata seterang biru langit tersebut menatap sedih.
“Kepalaku sakit.”
“Maafkan Kakakku, Gigi.” ucap Norlorn memijat dahiku di pangkuannya.
“Nggak apa-apa, Kak Nueleth nggak sengaja.” Aku berusaha tersenyum, rasa sakit terkena pintu sudah berkurang dibanding sebelumnya.
“Aku sudah merasakan kehadiranmu dari tadi, Gigi.”
“Terima kasih.”
“Aku tahu semua dari Erlan.” Norlorn berkata, tangan dia masih memijat bagian yang sakit.
“Oh ya?”
“Dia mengabariku sesaat setelah Kak Nueleth dan ayah pulang.” Norlorn mengeluarkan gawainya dan menujukkan obrolan dia dengan Erlan.
Jadi Norlorn punya gawai? Sepertinya gawai itu memang gawai pintar layaknya di duniaku.
Sekilas, bentuk dari gawai Norlorn mirip produk buatan perusahaan Steve Jobs keluaran paling baru. Tidak ada tombol hanya layar dan ukurannya begitu tipis. Aku khawatir, kalau tertekuk apakah akan bengkok?
“Kenapa Gigi? Kau kaget aku punya gawai seperti dirimu?”
“Nggak terlalu. Pangeran Tarathiel sudah menjelaskan sebelum aku berangkat.”
“Aku juga sudah bilang, sihir hanya digunakan untuk keadaan terdesak.”
“Ya. Aku sudah mendengar itu berkali-kali.” sahutku bangun dari pangkuan Norlorn.
“Sudah lebih baik?”
“Lumayan.”
“Terima kasih Gigi untuk semua.”
“Terima kasih?”
“Hari ini aku kalah tanding.” Manik mata turkuois dia mengembang, dia menahan tangis.
Aku harus melakukan apa? Aku belum pernah menangani laki-laki menangis.
“Noey, boleh aku ngomong sebentar?”
Norlorn mengangguk, hidungnya mulai berwarna berma. Mudah-mudahan, setelah aku bicara dia jadi lebih tenang.
“Secara simbolik, kamu memang kalah pertandingan. Tapi, aku yakin kamulah pemenang sesungguhnya.”
“Dari mana?”
“Kamu ingat tentang benang merah?”
“Aku ingat. Hanya, apakah benang itu tetap berlaku untuk aku yang sudah kalah?” Mata dia basah.
“Kamu sendiri pernah bilang, setiap makhluk ciptaan Tuhan mempunyai benang merah yang sangat panjang untuk menemukan pasangannya.”
“Ya, memang.”
“Jika aku memang ditakdirkan bersamamu, benang merah itu akan tetap terhubung seberapapun jauh jaraknya dan ada yang berusaha memutusnya.” Aku berceloteh tanpa jeda.
“Tapi kenyataan lain…”
“Aku percaya,”
“Sebenarnya sulit untuk percaya saat ini. Namun, aku akan pasrah.”
“Ke mana Norlorn yang aku kenal?”
“Maaf…”
“Pasrahkan pada Tuhan dan Semesta, Noey.”
“Aku percaya pada kehendak Tuhan.”
“Sebenarnya, aku juga tiba-tiba ragu. Apakah aku juga siap menikah dengan pangeran?”
“Hanya dirimu yang mengerti.” Norlorn mengangkat bahu.
“Lalu, bagaimana dengan anak tidak bersalah di sini?” tunjukku di perut.
Norlorn tersenyum lebar, dia terkikik. “Kamu panik sekali, ya?”
“Hah, maksudnya?”
“Aku tahu dia bohong.” jawab Norlorn.
“Bohong? Apa-apaan!?”
“Dia terlalu menyukaimu. Oleh karena itu, dia mencoba membuat kau panik, Gigi.”
“Hah? Yang benar?”
“Aku serius. Aku juga sudah memberitahu, dia menggunakan kekuasaan untuk egonya.”
Ya ampun! Jadi sebenarnya begitu. Pintar juga akting putra mahkota bungsu. Sampai aku benar-benar percaya ada calon bayi di tuhuh ini. Dia lebih pantas menjadi pemain sinetron daripada penerus tahta.
“Aku benar-benar percaya sampai…”
“Ssssr…”
Norlorn menekan telunjuknya ke bibirku. Kerling mata dia memberi tahu bahwa dirinya sudah lebih tenang. Baguslah kalau Norlorn sudah lebih tenang. Seandainya aku tidak panik, pasti pertandingan tidak akan terjadi. Ditonton seluruh penduduk negeri hanya untuk menyaksikan turnamen diklaim langka.
“Apakah aku harus memenuhi janji dan menaati peraturan menikah dengan pangeran?”
“Sepertinya begitu.” Norlorn mangangguk.
“Aku memang percaya awalnya, tapi setelah kamu bilang begitu jadi ragu.”
“Terkadang kenyataan memang pahit, Gigi.”
“Sekarang aku yang pusing.”
“Kau akan mengetahui jawaban pertanyaanmu nanti.”
“Dari acara pernikahan, begitu?”
“Ya.”
“Bagaimana dong?”
“Itu sudah peraturan, Gigi.”
“Ya sudah kalau memang harus menunggu sampai acara tiba.” Aku menarik napas sesaat, lantas meninggalkan ruangan.
“Mau ke mana, Gigi?”
“Mau pulang ke istana.”
“Kau tidak berjalan kaki ke istana, ‘kan?”
Norlorn bilang benar. Aku tidak kepikiran persoalan itu. Belum tahu aku pulang ke istana bersama siapa. Memang, berangkat bersama pangeran. Bagaimana dengan pulangnya? Siapa yang mengantar?
“Nggak sih. Cuma galau.”
“Jangan galau. Bagaimana kalau pulang bersama?” Norlorn menawarkan.
“Bukannya ayah kamu mau menjemput lagi?”
“Itu soal mudah. Aku akan mengirim pesan daring pada ayah.” Norlorn segera membuka gawai miliknya yang terkunci. Canggih juga. Gawai Norlorn memakai sensor mata. Sedangkan di duniaku paling populer memakai fitur wajah.
“Noey, apa sensor mata itu aman?”
“Pasti. Walaupun mata berwarna sama, tetapi tetap berbeda.”
“Contohnya?”
“Begini, setiap mata berfungsi sebagai identitas.”
“Hmmm… menarik. Kira-kira apa yang membedakan? Di duniaku paling populer cuma fitur wajah.”
“Pupil mata kita seperti sidik jari. Khas dan tidak memiliki corak yang sama.” Norlorn menunjukkan.
“Aku baru tahu ada teknologi begitu.”
“Di sini, sensor mata sudah lama. Barangkali di duniamu ada, tapi belum populer.”
“Sepertinya begitu.” Aku mengangguk.
“Sensor mata juga berguna untuk masuk secara cepat pada akun media sosial.” Norlorn melanjutkan penjelasan.
“Canggih.”
“Cuma teknologi biasa yang memudahkan penduduk negeri ini.” Norlorn mengedip jenaka.
“Iya ya. “
“Aku sudah mengirim pesan ke ayah agar tidak usah menjemputku.”
“Kapan?”
“Tadi. Kau saja yang tidak melihat.” Norlorn menjulurkan lidah.
“Itu dia, aku terlalu fokus sama kecanggihan gawai kamu.”
“Ayah juga sudah membalas, dia mengizinkanku pulang sendiri.”
Norlorn menunjukkan obrolan dari aplikasi daring. Sebagian besar, tulisan itu tidak aku mengerti. Namun, aku paham maksudnya karena ada tanda jempol di dalam balon obrolan ayah Norlorn.
“Kita pulang naik apa?”
“Motor.” Norlorn tersungging.
“Kamu punya motor? Kok nggak bilang?”
“Kau tidak bertanya padaku.”
“Iya sih. Lalu Simurgh?”
“Simurghku tinggal di hutan utara.”
“Kenapa waktu ke wilayah barat nggak naik motor?”
“Motorku dipinjam Erlan.” Norlorn terkekeh.
“Erlan nggak punya motor?”
“Punya.” Dia menyebut
“Kok pinjam kamu?” Alisku naik sebelah.
“Aku juga tidak tahu. Yang pasti, dia sudah bilang hari ini mengembalikan motorku.”
“Sudah berapa lama dipinjam?”
“Hampir satu bulan.” Perkataa Norlorn statis, seakan sudah biasa Erlan meminjam motornya.
“Lama juga.”
Bunyi pendek terdengar dari gawai Norlorn, dia menunduk . Bola mata dia naik turun sekilas pandang. Saat itu Norlorn melenggak. Dia buka mulut, “Ayo pulang. Erlan sudah menunggu di belakang.”
“Kok di belakang?”
“Di depan khusus mobil dan bus.”
“Jadi, pengendara motor parkir di belakang?”
“Ya.”
“Kamu mau pulang dengan baju itu?” tanyaku menunjuk pakaiannya. Lengan panjang berkerah tinggi bernuansa asfar gemerlap bersama buah baju berwarna aswad. Seperti kostum waktu pesta dansa.
“Tentu tidak.”
“Trus?”
Norlorn menjentik jari pada tubuh, kaki, dan sepatu. Sepersekian milisekon, pakaiannya berganti menjadi kemeja tanpa lengan berwarna hitam, jeans, dan boots sewarna kemeja. Menarik. Selera Norlorn bagus juga. Dengan berpakaian begitu, terlihat kekinian dan serasi dengan kulit putih dia.
“Keren.”
“Terima kasih, Gigi.”
“Pedangmu?”
“Itu bukan pedangku, tapi pedang yang disediakan penyelenggara. Setiap peserta yang mengikuti turnamen hanya membawa diri dan hasil latihan. Hahaha….”
“Oh ku kira.”
Digandeng tanganku menuju bagian belakang koloseum. Di sana Erlan sudah menunggu bersama motor bercat magenta. Motor itu lebih keren dibanding film fiksi ilmiah pernah ku tonton. Sulit untuk dijelaskan dengan tulisan karena terlalu keren di mataku. Pastinya, negeri ini peradabannya amat maju.
“Nih,” Erlan menyerahkan sebuah kartu pada Norlorn.
“Terima kasih, Er.”
“Sama-sama. Aku tetap mendukungmu bersama Giovani.” Dia berkata datar.
Erlan juga menyerahkan dua buah kacamata seperti di film fiksi ilmiah pada Norlorn. “Semua sudah lengkap,” Erlan mesem.
“Apa ini, Noey?”
“Kacamata dan helm.”
“Mana helmnya?”
“Kau pakai dulu, baru tahu.” Norlorn menjawab, dia memakai kacamata itu. Tidak ada yang berubah. Katanya helm? Kok tidak kelihatan? Begitu ingin menyentuh rambutnya, ada sebuah selubung bundar keras ku rasakan. Mungkin itu helm transparan.
“Sudah sana, pakai kacamatamu.” Norlorn menyuruh.
Jadi itu fungsinya. Ku kira hanya kacamata biasa, bukan rangkap helm. Erlan tersenyum dan mengucapkan salam perpisahan mirip pangeran tadi sebelum masuk koloseum.
“Kau hati-hati, Noey.”
“Aku akan berhati-hati. Kau pulang naik apa?”
“Taksi daring ke bengkel. Motorku sudah selesai diperbaiki hari ini.” Erlan mengacungkan jempol.
“Aku pamit, Er.”
Norlorn melambaikan tangan sambil menyalakan mesin motor. Motor itu benar-benar luar biasa mengagumkan. Hanya dengan men-tap kartu, mesin motor menyala. Norlorn memintaku duduk di belakang. Knalpot tidak mengeluarkan asap, gantinya menimbulkan bunyi vokoid. Motor berjalan meninggalkan koloseum.
“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan sebentar sebelum sampai di istana. Boleh?”
“Boleh kalau memang kamu ada waktu.”
“Aku tahu tempat bagus. Kau pasti suka.”
“Ya lihat nanti.” balasku dari belakang.
Motor melaju kencang, Xenomorph Coliseum berganti pemandangan. Seperti tadi, terlihat bangunan-bangunan arsitektur modern bercampur abad pertengahan. Yang membedakan, Norlorn melewati daerah yang sejuk. Angin melembang wajah dan motor berhenti di sebuah tempat.
Norlorn mematikan mesin motor. Menggantungkan kacamata di stang berbarengan dengan kacamata ku pakai. Dia berjalan ke perumputan bernuansa jingga. Di tengah-tengah, ada danau berair violet. Norlorn merebahkan diri pada rumput di tepi danau. Tempat apa ini? Aku belum pernah lihat sama sekali. Batinku.
“Dulu, setiap pulang sekolah aku selalu ke sini.” Norlorn angkat bicara. Mata dia memandang danau tenang itu.
“Memangnya, ini tempat apa Noey?”
“Danau ini bernama Clerahm.”
“Apa artinya?”
“Biasanya aku ke sini saat sedang galau.”
“Jadi maksud kamu, artinya danau ini khusus untuk sosok lagi galau?”
“Bukan.” Norlorn bangun. Bersandar di batang pohon samping tempat dia berbaring tadi.
“Jadi apa?”
“Danau ini justru menghilangkan kesedihan. Pohon yang aku sandari saat ini namanya pohon Eakolia.” Norlorn bercerita.
“Ada fungsinya?”
“Ada. Makanya kau jangan jauh-jauh. Sini… duduk dekat aku.” Ajak Norlorn menarik tanganku agar duduk bersamanya.
“Fungsinya pohon ini apa?”
“Buat bersandar.” Norlorn terbahak-bahak.”
“Aku serius!”
“Maaf. Tapi memang itu fungsi utamanya, Gigi.” Norlorn tertawa.
“Aku kira ada fungsi lain,” Aku cemberut, hidungku kembang kempis.
“Sebenarnya sih ada,”
“Yang betul?”
“Ada. Kali ini aku serius. “
“Apa?”
Norlorn berdiri. Memetik dua daun pohon Eakolia dari dahan terendah. Dia mencelupkan dua buah daun ke air danau. Saat itu juga dia memberikan daun Eakolia, menyuruh mengusap daun itu ke wajah. Norlorn melakukan hal sama, setelah diusap, daun Eakolia menghitam.
“Kok hitam, Noey?”
“Bagaimana rasanya?”
“Kalau buatku, segar dan plong.”
“Itulah fungsi sesungguhnya pohon Eaoklia, menghapus semua rasa sedih kau pendam.” Norlorn menerangkan.
“Benar, aku memang lagi sedih tadi.”
“Kau sedih kenapa?”
“Sedih untuk kejadian di Xenomorph Coliseum.”
“Jangan sedih lagi.” Dia menyandarkan kepalaku ke dadanya. Hal ini mungkin tidak akan berlangsung lama.
***
Kerajaan Etchaland, sore hari waktu setempat
Kami sudah sampai di halaman istana. Halaman istana terisi beberapa mobil ku lihat di Xenomorph Coliseum tadi siang. Apa ada perayaan kemenangan pangeran di dalam? Jika iya, siapa yang bertamu? Atau semua mobil ini merupakan milik keluarga istana?
“Kau masuk duluan. Aku mau menaruh motor dulu di garasi.” Norlorn menyuruhku turun sambil melepas kacamata motor.
Aku berjalan masuk ke dalam istana. Terdengar keramaian bak pesta dari pintu. Ku buka pintu istana, bola mataku hampir lepas melihat beberapa sosok laki-laki tak ku kenal memenuhi ruang tamu. Di mana Yang Mulia, ketiga pangeran kerajaan, kedua kakakku, tuan Nyvorlas, dan Kak Nueleth serta pelayan?
Siapa mereka semua? Apakah pangeran kerajaan lain? Jika perayaan kemenangan, harusnya keluarga kerajaan ini ada. Pangeran Deigara, dari kerajaan tetangga juga tidak tampak batang hidungnya.
“Hai sayang…” panggil pangeran bungsu dari sofa. Dia berjalan sempoyongan menghampiriku dari tengah ruang tamu.
Matanya kelihatan memerah, semerbak saguer tercium ke lubang hidung. Kenapa keadaan istana berantakan? Apa yang terjadi di sini?
“Anda mabuk, pangeran?” Aku bertanya, kakiku menjaga jarak.
“Aku tidak mabuk. Aku sedang bersenang-senang merayakan kemenanganku, Giovani.” Dia bicara, badan dia lunglai..
Sebisa mungkin, ku tahan tubuh sang penerus tahta bungsu agar tidak jatuh. Aku paham risiko terjadi nanti, sisi lain dari peristiwa ini tak tega melihat keadaan dia begitu.
“Mana yang lain?”
“Sedang liburan.” jawab dia enteng.
“Apa?!”
“Aku ingin memakai istana selama beberapa hari berdua denganmu…” Pangeran Taeglyn berkata. Dari omongannya sudah tidak masuk di akal.
Ngaco! Siapa yang akan menyiapkan makanan jika tidak ada pelayan? Siapa yang membersihkan semua kamar? Percuma meladeni sosok sedang mabuk.
“Ya… ya, terserah Anda pangeran.” Aku menggiring pangeran kembali ke sofa.
“Giovani, mereka adalah teman-teman bangsawanku.” Pangeran bungsu menceracau di sofa ruang tamu. Kepalanya bersandar di punggung sofa.
Teman-teman pangeran kelihatan bukan sosok baik-baik. Maksudku, bukan jahat tetapi kurang baik untuk dijadikan teman.
“Jadi kau calon istri Taeglyn?” tanya salah satunya. Laki-laki berambut merah menjamah pinggang.
“Jangan macam-macam!” seruku pada laki-laki rambut merah.
“Nona yang galak,” kata yang lain berdecak.
“Memang kenapa?!”
“Jangan galak begitu dong, Nona.” Sosok laki-laki berwarna rambut hitam sedada menggagau daguku.
“Hey, dia milikku, Jorildyn!” Pangeran Taeglyn tambah meranyau.
Bagus! Kondisi semakin tidak nyaman. Dari mana putra bungsu penerus tahta kerajaan menemukan sosok-sosok kelihatan bajingan begini? Karena sosok kaya raya jadi bisa seenaknya dengan perempuan? Bahkan, mereka baru bertemu denganku hari ini.
“Jangan pelit begitu.” Laki-laki berambut warna benhur meraban dari sisi kiri sofa. Dia meneguk sisa bir dari gelas.
“Tidak boleh, Giovani-ku bukan barang, Falael.” Pangeran Taeglyn menggoyangkan jari telunjuk memberi isyarat. Kelopak matanya setengah terbuka.
Beginikah pergaulan para bangsawan dan keluarga kerajaan di sini? Penuh intrik.
“Kenapa tidak boleh?” sambung laki-laki berambut merah yang tadi memegang pinggangku.
“Sudah ku bilang, dia bukan barang Edwyrd.”
“Kau pelit, Taeglyn. Bukankah dulu kita sering berbagi perempuan?”
Berbagi perempuan?! Astaga, maksudnya apa?
“Itu dulu. Aku sudah tidak tertarik berbagi perempuan. Apalagi denganmu!” Pangeran Taeglyn mendelik.
“Kau ini, ada yang bagus tidak membagi pada kami.” Edwyrd geleng kepala.
“Sudahlah, kalian bisa cari sendiri di kelab.” timpal pangeran. Sepertinya pangeran bungsu mulai sadar dari mabuk.
“Kelab membosankan, kami ingin manusia seperti punyamu.”
“Kenapa kalian tidak cari saja manusia lain?” Pangeran Taeglyn tersenyum mengusap dagunya.
“Malas.” Falael mencibir.
“Ya sudah, jangan iri padaku.” Pangeran Taeglyn terkulai, matanya terpejam.
Dia pingsan? Teman-temannya diam saja? Ke mana hati nurani tiga laki-laki itu?
Semakin lama, ketiga teman pangeran bungsu membuat risih. Benar-benar ngeri mendengarnya obrolan mereka. Hal-hal tidak sesuai norma dianggap biasa oleh teman-teman pangeran bungsu. Berbagi perempuan contohnya. Hidup foya-foya adalah keseharian mereka.
Pergaulan amat bebas, berbuat suka-suka tanpa memikirkan akibat ke depan. Negeri sedamai ini ternyata bukan tanpa sisi gelap, para bangsawan dan keluarga istana juga ada sisi tak baik dijadikan panutan. Contoh secara nyata ku lihat sekarang. Pangeran Taeglyn dan teman-temannya.
Aku harus pergi dari sini. Tidak ingin ku dengar lagi pembacaraan menjijikkan yang keluar dari mereka. Di mana Norlorn? Kenapa dia tidak kembali?
Aku melirik pintu istana. Norlorn belum kelihatan. Dia bukannya cuma menaruh motor? Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Norlorn. Soalnya, durasi sudah terlalu lama. Aku juga tidak tahu di mana garasi istana. Namun, tidak mungkin selama itu jika hanya menaruh motor.
“Ada apa denganmu, Giovani?” Pangeran Taeglyn memperhatikanku. Dia berbicara setengah sadar.
“Nggak ada apa-apa.”
Apa gunanya kalau aku bilang sedang menunggu Norlorn? Tetap tidak didengarkan.
“Apa yang kau sembunyikan dariku, Giovani?”
“Saya ingin istirahat.” Aku menjawab. Bangun dari sofa, berusaha pergi dari ruang tamu busuk.
“Kau mau ke mana?” Pangeran Taeglyn menarik tanganku. Dia membuat aku tersungkur kembali ke sofa.
“Saya sudah bilang ingin istirahat!”
“Istirahat di sini saja bersama kami.” Salah satu dari mereka menatap jalang. Begitu mengerikan. Mereka seperti harimau kelaparan menemukan mangsa.
Norlorn, di mana kau? Aku takut…
Aku gemetaran. Apa yang akan mereka lakukan ? Jangan sampai kejadian beberapa tahun silam terulang. Beberapa orang laki-laki memaksa dan merebut “semua”nya dariku.
“Kau mau apa, Falael?!” seru sebuah suara keras dari pintu istana.
Ketiga laki-laki berambut nyentrik terperanjat, tidak terkecuali sang penerus tahta kerajaan yang belum sepenuhnya sadar. Norlorn berlari ke ruang tamu. Dia melabrak Falael, mengunci lengan si laki-laki berambut benhur.
Falael sempat memberontak dan melakukan perlawanan. Sayang sekali, si panglima muda lebih cepat menghindar seraya melakukan pengamanan.
“Jangan harap kau bisa buat kekacauan di kerajaan Etchaland!” Norlorn mengancam. Dia mencabut pisau dari selongsong di pinggangnya, menodongkan pada Falael.
Falael tidak berkutik, akhirnya menyerah. Norlorn menggiring Falael keluar istana. “Sebaiknya kalian cepat pergi dari sini, Jorildyn dan kau, Edwyrd!” Vokal Norlorn lantang. Kalau aku di posisi Jorildyn dan Edwyrd, lebih baik pergi sebelum berurusan dengan hukum dan masuk penjara.
Norlorn memberi peringatan kedua pada sosok tengah tertunduk, “Kali ini, aku maafkan kalian.” Edwyrd dan Jorildyn membatu. Tidak ada satu kata keluar dari mulut mereka. Norlorn menyambung perkataan, “jangan sampai aku melakukan kekerasan!”
Edwyrd dan Jorildyn tetap menunduk. Tak berani melihat panglima muda kerajaan yang sedang memperingati ulah keduanya di ruang tamu. Sama seperti Falael, Edwyrd dan Jorildyn digiring keluar istana.
Norlorn menutup pintu lalu mengunci. Mata dia melihat pemandangan ruang tamu, sorot mata birunya memperlihatkan rasa prihatin atas apa yang terjadi di istana. Pangeran bungsu masih terkulai di sofa, kelihatan narkosis.
“Kenapa kau mengusir semua temanku, Norl!” Pangeran Taeglyn mengedau. Dia masih mabuk.
Norlorn menghampiri saudaranya, “Kau yang apa-apaan?!” Kedua tangan Norlorn menganeksasi kerah kemeja pangeran.
“Aku?! Giovani sebentar lagi menjadi milikku. Aku berhak atas dirinya!” Pangeran Taeglyn menyanyah. Keadaan dia amat mengasihankan. Begitu berantakan seperti ruang tamu, kacau.
“Berhak?! Kau masih calon suaminya, belum resmi!” Norlorn menengking. Cengkeraman tangan dia begitu ambivalensi. .
“Kau tahu apa?” Jemari telunjuk dia menunjuk Norlorn, lalu lejar.
“Aku tahu, aku yang lebih mengenal Giovani dibanding kau!”
“Noey, sudah. Jangan emosi. Percuma, dia lagi mabuk.” Aku frustrasi. Norlorn mengendurkan cengkeraman.
“Kalau tidak ada kau, entah apa yang terjadi dengan dia dan aku.” Norlorn sudah sadar dari amarah. Mengucap sebuah kalimat tak ku tahu artinya. Mungkin, sebuah kalimat penahan kemarahan atau mohon ampun pada Tuhan.
“Bawa ke kamarnya saja. Habis ini, aku mau coba bereskan ruang tamu sebelum yang lain pulang.”
Aku hampir mati kejat seandainya Norlorn tidak masuk istana tepat waktu. Sedikit saja dia terlambat, entah bagaimana keadaanku setelah itu. Makin terhina… atau benar-benar mati di tangan makhluk asing?
“Yang lain tidak akan pulang hari ini.” Norlorn berkata. Bahana dia kedengaran lesu.
“Nggak pulang!?”
“Aku diberitahu oleh paman, semua keluarga istana pulang sehari sebelum pernikahanmu.” jawab Norlorn. Dia juga tampak patah arang.
Jadi, aku hanya tinggal bertiga di sana? Kacau!
“Aku sendiri nggak tahu kapan acara pernikahanku.”
“Satu minggu lagi.” sahut Norlorn.
“Semua keperluanku harus diurus sendiri, begitu?”
“Ya memang begitu peraturannya, Gigi.”
“Aku membereskan kamar, memasak sendiri?”
Norlorn mengangguk. Anggukan itu sudah cukup untuk membungkam mulut. Tempat sebesar ini harus aku bereskan sendiri? Mustahil. Istana ini tiga puluh kali lipat luasnya dibanding rumah ayah di Jakarta.
“Aku paham, kau pasti belum terbiasa. Anggap saja olahraga melangsingkan tubuh.” Norlorn cekikikan. Dia menertawakan ekspresi keterkejutan dari wajah tadi. Yah, lebih tepat aku takut. Takut tidak sanggup membersihkan istana seluas ini sendiri.
“Jangan takut, aku akan membantumu.” Dia bergerak ke belakang, melekap pinggang. Dekapan ku rindu. Karena, sebentar lagi tidak akan merasakan ini dari Norlorn. Aku lihat dia lebih intim, tampangnya mendekat sampai tidak ada jarak. Bibirnya memberi kecupan di dahi.
“Semangat!” Dia menggenggam tanganku. Genggaman Norlorn membangkitkan antusias untuk menyambut esok hari sampai hari sakral dan penantian tiba.
H-1 menjelang pernikahan
Pagi hari, pukul 8 waktu setempat
Selama aku di sini, banyak hal ku pelajari. Bahwa kehidupan istana tidak semenarik yang diceritakan dongeng. Kehidupan seluruh anggotakeluarga juga berjalan biasa saja. Khususnya, Norlorn dan pangeran bungsu. Memang, terlihat prestis dan glamor.
Tapi di balik itu, kehidupan istana sama seperti kehidupan kita semua. Ada masanya harus menyelesaikan keperluanmu sendiri, ada keperluan harus dibantu.
Aku juga begitu. Mengira semua keperluan akan dilayani pelayan bak tamu kehormatan. Namun nyatanya tidak. Dari kita untuk diri kita. Tidak harus mengandalkan pelayan melulu. Jika kau bisa mengerjakan, kenapa meminta bantuan?
Membersihkan istana sebenarnya tidak sesulit ku bayangkan. Saling membantu, kunci utama agar istana tetap terjaga kebersihannya. Aku, Norlorn dan pangeran sudah berusaha semampu kami menjaga kebersihan selama yang lain tidak ada. Memang tidak mudah menjaga kekompakan kami sampai semua pulang.
Ada pertengkaran kecil kami dalam istana, itu hal biasa. Semua akan kembali setelah di meja makan. Hihihi…
Pangeran bungsu juga tidak seburuk ku kira jika ditinggal pergi selama beberapa hari. Justru, dia menjadi koki andalan memasak makan pagi hingga malam kami semua. Masakan dia tidak kalah lezat dengan buatan Adome. Pertengkaran di pagi hari, akan menguap begitu saja saat berhadapan dengan masakan pangeran bungsu pada siang harinya.
“Gigi!” panggil Norlorn dari sofa ruang tamu.
Aku menengok, “Ya, ada apa?”
“Kabar baik.”
“Kenapa, Noey?”
“Semuanya sebentar lagi akan sampai di istana.” jawab Norlorn riang.
“Kalau gitu, ayo kita sambut semua.” kataku bersemangat lari ke sofa.
“Mandi dan ganti baju dulu, dong. Masa kau menyambut pakai piyama? Norlorn mencubit pipiku gemas.
“Ya sudah, aku mandi dulu.” Aku setengah berlari ke sebelah dapur. Menekan tombol lift naik ke lantai dua.
Aku sendiri baru mengetahui istana ini ada lift setelah membantu pangeran bungsu ke kamarnya saat mabuk beberapa hari lalu sebelum mulai melayani diri sendiri di istana. Bukan cuma puluhan anak tangga bergaya klasik, istana ini memang tidak biasa dan sangat futuristik. Luarnya saja bergaya medieval.
“Aku juga mau mandi dan memberitahukan pada Taeglyn, semuanya sedang dalam perjalanan kembali.” Norlorn berbicara padaku beberapa saat sebelum pintu lift menutup.
Di lantai dua, Norlorn sudah sampai dan masuk ke kamarnya. Aku juga masuk ke kamar untuk mandi pagi. Berbanding terbalik, di desa aku selalu mandi malam. tidak ada rasa senyaman mandi pagi di istana.
Habis mandi dan berganti baju, aku keluar dari kamar menuruni tangga ke lantai dasar. Di ruang tamu sudah ada Norlorn dan pangeran bungsu sedang dalam kegiatan masing-masing. Pangeran dengan laptopnya, Norlorn membaca sebuah buku tebal. Rasa ingin tahu menggoda untuk bertanya.
“Selamat pagi.”
“Selamat pagi, Giovani.” Norlorn memberi retorsi, pangeran bungsu ikut menyertai salam.
“Kalian lagi pada ngapain?”
“Ke sini dong biar tahu.” Norlorn bercakap, memanggilku segera berkumpul di ruang tamu.
Aku ke ruang tamu, duduk di sofa kosong. Walau sofa tidak terlalu dekat dengan posisi Norlorn dan pangeran, aku dapat melihat lebih jelas kegiatan mereka. Yang membuat penasaran justru kegiatan pangeran. Dia sama sekali tak bergerak, hanya terdengar bunyi pelan papan ketik laptop. Kelihatannya sedang menulis. Pertanyaannya, pangeran sedang menulis apa?
Badanku condong ke depan, berusaha melihat apa tulisan pangeran. Pangeran Taeglyn menengok, “Kau kenapa? Kalau ingin lihat duduk di sebelahku. Bukan membuat badanmu ke depan.”
Aku kemalu-maluan, pangeran bungsu benar. Kalau ingin melihat apa yang dia kerjakan langkah paling benar adalah duduk di sebelahnya, bukan menyusahkan diri sendiri. Posisi duduk ku geser di sebelahnya, melihat layar laptop di sebelahku.
Pangeran rupanya sedang menulis cerita. Yang menarik adalah, cerita dia tulis menggunakan bahasa Inggris. Bukan bahasa negeri ini. Walau aku sendiri, tidak begitu paham cerita apa dia tulis, namun cerita dia buat seperti kegiatannya sehari-hari. Aku cuma menebak, karena ada nama Norlorn dan aku di sana dan tanggal yang tertulis hari ini.
“Itu apa?”
“Jurnal elektronik.” jawab dia singkat.
“Anda blogger?”
“Bisa dibilang begitu.” Pangeran mengangguk sebentar, kemudian melanjutkan tulisannya.
Ternyata, pangeran yang satu ini adalah blogger. Laman elektronik dia terkesan ekslusif dan elegan bernuansa warna kalem. Pengikut bloggernya sudah jutaan, bak aktris kekinian dan selebgram lokal di negaraku.
“Kapan-kapan, ajari saya jadi blogger. Boleh?”
“Jadi penulis jurnal elektronik itu mudah, Giovani.”
“Masa?”
“Yang tidak mudah, menjaga konsistensi.” Pangeran tersenyum depan layar.
“Iya juga. Apalagi kalau di desa, koneksi macet.”
“Makanya, kau pindah dong ke lokasi lain.” Norlorn menyelang.
“Rencananya aku juga mau kembali ke Tokyo.”
“Semangat. Pasti kau pulang nanti,”
“Aamiin…”
Perbincangan kami terhenti tatkala mendengar suara gerbang istana terbuka dan beberapa mobil masuk ke pekarangan. Kami bertiga langsung membuka pintu istana dan berlari ke teras. Menyambut keluarga istana pulang pagi ini.
Mobil-mobil itu tertib memasuki garasi, disusul minivan dikendarai oleh Adome. Seru! Satu kata untuk situasi pagi hari ini. Tertib, rapi, dan unik modelnya. Tidak ada di negeriku atau duniaku. Beberapa mobil berjenis mobil sport futurologis. Keren!
Keadaan sudah kembali seperti semula. Sosok-sosok ku rindukan telah keluar dari garasi, semua pulang dalam keaadan sehat dan selamat. Pangeran Taeglyn menyongsong Yang Mulia ke halaman. Aku dan Norlorn saling berpandangan, tersenyum melihat keakraban seluruh keluarga kerajaan. Tidak terkecuali, Kak Hikaru dengan Kak Reira bersama keempat pangeran.
“Kerja bagus anak-anak.” Senyum sang raja tersungging, dia mengangkat dua jempol dengan hasil pekerjaan kami.
“Terima kasih, paman.” Norlorn mesem.
“Aku juga, ayah.” Pangeran Taeglyn menunjuk diri.
“Iya, ayah percaya kau.” Yang Mulia menjawil hidung anak bungsu disertai senyuman lebar. Pangeran bungsu terkikik di samping sang ayah. Ketiga kakaknya hanya tersenyum diiringi geleng kepala.
Yang Mulia menghampiri kami berdua di teras istana bersama yang lain. Dia menyodorkan gulungan kertas berwarna cokelat pada kami. Lalu berkata, “Selamat, kalian sudah lulus ujian.”
Dahi Norlorn berkerut, aku juga. Ada apa sebenarnya?
“Lulus ujian?!” Aku dan Norlorn bicara bersamaan.
“Kalian berdua kompak sekali.” Yang Mulia mengedip sebelah mata.
“Ujian apa, paman?”
“Yang pertama, kalian begitu kompak membersihkan istana. Kedua, Norlorn sudah menjaga keamanan istana. Untukmu Giovani, kau berhasil menjaga kekompakan selama kami tidak ada.” Yang mulia menerangkan tanpa jeda. Dia mengerling pada kami, senyuman paling lebar yang baru aku lihat.
“Aku tidak mengerti, paman.” Norlorn menaikkan kedua alisnya.
“Kalian buka saja gulungan kertasnya. Semua jawaban sudah ada di dalam.”
Norlorn membuka gulungan kertas secara perlahan. Mata Norlorn bergerak dari atas ke bawah seperti mesin pemindai. Kemudian, dia tersenyum penuh rahasia. Apa sih isi gulungan itu? Kenapa roman Norlorn berubah? Dia tampak cerah.
“Jangan pelukan dulu ya. Sabar satu hari.” sahut Kak Hikaru terpingkal, diikuti anggukan seluruh keluarga kerajaan.
“Maksudnya apa sih?”
Norlorn tersipu, “Besok kita ‘kan menikah.”
Aku ternganga. Menikah? Aku pasti bermimpi. Bukankah pangeran bungsu yang akan jadi mempelai pria? Kok berubah jadi Norlorn?
“Maaf paman, kami terlambat.” Terdengar suara dari kejauhan.
Ada tiga laki-laki memasuki halaman istana, menghampiri Yang Mulia. Yang Mulia merangkul tiga laki-laki itu. Mataku melotot, mereka adalah teman dari pangeran bungsu. Kenapa mereka di sini?
“Terima kasih untuk kerja sama kalian, Edwyrd, Jorildyn, dan Falael.” Yang Mulia melakukan tos bersama mereka.
Kok begini?
“Sama-sama. Kami senang bisa membantu paman Morgan.” kata Falael.
“K-kk-alian?”
“Selamat ya, Nowy dan Giovani.”
Secara bergantian mereka menyalami Norlorn dan aku. Jangan-jangan, ini semua adalah…
“Tidak sia-sia aku banyak minum untuk meyakinkan Giovani dan Norlorn.” Pangeran bungsu mengacungkan tanda perdamaian.
“Hey, aku juga. Sepulang dari istana, jasa pijat tersewa untuk tanganku.” Falael terbahak.
“Maaf anak-anak, aku baru memberitahu kalian.” sambung Yang Mulia.
“Memberitahu apa, paman?”
“Sebenarnya ini adalah rencanaku untuk memastikan apakah kalian layak menjadi pasangan suami istri atau tidak.” Yang Mulia menjawab santai.
“Maaf jika saya menyela. Kalau saya dan Norlorn menikah, bagaimana dengan pangeran?”
“Giovani, aku memang menyukaimu. Tapi… hati tidak bisa dipaksa. Oleh karena itu, aku memilih mundur setelah turnamen. Aku ingin membuat pengakuan jujur.”
Pernyataan pangeran bungsu begitu mengejutkan. Dia mundur? Bagaimana dengan perjanjian sebelumnya?
“Pengakuan?”
“Untuk soal di kamar, maaf membuatmu panik. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu.”
“Saya sudah memaafkan pangeran. Jujur lebih baik daripada tidak sama sekali.”
“Aku paham, kau dan Giovani saling menyayangi. Maka, aku menyusun rencana ini untuk melihat kesungguhan kalian.” Dialog Yang Mulia pada Norlorn menjawab pikiran sempat mengganjal hati.
“Terima kasih paman dan semuanya.”
“Jaga Giovani untukku, Norl.” Pangeran bungsu memeluk Norlorn. Suasana haru menyelimuti kedua laki-laki di sampingku. Sukacita, harapan melebur di istana. Tak ku sangka, kepasrahan berbuah manis.
Aku mendapat pelajaran baru tentang ikhlas dan pasrah. Pasrah untuk semua keputusan serta mengikhlaskan diri pada Tuhan dan Semesta memilihkan jalan terbaik dalam hidupku. Inilah hasilnya, aku dapat bersanding dengan sosok ku sayangi, Norlorn.
Kami sudah sampai di halaman istana. Halaman istana terisi beberapa mobil ku lihat di Xenomorph Coliseum tadi siang. Apa ada perayaan kemenangan pangeran di dalam? Jika iya, siapa yang bertamu? Atau semua mobil ini merupakan milik keluarga istana?
“Kau masuk duluan. Aku mau menaruh motor dulu di garasi.” Norlorn menyuruhku turun sambil melepas kacamata motor.
Aku berjalan masuk ke dalam istana. Terdengar keramaian bak pesta dari pintu. Ku buka pintu istana, bola mataku hampir lepas melihat beberapa sosok laki-laki tak ku kenal memenuhi ruang tamu. Di mana Yang Mulia, ketiga pangeran kerajaan, kedua kakakku, tuan Nyvorlas, dan Kak Nueleth serta pelayan?
Siapa mereka semua? Apakah pangeran kerajaan lain? Jika perayaan kemenangan, harusnya keluarga kerajaan ini ada. Pangeran Deigara, dari kerajaan tetangga juga tidak tampak batang hidungnya.
“Hai sayang…” panggil pangeran bungsu dari sofa. Dia berjalan sempoyongan menghampiriku dari tengah ruang tamu.
Matanya kelihatan memerah, semerbak saguer tercium ke lubang hidung. Kenapa keadaan istana berantakan? Apa yang terjadi di sini?
“Anda mabuk, pangeran?” Aku bertanya, kakiku menjaga jarak.
“Aku tidak mabuk. Aku sedang bersenang-senang merayakan kemenanganku, Giovani.” Dia bicara, badan dia lunglai..
Sebisa mungkin, ku tahan tubuh sang penerus tahta bungsu agar tidak jatuh. Aku paham risiko terjadi nanti, sisi lain dari peristiwa ini tak tega melihat keadaan dia begitu.
“Mana yang lain?”
“Sedang liburan.” jawab dia enteng.
“Apa?!”
“Aku ingin memakai istana selama beberapa hari berdua denganmu…” Pangeran Taeglyn berkata. Dari omongannya sudah tidak masuk di akal.
Ngaco! Siapa yang akan menyiapkan makanan jika tidak ada pelayan? Siapa yang membersihkan semua kamar? Percuma meladeni sosok sedang mabuk.
“Ya… ya, terserah Anda pangeran.” Aku menggiring pangeran kembali ke sofa.
“Giovani, mereka adalah teman-teman bangsawanku.” Pangeran bungsu menceracau di sofa ruang tamu. Kepalanya bersandar di punggung sofa.
Teman-teman pangeran kelihatan bukan sosok baik-baik. Maksudku, bukan jahat tetapi kurang baik untuk dijadikan teman.
“Jadi kau calon istri Taeglyn?” tanya salah satunya. Laki-laki berambut merah menjamah pinggang.
“Jangan macam-macam!” seruku pada laki-laki rambut merah.
“Nona yang galak,” kata yang lain berdecak.
“Memang kenapa?!”
“Jangan galak begitu dong, Nona.” Sosok laki-laki berwarna rambut hitam sedada menggagau daguku.
“Hey, dia milikku, Jorildyn!” Pangeran Taeglyn tambah meranyau.
Bagus! Kondisi semakin tidak nyaman. Dari mana putra bungsu penerus tahta kerajaan menemukan sosok-sosok kelihatan bajingan begini? Karena sosok kaya raya jadi bisa seenaknya dengan perempuan? Bahkan, mereka baru bertemu denganku hari ini.
“Jangan pelit begitu.” Laki-laki berambut warna benhur meraban dari sisi kiri sofa. Dia meneguk sisa bir dari gelas.
“Tidak boleh, Giovani-ku bukan barang, Falael.” Pangeran Taeglyn menggoyangkan jari telunjuk memberi isyarat. Kelopak matanya setengah terbuka.
Beginikah pergaulan para bangsawan dan keluarga kerajaan di sini? Penuh intrik.
“Kenapa tidak boleh?” sambung laki-laki berambut merah yang tadi memegang pinggangku.
“Sudah ku bilang, dia bukan barang Edwyrd.”
“Kau pelit, Taeglyn. Bukankah dulu kita sering berbagi perempuan?”
Berbagi perempuan?! Astaga, maksudnya apa?
“Itu dulu. Aku sudah tidak tertarik berbagi perempuan. Apalagi denganmu!” Pangeran Taeglyn mendelik.
“Kau ini, ada yang bagus tidak membagi pada kami.” Edwyrd geleng kepala.
“Sudahlah, kalian bisa cari sendiri di kelab.” timpal pangeran. Sepertinya pangeran bungsu mulai sadar dari mabuk.
“Kelab membosankan, kami ingin manusia seperti punyamu.”
“Kenapa kalian tidak cari saja manusia lain?” Pangeran Taeglyn tersenyum mengusap dagunya.
“Malas.” Falael mencibir.
“Ya sudah, jangan iri padaku.” Pangeran Taeglyn terkulai, matanya terpejam.
Dia pingsan? Teman-temannya diam saja? Ke mana hati nurani tiga laki-laki itu?
Semakin lama, ketiga teman pangeran bungsu membuat risih. Benar-benar ngeri mendengarnya obrolan mereka. Hal-hal tidak sesuai norma dianggap biasa oleh teman-teman pangeran bungsu. Berbagi perempuan contohnya. Hidup foya-foya adalah keseharian mereka.
Pergaulan amat bebas, berbuat suka-suka tanpa memikirkan akibat ke depan. Negeri sedamai ini ternyata bukan tanpa sisi gelap, para bangsawan dan keluarga istana juga ada sisi tak baik dijadikan panutan. Contoh secara nyata ku lihat sekarang. Pangeran Taeglyn dan teman-temannya.
Aku harus pergi dari sini. Tidak ingin ku dengar lagi pembacaraan menjijikkan yang keluar dari mereka. Di mana Norlorn? Kenapa dia tidak kembali?
Aku melirik pintu istana. Norlorn belum kelihatan. Dia bukannya cuma menaruh motor? Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Norlorn. Soalnya, durasi sudah terlalu lama. Aku juga tidak tahu di mana garasi istana. Namun, tidak mungkin selama itu jika hanya menaruh motor.
“Ada apa denganmu, Giovani?” Pangeran Taeglyn memperhatikanku. Dia berbicara setengah sadar.
“Nggak ada apa-apa.”
Apa gunanya kalau aku bilang sedang menunggu Norlorn? Tetap tidak didengarkan.
“Apa yang kau sembunyikan dariku, Giovani?”
“Saya ingin istirahat.” Aku menjawab. Bangun dari sofa, berusaha pergi dari ruang tamu busuk.
“Kau mau ke mana?” Pangeran Taeglyn menarik tanganku. Dia membuat aku tersungkur kembali ke sofa.
“Saya sudah bilang ingin istirahat!”
“Istirahat di sini saja bersama kami.” Salah satu dari mereka menatap jalang. Begitu mengerikan. Mereka seperti harimau kelaparan menemukan mangsa.
Norlorn, di mana kau? Aku takut…
Aku gemetaran. Apa yang akan mereka lakukan ? Jangan sampai kejadian beberapa tahun silam terulang. Beberapa orang laki-laki memaksa dan merebut “semua”nya dariku.
“Kau mau apa, Falael?!” seru sebuah suara keras dari pintu istana.
Ketiga laki-laki berambut nyentrik terperanjat, tidak terkecuali sang penerus tahta kerajaan yang belum sepenuhnya sadar. Norlorn berlari ke ruang tamu. Dia melabrak Falael, mengunci lengan si laki-laki berambut benhur.
Falael sempat memberontak dan melakukan perlawanan. Sayang sekali, si panglima muda lebih cepat menghindar seraya melakukan pengamanan.
“Jangan harap kau bisa buat kekacauan di kerajaan Etchaland!” Norlorn mengancam. Dia mencabut pisau dari selongsong di pinggangnya, menodongkan pada Falael.
Falael tidak berkutik, akhirnya menyerah. Norlorn menggiring Falael keluar istana. “Sebaiknya kalian cepat pergi dari sini, Jorildyn dan kau, Edwyrd!” Vokal Norlorn lantang. Kalau aku di posisi Jorildyn dan Edwyrd, lebih baik pergi sebelum berurusan dengan hukum dan masuk penjara.
Norlorn memberi peringatan kedua pada sosok tengah tertunduk, “Kali ini, aku maafkan kalian.” Edwyrd dan Jorildyn membatu. Tidak ada satu kata keluar dari mulut mereka. Norlorn menyambung perkataan, “jangan sampai aku melakukan kekerasan!”
Edwyrd dan Jorildyn tetap menunduk. Tak berani melihat panglima muda kerajaan yang sedang memperingati ulah keduanya di ruang tamu. Sama seperti Falael, Edwyrd dan Jorildyn digiring keluar istana.
Norlorn menutup pintu lalu mengunci. Mata dia melihat pemandangan ruang tamu, sorot mata birunya memperlihatkan rasa prihatin atas apa yang terjadi di istana. Pangeran bungsu masih terkulai di sofa, kelihatan narkosis.
“Kenapa kau mengusir semua temanku, Norl!” Pangeran Taeglyn mengedau. Dia masih mabuk.
Norlorn menghampiri saudaranya, “Kau yang apa-apaan?!” Kedua tangan Norlorn menganeksasi kerah kemeja pangeran.
“Aku?! Giovani sebentar lagi menjadi milikku. Aku berhak atas dirinya!” Pangeran Taeglyn menyanyah. Keadaan dia amat mengasihankan. Begitu berantakan seperti ruang tamu, kacau.
“Berhak?! Kau masih calon suaminya, belum resmi!” Norlorn menengking. Cengkeraman tangan dia begitu ambivalensi. .
“Kau tahu apa?” Jemari telunjuk dia menunjuk Norlorn, lalu lejar.
“Aku tahu, aku yang lebih mengenal Giovani dibanding kau!”
“Noey, sudah. Jangan emosi. Percuma, dia lagi mabuk.” Aku frustrasi. Norlorn mengendurkan cengkeraman.
“Kalau tidak ada kau, entah apa yang terjadi dengan dia dan aku.” Norlorn sudah sadar dari amarah. Mengucap sebuah kalimat tak ku tahu artinya. Mungkin, sebuah kalimat penahan kemarahan atau mohon ampun pada Tuhan.
“Bawa ke kamarnya saja. Habis ini, aku mau coba bereskan ruang tamu sebelum yang lain pulang.”
Aku hampir mati kejat seandainya Norlorn tidak masuk istana tepat waktu. Sedikit saja dia terlambat, entah bagaimana keadaanku setelah itu. Makin terhina… atau benar-benar mati di tangan makhluk asing?
“Yang lain tidak akan pulang hari ini.” Norlorn berkata. Bahana dia kedengaran lesu.
“Nggak pulang!?”
“Aku diberitahu oleh paman, semua keluarga istana pulang sehari sebelum pernikahanmu.” jawab Norlorn. Dia juga tampak patah arang.
Jadi, aku hanya tinggal bertiga di sana? Kacau!
“Aku sendiri nggak tahu kapan acara pernikahanku.”
“Satu minggu lagi.” sahut Norlorn.
“Semua keperluanku harus diurus sendiri, begitu?”
“Ya memang begitu peraturannya, Gigi.”
“Aku membereskan kamar, memasak sendiri?”
Norlorn mengangguk. Anggukan itu sudah cukup untuk membungkam mulut. Tempat sebesar ini harus aku bereskan sendiri? Mustahil. Istana ini tiga puluh kali lipat luasnya dibanding rumah ayah di Jakarta.
“Aku paham, kau pasti belum terbiasa. Anggap saja olahraga melangsingkan tubuh.” Norlorn cekikikan. Dia menertawakan ekspresi keterkejutan dari wajah tadi. Yah, lebih tepat aku takut. Takut tidak sanggup membersihkan istana seluas ini sendiri.
“Jangan takut, aku akan membantumu.” Dia bergerak ke belakang, melekap pinggang. Dekapan ku rindu. Karena, sebentar lagi tidak akan merasakan ini dari Norlorn. Aku lihat dia lebih intim, tampangnya mendekat sampai tidak ada jarak. Bibirnya memberi kecupan di dahi.
“Semangat!” Dia menggenggam tanganku. Genggaman Norlorn membangkitkan antusias untuk menyambut esok hari sampai hari sakral dan penantian tiba.
***
H-1 menjelang pernikahan
Pagi hari, pukul 8 waktu setempat
Selama aku di sini, banyak hal ku pelajari. Bahwa kehidupan istana tidak semenarik yang diceritakan dongeng. Kehidupan seluruh anggotakeluarga juga berjalan biasa saja. Khususnya, Norlorn dan pangeran bungsu. Memang, terlihat prestis dan glamor.
Tapi di balik itu, kehidupan istana sama seperti kehidupan kita semua. Ada masanya harus menyelesaikan keperluanmu sendiri, ada keperluan harus dibantu.
Aku juga begitu. Mengira semua keperluan akan dilayani pelayan bak tamu kehormatan. Namun nyatanya tidak. Dari kita untuk diri kita. Tidak harus mengandalkan pelayan melulu. Jika kau bisa mengerjakan, kenapa meminta bantuan?
Membersihkan istana sebenarnya tidak sesulit ku bayangkan. Saling membantu, kunci utama agar istana tetap terjaga kebersihannya. Aku, Norlorn dan pangeran sudah berusaha semampu kami menjaga kebersihan selama yang lain tidak ada. Memang tidak mudah menjaga kekompakan kami sampai semua pulang.
Ada pertengkaran kecil kami dalam istana, itu hal biasa. Semua akan kembali setelah di meja makan. Hihihi…
Pangeran bungsu juga tidak seburuk ku kira jika ditinggal pergi selama beberapa hari. Justru, dia menjadi koki andalan memasak makan pagi hingga malam kami semua. Masakan dia tidak kalah lezat dengan buatan Adome. Pertengkaran di pagi hari, akan menguap begitu saja saat berhadapan dengan masakan pangeran bungsu pada siang harinya.
“Gigi!” panggil Norlorn dari sofa ruang tamu.
Aku menengok, “Ya, ada apa?”
“Kabar baik.”
“Kenapa, Noey?”
“Semuanya sebentar lagi akan sampai di istana.” jawab Norlorn riang.
“Kalau gitu, ayo kita sambut semua.” kataku bersemangat lari ke sofa.
“Mandi dan ganti baju dulu, dong. Masa kau menyambut pakai piyama? Norlorn mencubit pipiku gemas.
“Ya sudah, aku mandi dulu.” Aku setengah berlari ke sebelah dapur. Menekan tombol lift naik ke lantai dua.
Aku sendiri baru mengetahui istana ini ada lift setelah membantu pangeran bungsu ke kamarnya saat mabuk beberapa hari lalu sebelum mulai melayani diri sendiri di istana. Bukan cuma puluhan anak tangga bergaya klasik, istana ini memang tidak biasa dan sangat futuristik. Luarnya saja bergaya medieval.
“Aku juga mau mandi dan memberitahukan pada Taeglyn, semuanya sedang dalam perjalanan kembali.” Norlorn berbicara padaku beberapa saat sebelum pintu lift menutup.
Di lantai dua, Norlorn sudah sampai dan masuk ke kamarnya. Aku juga masuk ke kamar untuk mandi pagi. Berbanding terbalik, di desa aku selalu mandi malam. tidak ada rasa senyaman mandi pagi di istana.
Habis mandi dan berganti baju, aku keluar dari kamar menuruni tangga ke lantai dasar. Di ruang tamu sudah ada Norlorn dan pangeran bungsu sedang dalam kegiatan masing-masing. Pangeran dengan laptopnya, Norlorn membaca sebuah buku tebal. Rasa ingin tahu menggoda untuk bertanya.
“Selamat pagi.”
“Selamat pagi, Giovani.” Norlorn memberi retorsi, pangeran bungsu ikut menyertai salam.
“Kalian lagi pada ngapain?”
“Ke sini dong biar tahu.” Norlorn bercakap, memanggilku segera berkumpul di ruang tamu.
Aku ke ruang tamu, duduk di sofa kosong. Walau sofa tidak terlalu dekat dengan posisi Norlorn dan pangeran, aku dapat melihat lebih jelas kegiatan mereka. Yang membuat penasaran justru kegiatan pangeran. Dia sama sekali tak bergerak, hanya terdengar bunyi pelan papan ketik laptop. Kelihatannya sedang menulis. Pertanyaannya, pangeran sedang menulis apa?
Badanku condong ke depan, berusaha melihat apa tulisan pangeran. Pangeran Taeglyn menengok, “Kau kenapa? Kalau ingin lihat duduk di sebelahku. Bukan membuat badanmu ke depan.”
Aku kemalu-maluan, pangeran bungsu benar. Kalau ingin melihat apa yang dia kerjakan langkah paling benar adalah duduk di sebelahnya, bukan menyusahkan diri sendiri. Posisi duduk ku geser di sebelahnya, melihat layar laptop di sebelahku.
Pangeran rupanya sedang menulis cerita. Yang menarik adalah, cerita dia tulis menggunakan bahasa Inggris. Bukan bahasa negeri ini. Walau aku sendiri, tidak begitu paham cerita apa dia tulis, namun cerita dia buat seperti kegiatannya sehari-hari. Aku cuma menebak, karena ada nama Norlorn dan aku di sana dan tanggal yang tertulis hari ini.
“Itu apa?”
“Jurnal elektronik.” jawab dia singkat.
“Anda blogger?”
“Bisa dibilang begitu.” Pangeran mengangguk sebentar, kemudian melanjutkan tulisannya.
Ternyata, pangeran yang satu ini adalah blogger. Laman elektronik dia terkesan ekslusif dan elegan bernuansa warna kalem. Pengikut bloggernya sudah jutaan, bak aktris kekinian dan selebgram lokal di negaraku.
“Kapan-kapan, ajari saya jadi blogger. Boleh?”
“Jadi penulis jurnal elektronik itu mudah, Giovani.”
“Masa?”
“Yang tidak mudah, menjaga konsistensi.” Pangeran tersenyum depan layar.
“Iya juga. Apalagi kalau di desa, koneksi macet.”
“Makanya, kau pindah dong ke lokasi lain.” Norlorn menyelang.
“Rencananya aku juga mau kembali ke Tokyo.”
“Semangat. Pasti kau pulang nanti,”
“Aamiin…”
Perbincangan kami terhenti tatkala mendengar suara gerbang istana terbuka dan beberapa mobil masuk ke pekarangan. Kami bertiga langsung membuka pintu istana dan berlari ke teras. Menyambut keluarga istana pulang pagi ini.
Mobil-mobil itu tertib memasuki garasi, disusul minivan dikendarai oleh Adome. Seru! Satu kata untuk situasi pagi hari ini. Tertib, rapi, dan unik modelnya. Tidak ada di negeriku atau duniaku. Beberapa mobil berjenis mobil sport futurologis. Keren!
Keadaan sudah kembali seperti semula. Sosok-sosok ku rindukan telah keluar dari garasi, semua pulang dalam keaadan sehat dan selamat. Pangeran Taeglyn menyongsong Yang Mulia ke halaman. Aku dan Norlorn saling berpandangan, tersenyum melihat keakraban seluruh keluarga kerajaan. Tidak terkecuali, Kak Hikaru dengan Kak Reira bersama keempat pangeran.
“Kerja bagus anak-anak.” Senyum sang raja tersungging, dia mengangkat dua jempol dengan hasil pekerjaan kami.
“Terima kasih, paman.” Norlorn mesem.
“Aku juga, ayah.” Pangeran Taeglyn menunjuk diri.
“Iya, ayah percaya kau.” Yang Mulia menjawil hidung anak bungsu disertai senyuman lebar. Pangeran bungsu terkikik di samping sang ayah. Ketiga kakaknya hanya tersenyum diiringi geleng kepala.
Yang Mulia menghampiri kami berdua di teras istana bersama yang lain. Dia menyodorkan gulungan kertas berwarna cokelat pada kami. Lalu berkata, “Selamat, kalian sudah lulus ujian.”
Dahi Norlorn berkerut, aku juga. Ada apa sebenarnya?
“Lulus ujian?!” Aku dan Norlorn bicara bersamaan.
“Kalian berdua kompak sekali.” Yang Mulia mengedip sebelah mata.
“Ujian apa, paman?”
“Yang pertama, kalian begitu kompak membersihkan istana. Kedua, Norlorn sudah menjaga keamanan istana. Untukmu Giovani, kau berhasil menjaga kekompakan selama kami tidak ada.” Yang mulia menerangkan tanpa jeda. Dia mengerling pada kami, senyuman paling lebar yang baru aku lihat.
“Aku tidak mengerti, paman.” Norlorn menaikkan kedua alisnya.
“Kalian buka saja gulungan kertasnya. Semua jawaban sudah ada di dalam.”
Norlorn membuka gulungan kertas secara perlahan. Mata Norlorn bergerak dari atas ke bawah seperti mesin pemindai. Kemudian, dia tersenyum penuh rahasia. Apa sih isi gulungan itu? Kenapa roman Norlorn berubah? Dia tampak cerah.
“Jangan pelukan dulu ya. Sabar satu hari.” sahut Kak Hikaru terpingkal, diikuti anggukan seluruh keluarga kerajaan.
“Maksudnya apa sih?”
Norlorn tersipu, “Besok kita ‘kan menikah.”
Aku ternganga. Menikah? Aku pasti bermimpi. Bukankah pangeran bungsu yang akan jadi mempelai pria? Kok berubah jadi Norlorn?
“Maaf paman, kami terlambat.” Terdengar suara dari kejauhan.
Ada tiga laki-laki memasuki halaman istana, menghampiri Yang Mulia. Yang Mulia merangkul tiga laki-laki itu. Mataku melotot, mereka adalah teman dari pangeran bungsu. Kenapa mereka di sini?
“Terima kasih untuk kerja sama kalian, Edwyrd, Jorildyn, dan Falael.” Yang Mulia melakukan tos bersama mereka.
Kok begini?
“Sama-sama. Kami senang bisa membantu paman Morgan.” kata Falael.
“K-kk-alian?”
“Selamat ya, Nowy dan Giovani.”
Secara bergantian mereka menyalami Norlorn dan aku. Jangan-jangan, ini semua adalah…
“Tidak sia-sia aku banyak minum untuk meyakinkan Giovani dan Norlorn.” Pangeran bungsu mengacungkan tanda perdamaian.
“Hey, aku juga. Sepulang dari istana, jasa pijat tersewa untuk tanganku.” Falael terbahak.
“Maaf anak-anak, aku baru memberitahu kalian.” sambung Yang Mulia.
“Memberitahu apa, paman?”
“Sebenarnya ini adalah rencanaku untuk memastikan apakah kalian layak menjadi pasangan suami istri atau tidak.” Yang Mulia menjawab santai.
“Maaf jika saya menyela. Kalau saya dan Norlorn menikah, bagaimana dengan pangeran?”
“Giovani, aku memang menyukaimu. Tapi… hati tidak bisa dipaksa. Oleh karena itu, aku memilih mundur setelah turnamen. Aku ingin membuat pengakuan jujur.”
Pernyataan pangeran bungsu begitu mengejutkan. Dia mundur? Bagaimana dengan perjanjian sebelumnya?
“Pengakuan?”
“Untuk soal di kamar, maaf membuatmu panik. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu.”
“Saya sudah memaafkan pangeran. Jujur lebih baik daripada tidak sama sekali.”
“Aku paham, kau dan Giovani saling menyayangi. Maka, aku menyusun rencana ini untuk melihat kesungguhan kalian.” Dialog Yang Mulia pada Norlorn menjawab pikiran sempat mengganjal hati.
“Terima kasih paman dan semuanya.”
“Jaga Giovani untukku, Norl.” Pangeran bungsu memeluk Norlorn. Suasana haru menyelimuti kedua laki-laki di sampingku. Sukacita, harapan melebur di istana. Tak ku sangka, kepasrahan berbuah manis.
Aku mendapat pelajaran baru tentang ikhlas dan pasrah. Pasrah untuk semua keputusan serta mengikhlaskan diri pada Tuhan dan Semesta memilihkan jalan terbaik dalam hidupku. Inilah hasilnya, aku dapat bersanding dengan sosok ku sayangi, Norlorn.
***
Hari pernikahan, Taman Kerajaan Etchaland, pukul 9 pagi waktu setempat
Jantung berdebar saat Kak Hikaru mendampingi diriku menuju altar. Gaun pernikahan bernuansa putih terlihat pas. Pernikahan hari ini tidak jauh berbeda dengan pernikahan manusia. Ada acara pemberkatan dan janji pernikahan. Aku berjalan dari sisi kanan taman, Norlorn dari sisi kiri didampingi oleh tuan Nyvorlas. Norlorn memakai pakaian bernuansa merah sampai ke jubah.
Yang Mulia, para pangeran, Kak Reira dan Kak Nueleth menjadi saksi dari samping altar. Para tamu undangan khidmat mengikuti seluruh rangkaian acara.
Norlorn mengucapkan seluruh janji pernikahan dengan lancar depan pendeta kerajaan, tuan Nyvorlas dan Kak Hikaru. Maximillian bertugas menjadi pemegang kalung pernikahan. Pinguin imut gempal begitu menggemaskan saat memakai tuxedo hitam.
Janji sudah selesai diucapkan. Kami bergantian memakaikan kalung pernikahan pada leher satu sama lain. Berjanji pada Tuhan dan Semesta untuk tetap bersama baik susah ataupun senang.
Yang ditunggu-tunggu tiba. Acara lempar buket bunga. Konon, jika ada yang berhasil menangkap buket pengantin dia akan segera mendapat jodoh. Dulu, aku selalu mengharapkan bisa mendapat buket, hari ini aku dan Norlorn menjadi pelemparnya.
Sebagian tamu undangan, para pangeran hingga Kak Hikaru dan Kak Reira ikut mengangkat tangan menunggu kami. 1…2...3… buket bunga sudah terlempar. Buket melayang dan…ada salah satu… eh maksudku dua sosok menangkap bersamaan.
“Hey… apa-apaan kau, Taeglyn! Ini buket punyaku!”
“Dari mana asalnya, Nueleth?! Aku yang menangkap terlebih dulu dibanding kau!”
Ow..ow… Norlorn dan aku kembali saling pandang. Semua tamu undangan ikut tertawa melihat pertengkaran pangeran bungsu dan putri pimpinan panglima negeri. Mereka bersorak untuk pangeran dan putri satu-satunya sang pimpinan panglima negeri.
“Ada-ada saja.” Norlorn menahan tawa.
“Kayaknya mereka cocok, Noey.”
“Mungkin.” Norlorn mengangkat bahu.
Pernikahan berlangsung meriah. Mengubah pandanganku sesaat tentang masa lalu. Masa lalu kelam dan trauma untuk tidak menikah. Tetapi hari ini, berhasil ku lewati semua. Pernikahan sederhana tak akan ku lupa sampai aku tidak dapat menulis lagi.
Tubuhku terasa ringan, suara Norlorn terdengar jauh. “Terima kasih Gigi, aku akan menyusul ke desa. Sebaiknya kau pulang,”
Pemandangan menjadi Eingengrau dan—
Samar-samar, aku mendengar lantunan ayat suci dari beberapa orang. Aku membuka mata. Secara mengejutkan, pandangan tertutup kain. Apa-apaan? Tangan membuka penutup kain batik itu. Beberapa orang lari saat diriku bangun. Mereka ketakutan bak melihat hantu. Si Mbok dan keluarganya kelihatan ngeri sekaligus bingung atau mungkin takjub melihat aku bangun.
“Masyaallah,” Mbok terkejut.
“Gusti Allah sudah mengembalikan Vani.” timpal Kakek Ruri.
“Ya Allah Vani, Mbok sudah kebingungan bilang ke papa kamu.”
“Bingung kenapa Mbok?”
“Sudah seminggu kamu ndhak bangun dan ndhak ada napasnya.” Air mata si Mbok merembes membasahi pipinya.
“Maaf Mbok, Vani buat mbok khawatir.”
“Ya sudah mbah, yang penting Vani sudah kembali di tengah kita semua.” ujar Nur, ponakan si Mbok.
“Maaf ya mbak, aki, dan mbok. Vani bikin kepikiran.”
“Nggak apa-apa, Vani. Mbok sudah lega.”
Mbok memeluk diriku dari ruang tamu yang sudah sepi karena beberapa warga sudah lari oleh kejadian tadi. Aku bernapas lega bisa kembali ke duniaku tepat waktu sebelum warga mengira meninggal. Sungguh, kekuasaan Tuhan amat besar. Jika Tuhan bilang terjadi… maka terjadilah. Sama dengan pengalamanku, Tuhan menunjukkan kekuasannya selama di desa, desa penuh kenangan dan pertemuan dengan Norlorn.
Jantung berdebar saat Kak Hikaru mendampingi diriku menuju altar. Gaun pernikahan bernuansa putih terlihat pas. Pernikahan hari ini tidak jauh berbeda dengan pernikahan manusia. Ada acara pemberkatan dan janji pernikahan. Aku berjalan dari sisi kanan taman, Norlorn dari sisi kiri didampingi oleh tuan Nyvorlas. Norlorn memakai pakaian bernuansa merah sampai ke jubah.
Yang Mulia, para pangeran, Kak Reira dan Kak Nueleth menjadi saksi dari samping altar. Para tamu undangan khidmat mengikuti seluruh rangkaian acara.
Norlorn mengucapkan seluruh janji pernikahan dengan lancar depan pendeta kerajaan, tuan Nyvorlas dan Kak Hikaru. Maximillian bertugas menjadi pemegang kalung pernikahan. Pinguin imut gempal begitu menggemaskan saat memakai tuxedo hitam.
Janji sudah selesai diucapkan. Kami bergantian memakaikan kalung pernikahan pada leher satu sama lain. Berjanji pada Tuhan dan Semesta untuk tetap bersama baik susah ataupun senang.
Yang ditunggu-tunggu tiba. Acara lempar buket bunga. Konon, jika ada yang berhasil menangkap buket pengantin dia akan segera mendapat jodoh. Dulu, aku selalu mengharapkan bisa mendapat buket, hari ini aku dan Norlorn menjadi pelemparnya.
Sebagian tamu undangan, para pangeran hingga Kak Hikaru dan Kak Reira ikut mengangkat tangan menunggu kami. 1…2...3… buket bunga sudah terlempar. Buket melayang dan…ada salah satu… eh maksudku dua sosok menangkap bersamaan.
“Hey… apa-apaan kau, Taeglyn! Ini buket punyaku!”
“Dari mana asalnya, Nueleth?! Aku yang menangkap terlebih dulu dibanding kau!”
Ow..ow… Norlorn dan aku kembali saling pandang. Semua tamu undangan ikut tertawa melihat pertengkaran pangeran bungsu dan putri pimpinan panglima negeri. Mereka bersorak untuk pangeran dan putri satu-satunya sang pimpinan panglima negeri.
“Ada-ada saja.” Norlorn menahan tawa.
“Kayaknya mereka cocok, Noey.”
“Mungkin.” Norlorn mengangkat bahu.
Pernikahan berlangsung meriah. Mengubah pandanganku sesaat tentang masa lalu. Masa lalu kelam dan trauma untuk tidak menikah. Tetapi hari ini, berhasil ku lewati semua. Pernikahan sederhana tak akan ku lupa sampai aku tidak dapat menulis lagi.
Tubuhku terasa ringan, suara Norlorn terdengar jauh. “Terima kasih Gigi, aku akan menyusul ke desa. Sebaiknya kau pulang,”
Pemandangan menjadi Eingengrau dan—
***
Samar-samar, aku mendengar lantunan ayat suci dari beberapa orang. Aku membuka mata. Secara mengejutkan, pandangan tertutup kain. Apa-apaan? Tangan membuka penutup kain batik itu. Beberapa orang lari saat diriku bangun. Mereka ketakutan bak melihat hantu. Si Mbok dan keluarganya kelihatan ngeri sekaligus bingung atau mungkin takjub melihat aku bangun.
“Masyaallah,” Mbok terkejut.
“Gusti Allah sudah mengembalikan Vani.” timpal Kakek Ruri.
“Ya Allah Vani, Mbok sudah kebingungan bilang ke papa kamu.”
“Bingung kenapa Mbok?”
“Sudah seminggu kamu ndhak bangun dan ndhak ada napasnya.” Air mata si Mbok merembes membasahi pipinya.
“Maaf Mbok, Vani buat mbok khawatir.”
“Ya sudah mbah, yang penting Vani sudah kembali di tengah kita semua.” ujar Nur, ponakan si Mbok.
“Maaf ya mbak, aki, dan mbok. Vani bikin kepikiran.”
“Nggak apa-apa, Vani. Mbok sudah lega.”
Mbok memeluk diriku dari ruang tamu yang sudah sepi karena beberapa warga sudah lari oleh kejadian tadi. Aku bernapas lega bisa kembali ke duniaku tepat waktu sebelum warga mengira meninggal. Sungguh, kekuasaan Tuhan amat besar. Jika Tuhan bilang terjadi… maka terjadilah. Sama dengan pengalamanku, Tuhan menunjukkan kekuasannya selama di desa, desa penuh kenangan dan pertemuan dengan Norlorn.
TAMAT
No comments:
Post a Comment