Telah tiba waktunya hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh kerajaan dan penduduk negeri alam ini. Turnamen langka terjadi ribuan tahun sekali, di mana ada dua sosok memperebutkan satu hati dengan mengadakan turnamen pedang. Pertandingan untuk satu hati… hmmm… terdengar menarik.
Setidaknya di alam ini ada yang rela memperebutkanku, padahal aku tidak melakukan apa-apa. Hahaha…
Lalu di duniaku? Entah. Sudah ku bilang aku terlalu banyak ditolak laki-laki muda dengan alasan aku bukan tipe atau ada beberapa bagian tubuh kurang besar ukurannya. Seperti bokong misalnya.
Kalau bisa memilih, aku juga ingin mempunyai tuhuh seksi nan msnggoda setiap mata laki-laki memandang, wajah secantik bidadari, tinggi ssmampai, bukan tubuh terlalu mini untuk umur hampir kepala 3.
Walau kurang percaya diri dengan ukuran tubuh kutilang dara (baca: kurus, tinggi, langsing, dada rata) , bukan berarti tidak bersyukur. Diri ini tetap menganggap Tuhan menciptakan setiap manusia ada gunanya. Yang sering aku alami adalah, saat menaiki kendaraan umum selain ojek daring, taksi daring, atau bus Transjakarta, biaya lebih murah.
Kok bisa?
Kondektur suka tidak memperhatikanku, terkadang gratis karena dianggap “anak” orang lain. Ups… maaf, aku tidak bermaksud curang, hanya saja keberuntungan tiba-tiba menghampiri.
Banyak kejadian ku alami karena ukuran tubuh yang mini. Ada senang ada sedih, pernah aku rasakan. Contohnya, jika ada laki-laki menjalin hubungan denganku pasti dia merasa malu berjalan bersama karena dikira membawa anak di bawah umur atau seperti om-om dengan “kelinci peliharaannya”. Padahal, umur lebih tua diriku dibanding laki-laki itu.
Sejujurnya, aku kurang setuju peraturan dengan bertarung, tapi tidak ada pilihan lain. Aku menyayangi keduanya, baik sang panglima muda kerajaan dan putra mahkota ternuda.
Kalian pasti berpikir aku serakah, ya ‘kan?
Aku bukan tipe perempuan penyuka poligami, suatu kondisi menikah dengan sosok lebih dari satu.
4 jam lagi, turnamen pedang akan di mulai. Ku lirik dari jendela kamar, jam dinding kamar tamu menunjukkan pukul 9 pagi, Kak Hikaru dan Kak Reira tidak bersamaku kali ini, mereka sedang berjalan-jalan keluar istana entah ke mana.
Pemandangan pagi ini cerah, banyak gerombolan Griffin terbang melintas horizon lazuardi. Tampaknya, para Griffin itu sedang melakukan imigrasi ke suatu tempat, mungkin ke bagian lain dari alam ini. Tapi, siapa peduli? Bukankah setiap hewan ada masa-masa perpindahan dari satu daerah ke daerah lain?
Baiklah, mari lupakan para Griffin sejenak. Banyak yang tidak percaya dengan alam samar karena belum bisa dijelaskan secara ilmiah. Tetapi aku percaya, alam ini memang ada dan amat indah. Tak menyangka, diriku diizinkan Tuhan dan semesta mengunjungi suatu tempat belum tentu orang lain diizinkan masuk.
Kian mata menonton, tambah terlihat mirakel alam ini. Makhluk-makhluk polisemis hampir memenuhi langit, seolah-olah baru berangkat untuk aktivitas harian layaknya manusia berhimpitan pada gerbong kereta api hingga halte bus Transjakarta. Sungguh kehidupan cakrawala yang padat seperti kota besar. Bukan main!
Pemandangan dirgantara silih berganti sampai ada suara ketukan dari arah luar pintu mengalihkan pandangan sejenak. Siapa yang mengetuk pintu jam segini? Apa mungkin Kak Hikaru dan Kak Reira sudah pulang? Daripada menebak-nebak, lebih bagus buka langsung tanpa berlama-lama.
Suara boots marun ku pakai berasal dari lemari kamar tamu mengiringi langkah nyaring di lantai. Lantai kayu terdengar agak bising oleh hak sepatu. Siapa sosok di balik pintu? Dengan segera, ku turunkan kenop pintu untuk memastikan siapa di luar. Rupanya Adome dan Tavin yang mengetuk pintu. Apakah ada sesuatu yang penting?
“Selamat pagi, Nona Giovani.” ucap Adome menyoja, kemudian Tavin menyusul.
“Selamat pagi, Adome dan Tavin.”
“Maaf jika kedatangan kami mengganggu. Kami hanya menjalankan perintah dari pangeran.”
“Pangeran?”
“Benar, Nona.” sahut Adome.
“Pangeran siapa?”
“Pangeran Tarathiel.” Tavin berujar.
“Apa perintah pangeran pada kalian?”
“Pangeran memerintah kami membawa Nona ke hadapannya.” timpal Adome, dia seperti meyakinkan bahwa perintah pangeran merupakan suatu hal harus disampaikan.
“Oh, begitu. Aku nggak akan diapa-apain ‘kan?”
“Tentu tidak. Pangeran berpesan pada kami agar mengurus rambut Nona Giovani.” Suara Tavin seperti menjamin bahwa tidak perlu takut dengan pesan disampaikan.
“Tunggu, aku nggak salah dengar?”
“Tidak.”
“Untuk apa?”
“Maaf, itu semua di luar kapasitas kami sebagai pelayan. Sebaiknya, Nona bersiap-siap menghadap.”
“Baiklah.” Diriku keluar kamar sembari menutup pintu.
“Mari kami antar,”
Adome dan Tavin menggiring aku ke kamar pangeran. Istana terasa kosong, pada ke mana seluruh penghuni istana?
“Adome, kenapa istana begitu sepi? Di mana yang lain?”
“Yang lain sudah menuju ke Xenomorph Coliseum.”
“Di mana dan tempat apa itu?”
“Arena pertandingan terbesar di negeri ini. Xenomorph Coliseum ada di wilayah barat.” Tavin berperi cepat.
“Biasanya digunakan untuk apa?”
“Segala macam kompetisi seperti turnamen pedang dan lainnya selalu diadakan di Xenomorph Coliseum,” timpal Adome.
“Keren!”
“Bagaimana rasanya diperebutkan oleh dua hati, Nona?” Tiba-tiba Tavin menyela, pertanyaan dia mencerminkan penasaran tinggi pada peristiwa ku alami.
“Tavin, kau tidak sopan pada Nona Giovani!” tegur Adome.
“Rasanya diperebutkan dua hati ya?”
“Iya, Nona. Maaf jika saya lancang.”
“Rasanya kayak tokoh protagonis dalam tonil.”
“Maksud Nona?”
“Biasanya, di tempat tinggalku cerita-cerita tonil pasti berjenis picisan. Antara perebutan harta, perebutan dua hati, atau kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin.”
Aku rasa, penjelasan cukup panjang sudah menjawab penasaran Tavin padaku. Perebutan dua hati? Mustahil kedengarannya. Tapi di sini, malah menghadapi. Jangankan dua hati, satu hati saja terkadang pergi di tengah jalan, bagaimana dengan dua hati? Percaya tidak percaya.
“Oh begitu. Untung saja di negeri ini tidak seperti negeri Nona.” Tavin nyengir, lalu dia menyambung kalimatnya, “Jika iya, tamatlah saya seumur hidup tidak mempunyai kekasih karena diri ini cuma pelayan.” Tangan dia mengelus dada. Keringatnya menetes seperti ketakutan mengalami kisah cerita picisan.
“Tenang saja Tavin, semua sudah diatur Tuhan. Tetap semangat, ya.”
“Terima kasih untuk semangatnya, Nona.”
“Kau ini Tavin, selalu saja mengurusi asmara.”
“Memangnya kenapa?!”
“Hidup ini bukan hanya cinta saja, ‘kan?”
“Bukan urusanmu, Adome!”
“Sudah-sudah, jangan bertengkar!”
“Maafkan kami,” Adome dan Tavin menundukkan kepala.
“Kalimat Adome ada benarnya. Memikirkan asmara boleh, namun jangan sampai menyiksa dirimu, Tavin.”
“Tuh dengar ‘kan, Tavin!”
“Apa sih kau ini?”
“Jika cinta itu menyiksa, itu bukanlah cinta.”
“Bukan cinta?”
“Iya. Hanya sekadar pikiranmu, Tavin.” Aku berangguk.
“Terima kasih Nona Giovani atas sarannya.” Tavin tersenyum, cakap dia kelihatan lebih lunak dibanding sebelumnya.
“Kita sudah sampai di kamar pangeran, Nona.” Adome menanggapi sebentar. Lengan dia menunjuk kamar yang tertutup. Aksen viktoria dan rococo begitu lekat pada rancangan anaglif di pintu.
Adome mengetuk pintu memberi isyarat bahwa kami sudah sampai di kamar putra mahkota ketiga di kerajaan. Tak berapa lama, pintu kamar terbuka. Aku terpukau memandang penampilan pangeran Tarathiel hari ini. Berbeda 180 derajat saat pertama bertemu. Hari ini, dia amat fashionable, tidak berpakaian fantasi lagi.
“Tidak usah berlama-lama lagi. Adome, kau panggil Glonia, Ren, dan Rei.” Pangeran Tarathiel memerintah.
“Baik, pangeran.”
“Kau… Tavin, panggil Yura, Juno, dan Syo Ri.”
“Baik pangeran, saya akan memanggil mereka.” Tavin menunduk hormat bersama Adome kemudian bergegas pergi memanggil pelayan yang dimaksud.
Sebenarnya mau apa pangeran? Mengapa dia memanggil banyak pelayan?
“Tidak perlu curiga begitu, Nona.” kata dia mesem.
Aku kelu karena perkataan pangeran. Bagaimana dia bisa tahu pikiranku? Di sini, tidak dapat menyembunyikan apa saja, termasuk rasa.
“Aku tahu pikiranmu. Kita ini calon saudara, mengapa kau masih kaku padaku?”
“Bukan begitu pangeran, saya cuma heran.”
“Heran karena apa?”
“Dipanggil ke sini tiba-tiba.”
“Tenang, aku tidak akan menyakitimu. Justru aku ingin membantu,”
“Membantu dalam hal apa?”
“Penampilanmu.”
“Ada apa dengan penampilan saya?”
“Rambutmu lebih cocok ditata daripada digerai saja.”
“Masalah ini selalu saya alami,” Aku menganggut.
“Oleh karena itu aku memanggilmu.” jawab pangeran.
“Oh… saya kira….”
“Memang kau pikir, aku akan melakukan hal sama seperti Norlorn atau Taeglyn?”
Astaga! Dia menyindir. Tapi memang benar sih, Norlorn dan pangeran bungsu itu melakukan hal terlampau jauh denganku.
“Maaf pangeran, saya tidak bermaksud…”
“Sudah ku maafkan. Lebih baik, kau masuk selagi ada waktu sebelum turnamen mulai di Xenomorph Coliseum,”
“Baik pangeran.”
Aku mengikuti pangeran masuk ke dalam seraya duduk di sebuah kursi dengan meja dan cemin yang ditunjuk oleh pangeran. Apa pangeran sungguh-sungguh mau mengurus rambutku?
“Rambutmu cantik, tapi kau tidak pandai merawatnya!” seru dia memegang ujung rambutku.
“Saya nggak sanggup, pangeran.”
“Apa sebabnya?”
“Susah diatur dan seperti rambut singa.”
“Siapa bilang?”
“Saya.”
“Tidak juga, rambutmu cantik dan cukup bagus. Hanya salah penanganan.”
“Maksud Anda?”
“Seharusnya, rambut ikalmu ini dapat terlihat lebih indah lagi.”
“Memangnya bisa?” Dahiku berkerut.
“Tentu saja bisa. Kau ingin rambut cantik, bukan?”
“Itu pasti, pangeran.”
“Rambut ikal itu anugerah. Jangan kau sia-siakan.”
“Tapi susah diatur dan megar, pangeran.”
“Itu tidak akan terjadi. Mau ku beritahu rahasia?”
“Rahasia apa?”
“Rambutku sama sepertimu. Kau lihat ini?” tanya pangeran. Dia melepas ikat rambut miliknya dan membiarkan rambut ikal blonda es tergerai.
Bagus sekali rambutnya! Kelihatan lemas meski ikal, padahal panjangnya sedada.
“Kau ingin?”
“Banget!”
“Akan aku beritahu salah satu rahasia rambut ikal impianmu.”
“Beritahu saya,”
Ya Bapa! Aku bagai mendapatkan harapan pasti untuk masalah rambut tak kunjung sembuh bertahun-tahun lamanya.
“Rambut ikal atau keriting lebih mudah patah karena bentuknya yang pipih.” Pangeran Tarathiel berkata.
“Lalu?”
“Apa kau sudah menguasai cara mencuci rambut yang tepat?”
“Kalau saya mencuci rambut ya tinggal cuci dan mengumpulkan rambut jadi satu.” Aku garuk kepala, seperti gagal jadi perempuan. Merawat rambut sendiri saja tidak tahu cara.
“Seharusnya kau hindari cara itu,”
“Memangnya ada apa?”
“Jika kau mencuci rambut dengan cara itu, akan lebih susah diatur.”
“Pantas saja,”
“Sebaiknya, kau membersihkan kulit kepala dengan cara memijat perlahan hingga merata ke seluruh akar rambut.”
“Hanya dipijat?”
“Tentu saja bersamaan dengan pembersih rambut.”
“Sampo?”
“Mungkin iya jika di duniamu.”
“Nanti saya coba, pangeran.”
“Pijatan pada kulit kepala juga dapat merangsang pertumbuhan rambut baru.”
“Oh ya? Saya baru tahu.”
“Kau harus menguasai cara mencuci rambutmu yang tepat terlebih dulu,”
“Ada lagi cara lain, pangeran?”
“Cara kedua, kau dapat membasuh bagian bawah kepala lalu perlahan-lahan naik.”
“Oh begitu caranya. Kadang, saya membalikkan kepala di keran.”
“Cara itu lebih baik daripada tekanan air langsung pada kepala. Bisa juga kau miringkan kepalamu.”
“Terima kasih untuk sarannya, pangeran.”
“Perbanyak memakai pelembut rambut, apapun jenis rambutmu.”
“Baik pangeran.”
“Sebentar lagi, para pelayan akan tiba. Kau dapat meminta mereka untuk meriasmu. Aku akan pergi sebentar.”
“Mau ke mana?”
“Aku cuma mau mengambil peralatan untuk menata rambut. Itu saja,”
Sebenarnya dia itu pangeran atau pegawai salon yang stylish serta trendi? Pakaiannya tidak mencerminkan pangeran fantasi, melainkan modern dengan kardigan hitam dalaman kaos dan jeans hitam sewarna dengan sepatu pantofel.
“Baik pangeran. Saya tunggu.”
Dia mengayun tangan kanan membentuk gerakan salam gaya tentara seraya bicara, “sampai bertemu tiga menit lagi.”
“Ditunggu,”
Kemudian, pangeran pergi dari kamar meninggalkan jejak cahaya semerdanta dari gerakan dia. Selanjutnya adalah menunggu Adome dan pelayan lain tiba. Menonton kompetisi saja harus menara rambut? Memang apa bedanya dengan tidak? Mungkin, aku belum terbiasa dengan kehidupan kerajaan. Penampilan diutamakan dibarengi dengan kecerdasan.
“Ehem!”
Suara di belakang membuat terperanjat. Pangeran Tarathiel sudah tiba di kamar tanpa ku sadari. Bisa-bisanya diri melamun sampai tidak sadar pemilik ruang tidur telah datang. Tangan dia membawa beberapa peralatan penata rambut seperti di salon kecantikan umumnya.
Ada gunting rambut, sisir, gunting penipis, pelurus rambut berukuran kecil, dan penggulung rambut berdiameter kecil. Apa sih yang ingin dilakukan pangeran? Banyak sekali peralatan itu?
“Untuk rambutmu, sebaiknya dipangkas, Nona.” tutur dia.
“Tapi, saya belum pernah mencoba potongan rambut pendek.”
“Hari ini kau dapat mencoba,”
“Apa nggak kelihatan megar?”
“Tentu tidak,”
“Saya jadi ragu.”
“Kau meragukan diriku, Nona?”
“Bukan begitu maksud saya, pangeran. Apakah dengan rambut pendek cocok?”
“Cocok jika dapat memilih model rambut sesuai bentuk wajah.”
“Bagaimana dengan saya?”
“Secara keseluruhan, bentuk wajahmu cocok dengan rambut pendek, asal jangan pernah meluruskan rambutmu setelah panjang,”
“Kenapa?”
“Rambut akan terlihat kurang bervolume dan pipi akan terlihat lebih tembam.”
“Begitu rupanya. Memang, setiap rambut saya lurus membuat penampilan terlihat lebih tua dan lepek.”
“Bagaimana jika aku mencuci rambutmu dulu seraya menunggu Adome dan yang lain datang?”
“Boleh.”
Aku mengikuti pangeran Tarathiel ke salah satu bagian dari kamar tidurnya. Sebuah ruangan berisi tempat untuk mencuci rambut seperti salon pada umumnya. Berwarna legap mencerlang dan terlihat luks.
“Saya kira, negeri ini penuh sihir.”
“Siapa bilang? Kau terlalu banyak menonton layar gelas jenis khayalan!”
“Film di dunia saya seperti itu,”
“Kenyataannya di sini tidak. Aforismenya, untuk apa menggunakan sihir jika teknologi lebih memperpendek waktu?”
“Iya juga. Saya pikir, di negeri ini sedikit-sedikit menggunakan sihir.” ujarku. Aku mengikuti isyarat pangeran untuk segera merebahkan diri di tempat mencuci rambut kamar.
“Kau salah, Nona kecil.” Dia nyengir.
“Lalu, apa yang benar?”
“Pertama, negeri ini tidak selalu menggunakan sihir.” jawab pangeran. Sementara, tangan dia bergerak menyalakan shower dengan tekanan air sedang. Kemudian, air itu mulai membasahi bagian bawah rambut.
“Ternyata, saya memang belum tahu banyak tentang negeri ini.” kataku sembari nyengir.
Secara gradual, air mengenai bagian tengah rambut sampai atas selama hampir 1 menit. Lalu, shower mati dan pangeran mengambil sebotol cairan berwarna merah lembayung dari samping tempat mencuci. Dia menuangkan cairan itu di tangan.
“Apa itu, pangeran?”
“Cola rasa anggur.” jawab dia singkat.
“Hah!?” Mataku membeliak. Apa iya rambutku akan dicuci dengan cola?
“Kena kau.” ucap pangeran tertawa. “seharusnya kau tak perlu tanya lagi tentang pembersih rambut, ‘kan?”
“Anda membuat kaget setengah hidup.” Aku cemberut. Dasar jahil!
“Maaf,” Pangeran menahan tawa.
Wajahku merah padam karena malu. Tahu begini, aku tidak akan menanyakan cairan warna ungu tadi. Pangeran mengoleskan sampo ke bagian bawah rambut, perlahan naik ke tengah hingga ke pangkal rambut. Jari-jari itu amat lihai memijat kulit kepala dan mencuci rambutku, seperti penata rambut profesional.
Tidak ku sangka, pangeran mempunyai keahlian tak diduga. Aku kira, pangeran hanya bisa memerintah dan menyuruh-nyuruh. Batinku.
“Aku mendengarmu, Nona kecil.”
Yah, didengar lagi. Serba salah.
“Maaf, pangeran.”
“Sudah ku maafkan. Wajar kalau kau berpikiran begitu padaku,”
“Jangan-jangan, Anda mempunyai usaha tata rambut di negeri ini.” Aku menebak.
“Memang.” Dia mengiyakan.
Oh dia punya usaha salon. Pantas saja begitu lihai menangani rambut singa-ku.
“Kalau saya jadi pelanggan, pasti sudah saya beri bintang 5 untuk pelayanan.”
“Terima kasih, Nona kecil.” Dia tersenyum.
“Sudah berapa lama Anda membuka tempat tata rambut?”
“Belum lama. Baru 20 tahun terakhir.” Pangeran menerangkan.
“Di tempat tinggal saya, belum ada yang seenak ini pijatannya.”
“Kau cuma belum menemukannya.”
“Apa yang mau saya harapkan di desa? Ada salon saja sudah bersyukur.”
“Siapa yang suruh kau tinggal di desa, Nona kecil?”
“Nggak ada sih.” Aku tersenyum getir.
“Di kota besar, jika kau mencari pasti ada yang bisa menangani rambutmu dengan tepat.”
“Semoga. Tapi, andai saya tidak di desa, kita nggak akan pernah mengobrol atau bertemu.”
“Ya, alasanmu memang benar, Nona kecil.”
“Berapa lama lagi, pangeran?”
“Sebentar lagi selesai.” jawab dia.
Tak lama, shower mati sejenak. Pangeran Tarathiel mengambil cairan kental berwarna jambon sambil mengoles pada rambutku. Tidak ada yang berubah dengan pijatan, tetap membuat rileks dari pertama kali merasakan. Setelah beberapa menit, shower kembali menyala dan membilas hingga bersih.
Pangeran Tarathiel menyudahi kegiatannya dan membungkus rambutku dengan handuk. Dia mengajak kembali ke meja rias. Di sana sudah ada Adome dan yang lain, menunggu perintah sang putra mahkota untuk melayani.
Tanpa menunggu lama, pangeran membuka handuk seraya mengambil gunting rambut beserta jepitan untuk membagi rambut. Sedikit demi sedikit, bagian rambut belakang dipotong sampai di atas bahu, disusul bagian tengah, samping, dan poni.
“Bagaimana Nona kecil? Kau suka?”
Mulanya, aku tak berpikir hasilnya akan jadi sebagus ini. Potongan ikal acak namun tetap manis dan tidak berantakan, lebih baik dibanding rambutku yang panjang. Padahal, selama aku memotong rambut pasti hasilnya tidak seperti harapan. Hanya bagus di awal, ke depannya berantakan.
“Bagaimana cara mempertahankan rambut seperti ini, pangeran?”
“Memakai difusser dan carilah penata rambut yang benar-benar profesional mengetahui karakter rambutmu.”
“Jika saya potong rambut, tentu di tempat tinggal saya masih tetap panjang, ‘kan?”
“Memang. Setidaknya, kau sudah mengerti dan tahu model rambut seperti apa yang cocok. Bukan begitu?”
“Betul.”
“Tugasmu setelah pulang, jadilah dirimu yang baru. Kubur dirimu yang lama.”
“Terima kasih untuk motivasi yang Anda berikan.”
“Terima kasih kembali. Tugasku sekarang selesai, kau akan ditangani Adome dan yang lain.” Pangeran Tarathiel membereskan gunting dan jepit rambut dan meletakkan pada laci meja rias kamar. Lalu, dia mengambil sebuah benda lonjong berukuran kira-kira tidak lebih berdiameter 2.5mm dari buffet. Dia berjalan ke arah pintu kamar. Mau ke mana dia?”
Seolah menjawab pikiranku, pangeran menyahut. “Tentu saja memanaskan mobil, kita tidak akan berjalan kaki ke Xenomorph Coliseum!”
Benar juga. Xenomorph Coliseum jauh dari sini, tidak mungkin juga berjalan kaki. Kenapa tidak menggunakan sihir saja seperti waktu aku, Tavin dan Adome ke wilayah selatan?
“Memakai sihir cuma membuang tenaga. Sampai nanti, Nona kecil.” Pangeran berlalu dari kamar meninggalkan jejak berwarna lembayung dan wangi semerbak.
Sesaat setelah itu, diriku ditangani oleh Adome dan yang lain. Benar-benar pelayanan kelas atas, sulit dijelaskan dengan kata-kata. Mulai dari tatanan rambut hingga penampilan dilayani dengan baik. Bahkan, aku juga ikut ternganga melihat diriku di cermin.
Masalahnya, di desa mana ada model baju seperti ku pakai? Kalau ada, itu pasti harganya mahal sekali dan minimal habis ratusan ribu hingga jutaan. Butuh berapa bulan kalau aku berpenampilan seperti ini?
“Nona suka?” tanya pelayan perempuan berambut aswad pekat bernama Glonia.
“Top markotop. Terima kasih, ya.”
“Terima kasih kembali. Saya senang mendengarnya jika Anda suka.”
“Suka banget.”
“Anda sangat cocok menggunakan jeans bermodel robek lutut dan kemeja crop top.” sahut pelayan perempuan berambut kuning terang bernama Yura.
“Sebetulnya, saya nggak pernah suka kemeja. Tapi hari ini, berubah pikiran.”
“Nona bisa mencobanya setelah pulang dari sini.” kata Adome.
“Terima kasih.”
Yang lain mengangguk kompak. Andai di tempat tinggalku pelayan diperlakukan sama, bisa saja mereka menjadi teman yang baik meski harus berhati-hati. Karena, sifat manusia begitu kompleks dan tidak tertebak.
Terdengar bunyi ringtone dari arah kanan. Ternyata, itu adalah bunyi ponsel. Di sini ada ponsel? Aku benar-benar tak menyangka. Jangan-jangan, gawai mereka lebih canggih daripada punyaku. Adome mengeluarkan gawainya, berbentuk kaca tipis. Mungkin, dengan gawaiku lebih berat punyaku dibanding punya Adome.
Adome mengarahkan gawai pada wajahnya dan menyentuh salah satu bagian gawai. Lalu, proyektor memperlihatkan gambar pangeran yang sedang memegang kemudi mobil di tengah ruangan. Astaga… seperti film fiksi ilmiah saja. Aku garuk kepala. Benar-benar amat maju negeri ini.
“Adome, semuanya sudah siap?” tanya pangeran dari layar.
“Sudah, pangeran.”
“ Tolong antar Giovani ke mobilku.”
“Baik, pangeran.”
“Katakan pada Syo Ri dan yang lain untuk segera berganti baju serta memanaskan mobil. Kalian bisa menyusul. Jika pertandingan sudah dimulai, aku akan mengubungimu.” Suara pangeran terdengar nyaring dari proyektor. Setelah itu, proyektor mengecil dan menghilang.
Bola mataku tambah memelotot. Aku tidak bermimpi ‘kan?
“Ayo Nona, pangeran tidak terlalu suka menunggu.” Adome segera menarik diriku dari kamar, menuruni anak tangga dengan langkah cepat, hingga sampai di samping kastel. Ada sebuah mobil berwarna merah terang tanpa roda dan melayang. Di sana, pangeran tersenyum menopang wajah dia dengan tangan bersandar di pintu mobil.
Adome membuka pintu mobil sebelah kanan, mempersilahkan masuk kemudian menutup pintu. Sebenarnya ingin bertanya lebih banyak, sepertinya, tidak ada waktu untuk itu. Sebaiknya nanti saja jika mobil sudah berjalan. Aku merasa kikuk melihat mobil pangeran. Belum pernah lihat model mobil tanpa roda dan melayang secara nyata selain di film.
“Kenapa?”
Aku menggeleng.
“Tidak perlu kaku begitu, Nona kecil.”
“Saya nggak mimpi, ‘kan?”
“Menurutmu?”
Pangeran Tarathiel mencubit pipiku keras. Sakit! Dia nyengir seakan menertawai. Tapi, memang benar hari ini aku kikuk sekali. Bahkan, lebih tepat dibilang kampungan daripada manusia kota.
“Kau cuma belum terbiasa. Bukan kampungan.” Pangeran berkata. Jari dia menyentuh salah satu tombol mobil. Dari belakang, knalpot mobil menimbulkan suara menderu. Pangeran segera menginjak gas, mobil melaju meninggalkan halaman istana.
***
“Kau persis seperti Norlorn, Nona kecil!” seru dia.
“Hn?”
“Pendiam.”
“Saya hanya masih heran dan bingung.” kataku.
“Jangan heran. Berat. Biar pembaca naskahmu saja yang heran.” Dia cekikikan.
“Apa maksud, pangeran?”
“Kau berencana menuliskan pengalamanmu selama di sini, bukan?”
“Baru rencana.”
“Ceritakan saja, biar mereka heran. Hahaha…”
“Mungkin.” Aku ikut nyengir.
Selama perjalanan, pemandangan wilayah pusat terlihat begitu keren dari mobil. Arsitektur modern bercampur pertengahan begitu serasi. Pangeran Tarathiel melirikku dari kemudi, “Bagaimana? Kau tidak akan menemukan pemandangan ini jika menggunakan sihir.”
“Iya juga.”
“Kau juga tidak akan melihatnya kalau mengendarai Simurgh.”
“Itu benar. Sewaktu menaiki Simurgh bersama Norlorn, saya tidak melihat pemandangan ini.”
“Aku sendiri lebih nyaman menggunakan teknologi untuk berpergian dalam negeri dibanding sihir. Bagaimana denganmu?”
“Kurang lebih sama. Hanya saja, di tempat tinggal saya teknologinya kalah jauh.”
“Pindahlah ke sini.”
“Kalau bisa. Hahaha…”
“Mungkin. Suatu hari nanti.” balas pangeran tersenyum lebar.
“Semoga.”
Tiba-tiba, mobil berhenti. “Kita sudah sampai Xenomorph Coliseum, Nona kecil.”
Pangeran menunjuk sebuah koloseum besar berwarna cokelat muda. Sudah banyak terlihat mobil, motor, bus terparkir di sana. Tentu saja, model mobil, motor, dan bus tidak ditemui di dunia terkecuali film fiksi ilmiah walau tidak seratus persen mirip.
Pangeran Tarathiel memarkir mobil pada tempat yang disediakan. Rasanya, tempat itu merupakan mobil-mobil keluarga bangsawan atau kerajaan. Bentuknya terlihat mahal dan mewah layaknya mobil pangeran.
“Tarathiel!” panggil sosok lain dari arah kiri.
“Ahoy!” Pangeran Tarathiel menoleh seraya melambaikan tangan. Ada sosok laki-laki berambut pendek berwarna kecokelatan memakai ikat kepala, kaos, jeans dan boots menghampiri kami. Kami turun dari mobil setelah laki-laki itu berdiri tepat di samping mobil.
“My bro, Tarathiel!” seru laki-laki itu. Dia dan pangeran Tarathiel melakukan gerakan salam dengan saling menempelkan kepalan tangan.
“Deigara, syubidubidam!” katanya tertawa.
“Aku tak pernah ingat namaku ada kata syubidubidam!” Laki-laki di depanku cemberut.
“Aku bercanda.” Pangeran Tarathiel cekikikan.
“Seenaknya mengganti namaku.” Dia mendengus.
Laki-laki itu menatapku, kemudian berpaling ke pangeran. “Siapa dia? Pacar barumu?”
“Bukan.” Pangeran menggeleng.
“Oh ya?” Nada suaranya tidak percaya.
“Dia calon adik ipar.”
“Wow. Manusia?” tanya laki-laki itu memperhatikan penampilan dari ujung rambut hingga kaki.
“Bisa dibilang begitu, tetapi ada garis keturunan matahari.”
“Begitu rupanya.”
“Giovani, kenalkan. Ini Deigara dari wilayah barat.” tunjuk pangeran.
“Salam kenal, Giovani. Tapi sepertinya aku pernah melihatmu. Kau pernah pergi ke wilayah barat?”
“Pernah dengan Norlorn.”
“Oh iya. Aku baru ingat, kau pernah mampir ke istanaku. Betul?”
“Iya.”
“Kalian saling kenal?”
“Tidak juga. Aku pernah melihat dia. Seingatku, rambut dia panjang.” Dia menggaruk dahi.
“Aku yang potong.” timpal pangeran.
“Pantas, hampir ku kira Giovani sosok berbeda. Ciri khas potonganmu selalu membuat terkecoh.”
“Terima kasih pujiannya, Deigara.”
“Kau bagaimana? Sudah ada calon seperti adikmu dan sepupumu?”
“Ayolah Deigara, aku ini pangeran nomer tiga. Tidak perlu terburu-buru mencari pendamping hidup.” jawab pangeran.
“Kau kalah dengan Taeglyn dan Norlorn,”
“Biar saja. Lalu, bagaimana dengan kau? Kau itu ‘kan pangeran tunggal di kerajaan Fürchland. Mau hidup sendiri terus?” Pertanyaan pangeran bak sindirian, laki-laki bernama Deigara itu membisu.
“Oke. Aku mengaku kalah darimu. Daripada memikirkan hal itu, bagaimana kalau kita masuk untuk menyaksikan turnamen?”
“Betul juga.” Pangeran Tarathiel mengangguk.
“Hati senang walau bujangan daripada punya pasangan membuat kerepotan.” Pangeran Deigara berkata lantang.
Seketika meledaklah tawa kami. Sebenarnya,aku juga menikmati kesendirian setelah gagal berkali-kali dalam hubungan asmara. Namun, jika semesta sudah memilihkan sosok tepat untukku, aku tidak menolak.
“Ayo masuk. Aku penasaran, siapa yang berhasil bersama Giovani.” celetuk pangeran Deigara.
“Ayo.” Pangeran Tarathiel mengajakku masuk bersama pangeran kerajaan barat. Di dalam, sebagian penonton sudah memenuhi koloseum.
Kami diarahkan oleh penyelenggara untuk duduk di tempat khusus. Tempat itu tidak terlalu banyak kursi, hanya sekitar 10-30 saja untuk bagian kiri bawah sedangkan bagian atas terlihat lebih banyak. Jika ditotal hanya ada 100 kursi.
Di beberapa kursi sudah terisi oleh Yang Mulia, tuan Nyvorlas, pangeran pertama dan kedua, Kak Nueleth, Kak Hikaru, dan Kak Reira. Kami bertiga segera bergabung menduduki kursi kosong.
“Selamat pagi Yang Mulia, paman Nyvorlas.” sapa pangeran.
“Selamat pagi Deigara. Kau tidak bersama ayahmu?” tanya Yang Mulia.
“Ayah menyusul.” jawab pangeran.
“Kalian ini, satu istana tetapi tidak berangkat bersama.” ledek tuan Nyvorlas.
“Biasa, paman. Ayah ‘kan sok sibuk.” cetus pangeran tersenyum simpul.
“Pasti ayahmu nanti datang.”
“Semoga saja tidak terlambat.”
“Hai Deigara.” panggil Kak Nueleth dari kursi kelima.
“Hai, Kak Nue. Lama tidak bertemu,”
“Dulu, kau tidak sekurus itu Deigara.” Kak Nueleth bicara, matanya memperhatikan tubuh pangeran.
“Banyak pikiran.” Dia tersenyum getir.
“Main-mainlah ke wilayah pusat supaya pikiranmu tidak kusut.” Kak Nueleth tersenyum padanya.
“Nanti aku akan main.”
“Ditunggu.” ujar Kak Nueleth. Dari suara Kak Nueleth kelihatan semangat sekali. Apa dia kenal dekat dengan pangeran itu ya? Bisa jadi. Apalagi sesama keluarga kerajaan dan wilayahnya bersebelahan.
Penduduk negeri mulai memenuhi bagian kosong dari koloseum. Wujud mereka bermacam-macam, bukan hanya bertelinga runcing, ada yang berwujud manusia, dan setengah binatang. Bahkan, disediakan tempat khusus untuk berwujud binatang. Apa semua penghuni negeri ini datang?
“Untuk turnamen seperti ini seluruh penduduk negeri datang, termasuk penghuni hutan cahaya.” bisik Pangeran Tarathiel.
“Alasannya?”
“Sudah dijelaskan oleh ayahku waktu itu, ‘kan?”
“Oh iya. Turnamen jarang terjadi.”
“Kau sudah tahu jawabannya, Nona kecil.”
Seluruh penduduk negeri sudah memenuhi koloseum, termasuk bagian keluarga kerajaan dan ayah pangeran wilayah barat sudah menduduki kursi. Turnamen segera di mulai. Sorak penonton menggema melihat Norlorn dan sang putra mahkota bungsu keluar dari masing-masing sisi kanan dan kiri di bagian tengah koloseum.
“Sepertinya pertandingan akan seru.” Pangeran Deigara berujar dari kursi.
Norlon dan pangeran sudah bersiap dengan pedang masing-masing. Wasit menjelaskan peraturan secara singkat dan padat. Peraturan sederhana namun cukup mematikan. Pedang yang terjatuh lebih dulu, dinyatakan kalah serta harus menuruti pemenang apapun permintaannya termasuk nyawa.
Benarkah turnamen ini amat berat? Pertandingan untuk satu hati harus mengorbankan nyawa pemain?
Seandainya aku tahu dari awal, aku tidak akan memilih. Bagaimana jika salah satunya gugur dalam pertandingan?
Pangeran Tarathiel kembali berbisik, “Kau harus percaya, tidak akan ada yang gugur dalam turnamen.”
“Tapi…”
“Percayalah, semesta akan memilihkan sosok yang tepat untukmu, Nona kecil.” Pangeran Tarathiel mengangguk seraya mengusap bahuku.
“Semoga.”
Bunyi peluit terdengar Cumiak. Isyarat pertandingan babak pertama di mulai. Norlorn dan sang putra mahkota bungsu mengambil posisi. Sorak penonton makin riuh, hingga aku tidak dapat mendengar suara yang lain, termasuk para pangeran.
Siapa yang akan memenangkan turnamen? Entah.
Semoga saja, siapapun yang memenangkan turnamen memang pilihan tepat untukku ataupun si pemain itu sendiri.
Aku sangat yakin, Tuhan dan semesta tidak akan pernah salah memilihkan sosok tepat untuk setiap makhluk-Nya.
No comments:
Post a Comment