Aku memperhatikan sekeliling permukiman tak ku kenal. Semua tampak kelam kabut dan sedikit penerangan. Apakah diriku harus bertanya lagi tempat apa ini?
Maximillian, di mana kau?
“Brengsek!”
Bagaimana bisa Maximillian pergi ke daerah asing dengan pemandangan tak berkelas? Ya ampun! Kalau saja dia tak pergi seenaknya, aku tak akan ditugaskan Paman Morgan, raja di kerajaan Etchaland, tempat tinggalku.
Pertanyaannya adalah ke mana Maximillian pergi?
Aku melintasi jalan senyap, tak ada petunjuk Maximillian pergi ke sini. Tapi... bukan berarti tak ada, mungkin Maximillian bersembunyi atau pergi ke suatu tempat.
Dia cuma pinguin tua berumur 650 tahun menjabat sebagai penasihat kerajaan. Namun tingkah Maximillian terkadang menyebalkan! Salah satunya pergi tanpa kabar. Lalu, aku dibuat repot.
Astaga, kotor sekali! Pikirku.
Sangat buruk. Hanya ada kebun tak terawat dan deretan rumah terlalu sederhana. Besar rumah tak ada separuhnya dari luas kamarku. Walau harus mengakui ada beberapa rumah cukup bagus dibanding rumah lain.
Jika memang Maximillian di sini, apa dia ablepsia memilih tempat tak apik sama sekali? Sungguh terlalu.
Namaku Norlorn, memangku jabatan sebagai panglima muda kerajaan Etchaland sebelum menggantikan ayah menjadi panglima tertinggi negeri beberapa puluh tahun lagi. Itu sudah peraturan, bukan prodeo. Di kemudian hari, semua panglima muda kerajaan setiap wilayah akan menggantikan ayah mereka menjadi panglima negeri atau panglima tertinggi melalui keputusan para raja yang berwenang.
Kiri, kanan hanya ada pohon besar, persawahan, dan ilalang renggang. Bangsa macam apa sebenarnya pemukim teritori di sini? Kebersihan tak terjaga dengan baik.
Belum sampai sepuluh menit berpikir, ada sebuah pukulan dari samping nyaris mengenai wajahku. Gila!
Kalau saja reflek tak baik, tubuh sudah gepeng oleh makhluk berbulu hitam, bertubuh besar, dan berbau singkong bakar ku temui di jalan.
Makhluk itu melakukan penyerangan. Kami saling memukul, menonjok, menendang bersama gerakan tak berbobot lainnya yang dilakukan oleh makhluk besar berbulu lebat tersebut.
Boleh juga kekuatannya. Sayang, dia terlalu banyak melakukan agresi di awal. Sia-sia jika dia memakai tenaga untuk itu. Akhirnya dia menyerah, memohon ampun pada kuncian di lengan berbulu menjijikan miliknya.
“Cukup makhluk muda!” serunya meringis.
“Kenapa Anda menyerang saya?!”
“Aku penguasa wilayah ini. Jika ada yang masuk tanpa izin, itulah yang ku lakukan.”
“Maaf sebelumnya, saya tidak bermaksud memasuki wilayah ini.”
Tilikan mata merah dia belum sepenuhnya yakin. Si makhluk berbulu menyoroti layaknya melihat pengacau.
“Lalu, apa mau mu?” tanya dia. Suaranya menggelegar bak guntur.
“Apa Anda melihat seekor pinguin berbulu jabrik di kepala mengenakan dasi kupu-kupu?”
Sebenarnya aku sangsi, mengingat sambutan kurang ramah tadi. Di satu sisi, ada baiknya bertanya. Bisa saja dia melihat Maximillian.
“Pinguin berdasi kupu-kupu?” Dahinya berkerut.
“Iya, apakah Anda melihatnya?”
“Sepertinya iya.” Dia mengangguk. Kepala dia mendongak ke sebuah gapura besar bertuliskan BAJONG.
“Bajong?”
Nama tempat aneh tapi mencuri perhatian.
“Kau bingung makhluk muda?”
“Tentu saja.”
Tak dapat dipungkiri, selain menjadi pusat perhatian, nama asing di telinga juga membuat penasaran.
“Itu nama desa salah satu wilayah kekuasaanku.” sahut dia.
“Anda yakin pinguin kerajaan saya ada di sana?”
“Aku yakin melihatnya makhluk muda.”
“Baiklah. Anda bisa mengantar saya?”
“Bisa. Dengan syarat kau melepas kuncian dirimu di lenganku. Aku mengaku kalah, makhluk muda.” ujar dia.
Sepertinya makhluk ini baik meski wujudnya membuat bulu roma berdiri. Bulu-bulu kasar tumbuh dari ujung rambut hingga kaki berwarna hitam sekaligus lebat bagai akar gantung pohon beringin.
“Terima kasih, makhluk muda.” Dia tersenyum sembari memperlihatkan gigi yang tak rata bersama taring.
“Sama-sama, Paman.” jawabku.
“Aku Genderuwo. Kau siapa dan dari mana asalmu?”
“Saya Norlorn. Bangsa Elf penghuni Hutan Hitam di Baden-Württemberg, Jerman.”
“Rupanya, kau memang bukan berasal dari sini. Maaf aku menyerangmu tanpa bertanya.”
“Tidak usah dipikirkan, Paman.”
“Sebagai permintaan maaf, aku akan terus membantu mencari pinguin temanmu. Bagaimana?”
“Dia bukan teman saya, tetapi penasihat kerajaan.” Aku menggeleng, meluruskan dugaan makhluk bernama Genderuwo.
“Kau keluarga kerajaan?!” Mata dia membelalak.
“Iya.”
“Seandainya aku tahu kau adalah keluarga kerajaan, aku tidak akan menyerangmu.”
“Tidak apa-apa, Paman. Tak kenal maka tak sayang.” Aku tersenyum.
“Kau bisa memanggilku, Gondo.”
“Paman dapat memanggil saya, Noey.”
“Nama yang bagus, makhluk muda.”
Paman Gondo memimpin dari depan sambil memasuki desa. Tak ku sangka, sama parahnya dengan wilayah kekuasaan dia sebelumnya. Bahkan lebih merusak mata, aku sampai tak bisa berkata kalimat bagus untuk menceritakan tempat ini.
“Jangan kaget makhluk muda. Inilah desa,” katanya.
Miris! Positifnya jalan desa ini sudah rata, mirip jalan besar ku lewati sebelum bertemu Paman Gondo.
“Keadaannya begitu miris,”
“Daerah ini masih lebih bagus dibanding daerah lain!” Paman Gondo agak ketus. Amat terlihat dia membela daerah kekuasaan milik dia dari caranya berbicara.
“Daerah lain lebih parah?”
“Tentu saja!”
“Maafkan saya,”
Aku menjaga jarak sebelum Paman Gondo berubah pikiran. Lebih baik mencegah daripada berkelahi lagi.
“Tidak perlu kaku begitu makhluk muda.”
“Saya hanya ingin mencegah hal tadi terulang, Paman.”
“Aku tidak akan menyerangmu. Aku ‘kan sudah bilang.”
“Terima kasih untuk pengertian Anda, Paman.”
“Justru, aku yang berterima kasih makhluk muda.” ujar Paman Gondo.
“Saya ingin pinguin kerajaan saya kembali pulang.”
“Kau yakin tidak mau bermukim beberapa hari di sini?” Dia menggoda.
“Tidak. Terima kasih,”
Bermukim? Bisa-bisa, aku meninggal terlebih dulu sebelum menemukan Maximillian!
“Aku mengerti, Noey. Pasti kau akan berubah pikiran setelah ketemu dia.” Paman Gondo terkekeh.
“Bertemu siapa?”
Paman Gondo menunjuk ke sebuah rumah sederhana bercat hijau tak merata, pintunya berwarna putih kusam. Lampu teras menyala, di dalam kelihatan redup. Aku mencium aroma Maximillian dari luar.
“Ada apa denganmu, makhluk muda?”
“Saya merasakan keberadaan pinguin kerajaan saya.” Aku menjawab sambil berusaha menembus pandangan ke dalam rumah.
“Kau yakin, Noey?”
“Saya yakin sekali Paman, Maximillian ada di dalam.” Jemariku menunjuk sebuah jendela tertutup gorden di samping rumah.
“Kalau kau yakin, masuk saja.”
“Memangnya tidak apa-apa?”
“Tidak, aku berani jamin. Dia mengenalku, makhluk muda.” jawab Paman Gondo menepuk bahu.
“Dia siapa?”
“Salah satu penghuni rumah.” Paman Gondo berkata pendek.
“Terima kasih, Paman.”
“Selamat mencari, Noey. Semoga kau juga menemukan cintamu.”
Paman Gondo berbalik arah dari rumah, sepersekian sekon menghilang dalam pekatnya malam. Aku belum sempat mengucap salam perpisahan jejaknya sudah tak ada. Tunggu… apa maksud perkataan dia? Semoga menemukan cinta? Ah— paling cuma meledek. Mana sempat aku mengurusi perempuan?
Namun semua persepsi membelot sejak masuk ke dalam. Dapat dibilang, ada sosok meruntuhkan pertahanan hati terhitung malam ini.
Paman Gondo benar, barangkali aku memang menemukan cinta pada sosok perempuan manusia berambut ikal berwarna cokelat panjang sedada yang sedang tidur di salah satu kamar. Di kamar lain ada perempuan tua selain dirinya.
Dari dalam kamar, rupanya Maximillian sedang memperhatikan si nona dengan saksama. Mata dia naik turun berbarengan kepala dan paruhnya.
“Max, apa yang kau lakukan di sini?!”
“Ssst... jangan berisik bayi besar,” Dia menutup paruhnya dengan sayap.
“Bayi besar!?” Aku memelotot. Padahal, dia lebih banyak membuat ulah dibanding membuat untung.
“Iya, kau memang bayi besar berusia tiga ratus tahun yang manja!” Dia mencibir.
“Awas kau!”
Kalau saja Maximillian bukan pinguin kerajaan, sudah ku cincang detik ini juga!
“Aku sudah mengasuhmu selama ratusan tahun. Bukan begitu?” tanya dia. Paruhnya membuka setengah, meninggalkan senyum mengejek.
“Lalu kenapa?”
“Tuh lihat.” Paruhnya mengarah ke dara di pembaringan.
“Memang dia kenapa?”
“Dia yang membawaku kemari, Norl!”
“Mengapa bisa?”
Tak mungkin! Negeriku dan daerah ini trilyunan mil jauhnya. Bagaimana ceritanya pinguin menyebalkan di sampingku bisa sampai di sini dari perantara wanita sedang tidur?
“Aku juga tidak mengerti, Norl. Tubuhku terseret begitu saja.” Maximillian mengangkat bahu.
“Ayo kita pulang.” Aku mengajak Maximillian keluar kamar.
“Aku mau saja pulang, Norl. Tapi—“ Maximillian membisu. Matanya mengarah ke jendela. Aku cuma melihat jalan sepi dari gorden.
“Apa yang salah?” Aku mengerutkan alis.
“Kita tidak bisa pulang, Norl.” jawab Maximillian lesu.
“Apa? Kau tidak bercanda ‘kan Max?!”
Sulit dipercaya kami berdua terjebak di daerah asing tak ada apa-apa. Hanya ada jalanan sepi dan rumah terlalu sederhana. Kepalaku pening. Sangat merepotkan pinguin yang satu ini. Dia bilang kami tak bisa pulang. Aku yakin bukan tak bisa, pasti ada cara lain kembali ke negeri yang damai dan serba ada.
“Aku tidak bercanda, Norl. Portal yang membawamu dan aku hilang begitu saja!” seru Maximillian. Kemudian tubuh sedang tidur bergerak, matanya perlahan terbuka. Gawat! Aku harus bersembunyi sebelum dia melihatku. Intuisi mengatakan dia bukan gadis biasa.
Cepat-cepat aku bersembunyi di balik dinding kamar. Ku tengok dari balik pintu sedikit terbuka. Apa yang dilakukan Maximillian? Mengapa dia masih ada di sana? Bagaimana jika orang itu melihat Maximillian?
Dua pasang mata saling berhadapan. Maximillian melambaikan sayap pada dia. Gadis di tempat tidur mengucek mata beberapa kali di depan Maximillian. Roman dia tampak tak percaya. Tubuh dia kembali lemas bersama terpejamnya mata.
Dia pingsan? Maximillian sungguh kelewatan! Menakuti perempuan merupakan perbuatan kurang baik. Kalau sampai tak sadarkan diri karena ulah Maximillian, diri ini tak akan memaafkannya!
“Max, kau apakan dia?!”
“Aku tidak melakukan apa-apa, Norl!” bantah Maximillian.
“Apa yang terjadi?”
“Aku tidak tahu,” Maximillian mengusap kepala.
“Sekarang cari tahu solusinya dengan kalung permatamu, Max!” ujarku keras. Kesabaran sudah mencapai puncak, ingin ku ledakkan semua sampai menjadi lahar panas meleleh dari ubun-ubun.
“Aku tidak membawanya, Norl.” ucap dia santai.
“Kau ini!”
Sabar Norlorn, Maximillian sudah tua. Begitulah kelakuan makhluk tua, lebih banyak menyusahkan dibanding tidak. Dia juga sudah ada di istana mengasuh aku, kakak perempuanku, dan para pangeran kerajaan sedari lahir dalam hitungan hari hingga dewasa muda. Kasih sayang Maximillian bagai kasih sayang ibu, tak terhingga sepanjang masa.
Maximillian sudah dianggap ayahku juga Paman Morgan sebagai pengganti ibuku dan ratu yang gugur dalam peristiwa pemberontakan seratus lima puluh tahun lalu. Terkadang dia membuat naik darah, jalan pikiran dia tak dapat ditebak. Hari ini, dia menguras kesabaran membuat kami terdampar di daerah asing tak prestisius. Jauh dari kata indah. Lebih mirip tempat pembuangan sampah akhir daripada desa.
Apa penyebab seorang gadis tahan tinggal di tempat kumuh? Rumah ini memang masih layak untuk ditinggali, beranalogi terbalik dari rumah tak layak tinggal di sekitar. Aku menemukan dominasi rumah kurang bahan bangunan. Lebih mirip bangunan seperempat selesai dibanding.
“rumah”.
“Sungguh di luar dugaan.” Maximillian mengangkat paruh.
“Semua karena kau, Max!”
“Bisa tidak, kau tidak menyalahkanku saat genting?!” Maximillian berkeriau. Suara dia mengakibatkan pencemaran vestibula.
“Makanya, cari jalan keluar!”
“Sebentar, aku sedang berpikir.” ucap Maximillian.
Masih bisa santai saat seperti ini? Pinguin tua pembuat sewot memang!
“Jangan terlalu lama berpikir!” Aku mendesak.
“Sabar dulu, Norl.” Dia mengelus bulu kepala berulang kali. Sepertinya Maximillian memang bersungguh-sungguh mencari cara supaya bisa kembali pulang ke alam kami. Satu-satunya alasan aku ingin cepat kembali adalah perbedaan dimensi dan kebiasaan begitu jauh.
Ayolah Max! Aku sudah tak sabar ingin kembali pulang.
“Kau membawa kalung permatamu, Norl?” tanya Maximillian tiba-tiba.
“Aku membawanya. Apa yang bisa dilakukan dengan kalungku?”
“Pinjamkan aku kalungnya, Norl.”
“Untuk apa, Max?”
“Kau tidak perlu banyak bertanya, nanti tinggal terima beres.” Maximillian tersenyum lebar. Kemudian meminta memakaikan kalung permata kepunyaanku kepadanya. Maximillian mengucap mantra, membentuk sebuah bola energi yang terpancar dari bandul kalung.
“Kau—“
“Dengan ini kita bisa membuat portal cadangan untuk kembali, Norl.” Paruhnya menganga, matanya mencerling ceria padaku seolah dia ilmuwan yang berhasil menemukan penemuan terbaru di abad ini.
“Kenapa tidak kau lakukan dari tadi!” seruku.
Saat aku berseru, nona di tilam bergerak. Kelopak mata dia tetap menutup. Berarti bukan pingsan, hanya kembali tidur sesaat berhadapan dengan Maximillian. Aku lega. Cuma sekejap pergerakannya, perlahan dia bangun sambil membuka mata.
Jangan sampai dia melihatku. Aku harus pergi dari rumah ini sekarang.
Maximillian mengepakkan sayap kiri dia, memberi kode agar aku bersembunyi di balik dinding. Tapi terlambat, dia telanjur melihatku dan Maximillian. Dari roman, dia tampak terpukau melihat Maximillian dan aku ada di kamarnya.
“Siapa kamu?” tanya dia.
Perempuan berambut ikal berantakan nampak heran. Peraturan tetap peraturan, aku harus beranjak dari sini tanpa bisa memperkenalkan siapa aku kepada manusia. Maximillian kembali mengibaskan sayap, memberi kode supaya bertolak dari kamar.
Ku menjauh seraya menunggu Maximillian di balik dinding. Depan kamar terhubung dengan ruang makan sekaligus ruang keluarga. Atmosfer kesederhanaan rumah begitu terasa. Sedikit ku kagumi walau sangat minimalis ukurannya. Ada kehangatan tersembunyi di ruangan.
Angin hangat ruangan membuat pikiran terasa lebih segar dan jernih. Kalau aku menuruti saran Paman Gondo untuk beberapa saat lebih lama di sini boleh juga. Siapa tahu, memang ada hal baru ku temui.
Maximillian sudah keluar dari kamar. Dia kelihatan tak mengalami luka atau penyerangan dari makhluk lain di sekitar rumah yang mencoba masuk. Dari dalam juga tak ada jeritan sebagaimana ku dengar dari beberapa teman saat menemui manusia.
“Ayo kita pulang, Norl.” ajak dia ke pintu belakang rumah. Sebuah portal berpendar merah lembayung sudah menanti kami untuk kembali. Serta-merta aku menjadi kukuh, tak ingin pulang sekarang.
“Tunggu, Max!”
“Ada apa denganmu, Norl?!”
“Aku berubah pikiran. Aku ingin lebih lama di sini,”
“Ayo kita pulang, Norl.” ajak dia ke pintu belakang rumah. Sebuah portal berpendar merah lembayung sudah menanti kami untuk kembali. Serta-merta aku menjadi kukuh, tak ingin pulang sekarang.
“Tunggu, Max!”
“Ada apa denganmu, Norl?!”
“Aku berubah pikiran. Aku ingin lebih lama di sini,”
“Kau bercanda!?”
“Aku serius.”
“Kau mendesakku agar bisa pulang, sekarang tidak jadi? Apa-apaan!?” Maximillian mendumel. Dia berkoak-koak menumpahkan rasa jengkel pada dinding sambil mematuk pinggangku.
“Maafkan aku, Max. Kalau kau ingin pulang, duluan saja. Aku menyusul.”
“Baiklah.” Dia melepas kalung permata sembari memberikan padaku. Dia mengulang cara tadi agar aku dapat kembali kapan saja. Maximillian meruntuk sepanjang langkah sampai memasuki portal bersama kalimat andalannya, bayi besar berusia tiga ratus tahun yang manja.
Maximillian adakalanya membuat kesal, tapi aku tahu dia sepenuh hati mendidik seluruh penghuni istana. Menyayangi tanpa pamrih, melayani dengan tulus, dan mengabdi pada kerajaan hingga detik ini.
“Tolong bilang Paman Morgan dan ayah, aku akan pulang nanti.”
Maximillian mengangguk pelan. Lalu, portal mengecil dan seketika lenyap. Nona di ranjang kembali mengingatkan pada sosok manusia telah lama hilang di hidupku. Gadis kecil pernah ku tolong pada waktu dia terperosok di Bächle. Pada saat itu, umurku seratus tiga puluh tahun.
Dia kira-kira berumur sebelas tahun usia manusia.
Ku cari dia hingga ke rumah. Rumahnya kosong, hanya menyisakan barang berat. Pintu rumah juga terkunci. Praduga Akshita meninggalkan kota Freiburg selamanya timbul dalam benak. Dia menghilang tiba-tiba, membuat luka hati begitu dalam. Kehilangan tanpa alasan jelas amat menyakitkan. Sejak itu, aku tak mengurusi perempuan dalam kehidupan selain keluarga.
Malam ini, aku melihat dia kembali. Apakah ini memang nyata? Hanya ada dua cara untuk membuktikan dia manusia ku cari atau aku salah. Cara pertama, bertanya langsung padanya kenapa Maximillian bisa terseret ke sini dan mengingatkan satu hal pada dia. Jika memang perempuan itu adalah Akshita, tentu dia akan ingat hal pernah ku berikan.
Ku hampiri dia di kamar dan bersandar di pintu. Ekspresi dia tetap sama, heran. Aku tertawa kecil untuk membuat suasana lebih santai.
Apa dia sudah lupa padaku? Sosok yang selalu ada untuk dia selama di Freiburg? Aku berjalan ke pinggir ranjang, mengamati dia lebih jelas.
“Siapa kamu?” Dia mengulang kalimat.
Akshita, sebegitu cepatnya kau lupa? Kau tak ingat janji selalu bersama selamanya yang pernah diucapkan saat di hutan hitam waktu itu?
“Kamu bisu? Semoga kamu bukan makhluk jahat. Maaf sudah memanggilmu.” ucap dia tenang.
Dia sudah berubah bukan seperti Akshita ku kenal dulu. Aura miliknya juga pudar. Saat di Freiburg, aura ceria dan hangat. Yang ku rasakan malam ini aura sedingin es lebih dominan dibanding aura keceriaan.
Sejenak, pertanyaan dia menyadarkanku. Aku dibilang bisu?! Seenaknya saja dia bicara. Mungkinkah Akshita amnesia? Dia berubah drastis pada sosok yang menyayangi dia selama ini. Wanita di depanku benar Akshita atau cuma manusia lain mirip dengannya? Satu pertanyaan dapat membuktikan dia sosok ku cari atau bukan.
“Seharusnya aku yang tanya, kau ini siapa memanggil sahabatku kemari?”
Aku sadar, Maximillian secara tak langsung menjadi sahabatku juga meski usia kami terpaut jauh. Dia bungkam, tak menjawab pertanyaan. Sekonyong-konyong menjadi ragu. Seingatku Akshita bisa berbahasa Jerman.
“I’m sorry, i can’t understand. Can you speak Indonesian?”
Dia balik bertanya dan meminta berbicara dengan bahasa Indonesia. Sepertinya, dia bukan Akshita. Aku memang belum yakin. Kemungkinan lain, Akshita sudah lama tak memakai bahasa Jerman. Akibatnya linglung, tak mengerti pertanyaanku.
Aku mengangguk, “Maaf, aku kira kau mengerti.”
“Nggak.” kata dia.
“Siapa dirimu memanggil sahabatku dan bilang diriku tunawicara, hah!?”
“Aku nggak pernah memanggilmu. Dia datang tiba-tiba. Maaf telah mengusik.” Terucap keresahan dia sekelip.
Dia memang tak memanggilku, tapi dia membawa Maximillian terseret ke sini tanpa tahu risiko untuk kami jika terlalu lama terjebak.
“Ku anggap ketidaksengajaan.” Aku duduk di ujung ranjang.
“Maaf.” cakap dia. Manik matanya tak berani menatap mataku.
Kejahilanku sepertinya kambuh. Bagaimana dengan sedikit keusilan malam menjelang pagi?
“Akan ku maafkan, kalau kau—“
Omongan sengaja ku penggal. Konon, cara ini dapat membuat para wanita semakin ingin tahu. Begitulah kata sahabatku, Erlan. Panglima muda dari wilayah barat terkenal sebagai playboy kelas wahid dalam negeri.
Aku menurunkan tubuh, mendarat di atasnya berbarengan senyum memprovokasi. Mimik dia gamblang memvisualkan jinak-jinak merpati.
Ada cara terakhir untuk membuktikan apakah dia sosok ku cari atau hanya mirip. Perawakan terlihat sama, gaya berpakaian hampir sama walau malam ini lebih maskulin. Satu hal lagi belum ku verifikasi, seandainya dia Akshita pasti dia ingat kejutan pemberianku saat dia ulang tahun ke dua belas.
Perlahan ku dekatkan bibir ke wajahnya, kemudian...
Dia terperanjat tatkala ciuman berlabuh di bibirnya. Benar peramalanku, perempuan ini hanya bermiripan Akshita bukan Akshita. Andai tak memverifikasi melalui cara ini, aku tak akan tahu kebenaran. Tetapi firasat lain timbul dalam batin, dia ada hubungan dengan Akshita. Bukan tanpa alasan, sepasang kornea berbeda warna mengingatkan afeksi Akshita terhadapku dulu.
Dia membatu. Visibel dia membeliak kaget. Kelu tampaknya.
“Aku tahu yang ingin kau tanyakan. Anggap saja ciuman itu manisan pembuka.” Aku menerka pertanyaan dari gestur dia.
“Maksudmu?” Dia terkejut, badan dia bergeser seinci.
“Kau akan tahu nanti, aku pamit dulu.”
Ku kedip sebelah mata sekejap. Raut dia malu-malu. Erlan tak bohong, kedipan mata bisa menjadi alternatif melihat ekspresi tersipu dari wanita.
“Mau ke mana?” tanya dia bersikeras menahanku.
“Nanti saja ku beritahu pada pertemuan selanjutnya. Sebaiknya kau tidur. Selamat tinggal.”
Aku bangun dari tubuhnya sembari meninggalkan ruang tidur. Dia membiarkan diriku pergi dengan banyak pertanyaan belum sempat dia ucap. Sebagai perkenalan, segenggam serbuk peri ku tiup untuknya. Serbuk peri meninggalkan jejak berkerlip bersama refleksi di kamar.
“Semoga dia bukan pembohong.”
Suara hati dia terdengar di telinga, membuat aku terdorong mengenal lebih jauh wanita muda serupa Akshita, sosok pembawa separuh hati pergi.
No comments:
Post a Comment