Aku tidak akan mengetahui apa penjelasan mengapa tamu dilarang turun ke
ruang makan sebelum dipanggil, kalau menetap di kamar ini. Terpaksa
menjalankan gerakan nekat, turun melalui balkon kamar. Melalui pintu,
tidak akan bisa. Norlorn sudah mengunci dengan pelintuh sepertinya.
Karena, timbul cahaya ungu pada bagian kenop.
Ini disebut terjebak dalam kesialan, bukan terjebak dalam nostalgia.
Memang niat Norlorn baik, agar aku mematuhi peraturan. Tapi, dia malah
membuat tambah ingin tahu. Lebih baik sebelum pergi, periksa jendela.
Perasaan, dia hanya memantrai pintu agar tidak bisa keluar.
Kemungkinan, jendela tidak dimantrai. Mari beranjak!
1…2…3…
Arrgggh… sial! Jendela juga sudah dimantrai tanpa aku lihat rupanya.
Benar-benar Norlorn itu! Bagaimana caranya keluar? Mau sampai kapan aku
di sini? Di luar, angkasa sudah penyap, tiada bintang seperti ku lihat
sewaktu bersama Norlorn. Kapan makan malam dimulai? Waktu jam dinding
sudah menunjukkan pukul 7 malam.
Rasanya seperti pingit. Ya ampun, di manapun aku berada kenapa
selalu ada aturan pengekangan? Memang, ku akui di sini lebih enak dari
segi fasilitas.
Mondar-mandir… laksana setrika. Kenapa tidak dipanggil? Ataukah tidak
diundang makan malam? Cuma, kondisi sekarang memiliki pilihan sulit.
Bukan kegeeran, bisa saja tidak mendapatkan salah satu atau keduanya.
Diri ini sadar diri, rakyat jelata mana bisa mendapatkan keluarga
kerajaan? Memangnya dongeng? Realistis saja! Apalagi, ini alam lain.
Paling-paling, pangeran atau Norlorn sama saja, mencari pelampiasan saat
mereka bosan. Lalu, bagaimana dengan anak dalam tubuhku ini? Apakah
memang ada atau pura-pura supaya pangeran tetap bisa “mencicipi”?
Bagaimana dengan Norlorn? Tidak menutup kemungkinan bekerja sama dengan pangeran. Siapa yang tahu?
Jika iya, brengseklah mereka! Tidak ada bedanya dengan pria buaya
buntung dan mata ke ranjang. Salah memang, termakan rayuan murahan dari
mereka. Laknatlah diriku, terperdaya paras cakap baik pangeran dan…
Norlorn sendiri.
Giovani… kenapa kau selalu mengulang kesalahan sama berkali-kali? Menggelikan!
Dasar otak sialan! Bisa-bisanya ada pikiran begitu di diriku.
Yang aku inginkan sangat jelas, keluar dari sini secepatnya! Untuk
sekarang, hanya dapat menunggu ada panggilan ke ruang makan. Jarum jam
tetap membunyikan sekon, begitu cergas bagai perasaan tidak sabar
diriku.
Waktu di sini sangat ajaib, baru ku menoleh ke belakang… angka jarum
panjang menunjuk ke pukul 7 malam lewat 15 menit. Secara normal, makan
malam seharusnya telah selesai. Jangan-jangan, aku tidak diundang makan
malam bersama para pangeran dengan raja, pelayan dan keluarga Norlorn.
Tidak apa-apa, diriku tak terlalu berharap untuk makan malam bersama
mereka. Jika diundang aku senang, tidak diundang aku tidak sedih. Cuma,
ada rasa penasaran tinggi mengapa tidak boleh keluar sebelum dipanggil.
Itu saja.
Beraneka macam mantik meretas otak, tidak tahu harus memulai jawaban
dari mana. Sebelum menemukan jawaban pikiran timbul, pintu kamar terbuka
pelan. Dari luar, seekor pinguin berbulu hitam dengan perut berbulu
putih masuk. Bulu bagian atasnya jabrik, persis ku lihat di reka adegan
pesta dansa dan pertama kali dia datang ke rumah secara samar.
“Nona Giovani….”
Suara pinguin itu cempreng, malah jadi mengingatkan aku pada kartun
sulih suara tv nasional. Pinguin gemuk nan imut membungkuk padaku.
“Ya,” Aku mengikuti caranya.
“Perkenalkan, saya Maximillian pengawas istana ini. Anda dipanggil untuk
menghadap keluarga kerajaan di ruang makan.” ujar dia merentangkan
salah satu sayapnya ke depan.
“Baiklah, mohon bantuannya Maximillian.”
Aku mengikuti arahan dari Maximillian sampai ke ruang makan. Di sana,
sudah menunggu termasuk Norlorn dan Ayahnya. Ada juga sosok perempuan
berwarna rambut persis seperti tuan Nyvorlas, panjang ikal sedada
bergaun tanpa lengan semata kaki. Mungkinkah, dia adalah Nueleth, Kakak
perempuan Norlorn? Tatapan sosok itu kelihatan kurang ramah dari meja
makan. Seakan tidak suka ada manusia asing di sini. Sajian makan malam
masih belum tersentuh. Selama 15 menit, mereka melakukan apa? Apakah
makan malamnya belum dimulai?
Ruang makan berdesain Eropa klasik yang megah, kursi berlapis emas
berikut mejanya membuatku kagum. Ingin berteriak, takut menganggu.
Terlebih melihat tatapan dingin perempuan cantik dari salah satu kursi
keluarga kerajaan.
“Yang Mulia, Nona Giovani sudah datang,” ujar Maximillian membungkuk.
“Tolong kau ajak dia ke kursi sebelah anakku, Taeglyn.” tunjuk raja
mengarahkan Maximillian pada sebuah kursi kosong bagian kanan, tempat
para pangeran duduk Taeglyn kelihatan sumringah begitu diriku menduduki
kursi sebelahnya.
“Giovani calon istriku, Ayah.” ujar Taeglyn menunjukku.
Seketika, perempuan berambut panjang ikal berwarna abu kepekerakan
berdiri dari kursi makan. Tangannya menunjuk Taeglyn bersama tatapan
kemarahan.
“Apa-apaan kau ini, Taeglyn!” seru dia.
“Nueleth, berani kau bicara begitu pada pangeran?!” Taeglyn ikut tersulut.
“Ya, kau memang pangeran di luar. Tapi, tidak untuk di dalam istana. Paham!?”
“Beraninya… kau!” Taeglyn memelotot, tangannya mengepal seakan ingin memberi bogem mentah.
“Taeglyn, Nueleth… cukup!” Tuan Nyvorlas menginterupsi.
“Dia yang memulai, Ayah!”
“Paman, aku tidak memulainya. Dia yang memulai!”
“Sudah! Bisakah kalian tidak bertengkar sebentar saja?!” Tuan Nyvorlas memerintah.
“Ayahmu benar Nueleth, bisakah kau tidak bertengkar sehari saja dengan putraku?”
“Maafkan diriku, paman.” Nueleth menunduk.
“Betul apa yang dibilang Ayah, kalian sudah dewasa. Tidak baik
bertengkar di depan tamu.” sambung pemuda gondrong berwarna rambut krem,
berpupil mata ungu dan beranting permata seperti Norlorn.
“Adikmu yang memulai, Ruvyn!” Nada suara Nueleth mencerminkan kekesalan.
“Kakak, berhentilah. Aku muak dengan keributan kalian.” Norlorn menengahi, menatap Nueleth sebal.
“Kau sebagai Adik, seharusnya membelaku!”
“Bukan begitu maksudku, Kak. Ada baiknya, kalian tidak bertengkar. Apa
kau tidak malu bertengkar di depan calon istriku juga?” Norlorn
melirikku yang bingung.
“Ada-ada saja,”
Dua pangeran lain menggeleng kepala. Sedangkan, para pelayan dan Maximillian kompak msngangkat bahu dari kursi masing-masing.
Kenapa mereka itu?
“Sudah saatnya, aku sebagai pemimpin kerajaan Etchaland akan
memberitahukan solusi dari permasalahan yang menimpa putraku, Taeglyn
dan keponakanku, Norlorn.” Raja menyapu pandangan seluruh penghuni ruang
makan termasuk diriku.
Sang raja kembali menatap Norlorn, Taeglyn dan aku. Kemudian, dia
maneruskan pembicaraan, “Sudah ribuan tahun usia negeri ini, baru kali
kedua diriku menemukan permasalahan yang sama. Tentang perebutan dua
hati pada satu hati.”
Raut wajah semua keluarga kerajaan di kursi menegang, masih menunggu narapati bersuara lagi.
“Cinta… kasih memang tidak dapat dipaksakan, namun sudikah kalian untuk bersaing dalam turnamen yang ku adakan?”
“Turnamen?” Nueleth tercengang.
“Ayah, turnamen apa itu?!” sahut Taeglyn.
“Pertarungan sejauh mana kemampuan ilmu pedanngmu dan Norlorn, putraku.”
“Untuk apa Ayah mengadakan kompetisi itu!? Aku tidak setuju!” Taeglyn memberontak.
“Betul paman, diriku juga tidak setuju Adikku bertanding dengan Taeglyn!” Nueleth ikut mencibir.
“Peraturan tetaplah peraturan, perempuan ini memiliki garis keturunan
ras matahari. Tidak semudah bangsa bulan untuk didapatkan.” Raja
tersenyum penuh arti menunjuk diriku dari kursi.
“Tapi, aku tidak setuju harus bertarung, Ayah!”
“Jangan kau bantah Ayahmu, putraku.” Dia menggoyangkan jari telunjuknya ke Taeglyn.
“Semua juga tahu, Giovani akan memilihku. Jadi, lupakan saja pertarungan itu, Ayah!”
“Jangan gede rasa kau, Taeglyn! Jelas-jelas, Adikku yang melamar
kekasihnya terlebih dulu! Bukan seperti kau, merembut kebahagiaan
saudaranya sendiri!” Nueleth menggerundel.
“’Nueleth… jaga bicaramu!” Tuan Nyvorlas menyetop perdebatan.
“Kenapa Ayah malah membela Taeglyn?!”
“Nueleth, walaupun Taeglyn merupakan Adik sepupumu, dia adalah pangeran.
Keluarga kita hanya keluarga panglima,” sahut tuan Nyvorlas.
“Tapi Ayah, ini di istana bukan di luar!”
“Kau harus menghormati Taeglyn, nak.”
“Kau dengar sendiri ‘kan? Ayahmu saja membelaku.” Taeglyn tersenyum puas.
“Awas kau!”
“Memang, kompetisi paling tepat untuk putraku dan Adikmu, Norlorn.”
“Maaf Paman, aku tetap tidak setuju!”
“Paman, aku bersedia mengikuti kompetisi!” seru Norlorn dari kursi bagian kiri.
“Norlorn, jangan kau terima!” Nueleth mendelik.
“Kakak, kalau tidak mengikuti kompetisi, bagaimana aku memperjuangkan kekasihku sendiri?”
“Aku tahu. Tetapi, tidak dengan cara bertarung juga.”
“Nueleth, peraturan tetaplah peraturan.” Raja berkesikeras dari kursi.
“Apa alasan Paman mengadakan pertarungan?”
“Alasanku adalah, perempuan ini memiliki masalah yang belum
terselesaikan di dunianya. Benar, perempuan muda?” tanya dia menunjukku.
“Bbe.. tul, Yang Mulia.”
“Apa hubungannya dengan pertarungan, Paman?”
“Sebagai sesama makhluk Tuhan,, kita wajib saling membantu, bukan?”
“Ya, Paman.” Nueleth mengangguk.
Drama apa lagi ini? Serasa sinetron tv swasta nasional.
“Lalu?” tanya Taeglyn.
“Sebagai orang tua, aku juga ingin kau bahagia, Taeglyn.”
“Tapi, tidak harus dengan turnamen, Ayah!”
“Taeglyn, dengarkan Ayahmu. Turnamen ini ku buat agar aku lebih tenang.”
“Apa maksud Ayah?”
“Aku sudah tahu ada soaok manusia di istana ini. Selama di kamar, aku menyelidiki kalian,”
“Ayah… menyelidiki kami?”
“Ya, putraku.”
Tatapan Taeglyn menegang. Pupilnya melirikku lalu bergantian dengan
Norlorn. Aku sendiri tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Norlorn
ataupun Taeglyn. Jangan-jangan…
Apa iya, raja tahu apa saja kelakuan kami di istana sehingga dia mengadakan turnamen antara Taeglyn dan Norlorn?
“Menyelediki?” Dahi Norlorn berkerut.
“Aku sudah tahu kelakuan kalian berdua selama di istana.” Raja melirik jahil Taeglyn dan Norlorn.
“Pp… a… man…” Norlorn menelan ludah, disusul Taeglyn.
“Kalian harus bertanggung jawab dengan apa yang kalian lakukan!”
“Ya… ya… bb… aik, Ayah.” Taeglyn berbicara, dahinya menetes peluh.
“Aku tidak melakukan apapun, Paman.” Norlorn kebingungan.
“Aku tahu, kau tidak hadir di pesta dansa karena sedang bersama dia,” Raja tersenyum melihatku.
“Tapi paman…”
“Norlorn, aku tahu niat awal kau baik pada dia, tapi kau juga tidak bisa menjaga pandanganmu!”
“Maaf paman, aku tidak bermaksud begitu.”
“Betul Yang Mulia, sayalah yang menerima tawaran Norlorn.”
Aku menunjuk diri. Cuma di istana, aku bisa jujur depan raja dan
lainnya. Bahwa, aku sudah melakukan hubungan terlalu jauh dengan bangsa
mereka.
“Kau tidak salah, perempuan mungil. Keponakanku lancang padamu.”
“Tidak Yang Mulia, saya tidak pernah merasa Norlorn yang salah.” Aku menggeleng.
“Maafkan putraku juga, perempuan mungil.”
“Sudah saya maafkan, Yang Mulia.”
“Apakah kau setuju perempuan mungil, untuk turnamen ku adakan?”
“Saya setuju. Karena, saya tidak ingin ada sosok tersakiti. Menurut saya turnamen memang paling adil.”
“Giovani, apa yang kau katakan?!” Taeglyn mendelik.
“Pangeran, jika saya memilih Norlorn kau akan terluka. Kalau sebaliknya,
Norlorn juga akan ssdih. Biar bagaimanapun juga, Norlorn telah meminang
saya terlebih dulu.” Aku menjelaskan.
“Tapi….”
“Taeglyn, terimalah takdirmu. Jika Giovani memang bersamamu, kau akan mendapatkannya.”
“Betul Paman, aku juga percaya apa yang Paman katakan.” timpal Norlorn.
“Perempuan mungil, kau punya keluarga?” tanya Raja.
“Saya punya Kakak tiri laki-laki,”
“Kakakmu bernama Hikaru?”
“Iya Yang Mulia, mohon maaf… Anda mengenal Kakak saya?”
“Kakakmu itu teman baik dari anakku,”
“Anak Anda? Siapa?”
“Ayah!?” Empat pangeran teriak beraamaan.
“Tenang dulu anak-anak, jangan salah paham.”
“Ayah punya anak selain kami?” tanya pangeran berambut panjang hitam.
“Ya, sosok manusia seperti Giovani, keturunan matahari. Dia adalah anak angkatku.”
“Siapa, Ayah?”
“Anakku bernama Reira.”
“Reira?!”
“Ada apa, Norlorn?”
“Aku juga mengetahui dia, Paman.”
“Kau kenal Reira?”
“Waktu itu, aku bertemu Reira di kota Tokyo, Jepang.”
“Ternyata, dunia ini sempit.” Raja tersenyum lebar.
Astaganaga… Kak Reira anak angkat Yang Mulia? Kenapa bisa?
“Reira sering bercerita padaku, dia mempunyai teman baik bernama Hikaru.
Dia juga sering bercerita tentang Adik kembar dari Hikaru, Giovani.”
“Kak Reira, bercerita tentang saya?”
“Ya, Giovani.”
“Bagaimana bisa? Mohon maaf Yang Mulia, bukan saya bermaksud lancang. Ceritakan pada saya, di mana Anda mengenal Kak Reira?”
“Dua tahun lalu waktu negeri ini, aku tersesat di negeri futuristik tempat Reira tinggal akibat kecerobohan aku lakukan.”
“Kecerobohan apa, Ayah?” Taeglyn bertanya, ia kelihatan penasaran.
“Aku salah memasuki portal.” jawab Raja kesipuan.
“Ayah… sudah berapa kali aku bilang, jangan pernah keluar sendirian.” ucap pangeran Ruvyn.
“Aku juga ingin menikmati masa tua, anakku.”
“Aku paham. Namun, kalau terjadi apa-apa denganmu bagaimana?” tanya pangeran berambut panjang hitam.
“Betul, Ayah.” Pangeran berambut ikal belah tengah warna blonda es sebahu mengangguk.
“Jika terjadi apa-apa, itu sudah takdir. Tetapi, Tuhan menuntunku menemukan sosok baik di negeri lain.”
“Iya Ayah, aku tahu. Lain kali, jangan ulangi lagi kau pergi kemanapun sendirian.” Taeglyn melenggut.
“Tenang saja, aku masih bisa menjaga diri. Untukmu Giovani, bisakah kau memanggil Kakakmu kemari?”
“Bagaimana caranya, Yang Mulia?”
Raja menoleh pada Tuan Nyvorlas, “Kau bisa bantu Giovani, Nyvorlas?”
“Tentu saja bisa,” Tuan Nyvorlas mengangguk.
“Baiklah, jemput Hikaru dan Reira malam ini, kau bersedia?”
“Bersedia,”
“Aku ikut, Ayah.” Norlorn menawarkan diri.
“Ya, ada baiknya kau ikut Norlorn, agar Ayahmu tidak kesulitan menemukan Reira dan Hikaru.”
“Baik, Paman.”
“Ya sudah, sebaiknya kita makan malam. Sudah pada lapar bukan?” Raja terbahak.
Kondisi tegang berubah jadi menyenangkan, suara tawa bergema di ruang
makan. Tak ku duga, raja memiliki sifat supel pada keluarganya. Berbeda
sekali dengan negeriku, masih banyak manusia semena-mena dan membedakan
status sosial.
Pepatah lama bilang, adat lama pusaka usang. Bermakna setiap tempat
tinggal punya adat turun temurun. Termasuk negeriku dan alam ini.
Mungkin, di sini adat turun temurunnya menyenangkan, tidak bisa
disamakan dengan tempat tinggalku.
Jika turnamen adalah cara paling adil, siapa sosok penjagaku nanti? Semua akan terjawab setelah semuanya dimulai.
No comments:
Post a Comment