Tak teragak, aku mengalami masalah akibat perbuatan sendiri. Kepenatan
mencengkam manuver pendulum panggul yang semenjak tadi belum selesai.
Pangeran Taeglyn tak membiarkan diri ini bernapas oleh terjangan dia.
Kejantanannya merentak secara menuntut, mendongsok farji tanpa interval.
“Paduka, tolong berhenti….” erangku.
“Hentikan? Aku akan berhenti, tapi tidak sekarang!”
Lidah sadis sang putra mahkota merapah setiap dim gala diriku. Perlakuan
ia semakin barbar, napasku memburu, tak kuat dengan serangan dia tanpa
henti. Entakan ia tambah langkas, menyebabkan rasa sembiluan di
abaimana. Tak lama… bidasan dia melemah. Kemudian, keperkasaannya
stagnasi, bertumbukan bersama senyawa panas kuku tepercik masuk ke dalam
“milikku”.
Aku tidak tahu, apa yang dia rencanakan selain membohongi di menara.
Yang pasti, raga sudah tidak kuat meladeni putra makhkota termuda nan
agresif dalam kamar. Torsoku rengsa, turun lunglai di dada ia.
“Nona mungil, apa yang terjadi?”
“Saya lelah, paduka….”
“Maafkan aku,”
Tak ada yang berubah selain kelelahan melayani pangeran Taeglyn. Bahkan,
pakaian tidak lepas sama sekali, hanya basah karena pergumulan di
ranjang.
“Kau sudah menjadi milikku, Nona mungil….”
“Mohon maaf paduka, saya tidak bisa!”
“Mengapa tidak bisa!?”
“Sudah saya bilang, kasih tidak memilih.” Aku menolak halus.
“Aku tidak peduli, persetan dengan kalimat itu!”
“Saya menganggap, kita sama-sama sedang dikuasai nafsu tadi.”
“Nafsu? Bagiku tidak. Kau melakukan denganku, tandanya kau menyetujui aku!” seru pangeran, perkataannya memaksa.
“Apa maksud Anda, paduka sinting!?”
“Kau bilang apa!?”
“Paduka sinting!”
“Kau yang sinting! Tidak kah kau berpikir, aku lebih bisa membahagiakanmu dibanding Norlorn?!”
“Mungkin… Anda mempunyai harta yang berlimpah, calon raja di masa depan.
Namun, kebahagiaan tidak hanya dinilai oleh jumlah harta.”
“Kau…!” Pangeran Taeglyn memelotot, wajah ia mengungkapkan kemarahan.
“Ada apa pangeran? Anda ingin menyakiti saya?”
“Aku tidak akan menyakiti karena kau perempuan. Seandainya kau
laki-laki, sudah ku penggal kepalamu, Nona mungil menyebalkan!” seru dia
panjang.
“Lalu?”
“Aku akui, kau memang benar. Lantas, kau tidak peduli dengan cita-citamu?”
“Anda tahu apa dengan cita-cita saya?”
“Semua sudah terlihat jelas di mataku, Nona mungil menyebalkan!”
“Apa yang kau lihat!?”
“Kepopuleran dan harta, betul!?” Pangeran Taeglyn menatap mataku geram.
“Apa urusan Anda dengan itu?”
“Aku dapat membahagiakanmu dengan itu, jika kau jadi milikku.” Perkataannya bagai pasemon.
Dia menyindir rupanya! Tapi, apa yang dia bilang juga benar. Aku
membutuhkan semuanya untuk membalas dendam saudaraku pada mereka. Mereka
yang menyakiti sampai tekanan mental.
“Maaf, saya tidak perlu bantuan Anda,”
“Kau munafik, Nona mungil!”
“Saya nggak munafik, pangeran.”
“Akui saja, diriku lebih bisa membalaskan dendam saudara kembarmu, bukan?
Pangeran Taeglyn benar-benar membuat aku bingung! Tawaran menggiurkan dari pangeran sinting bagai pil pahit untuk diriku.
“Anda nggak akan bisa melakukannya, pangeran!”
“Tidak bisa? Kau belum mengetahui diriku, Nona mungil. Lagipula….”
Senyum dia melengkungkan serengit, matanya menentang macam raja rimba
lapar.
“Apa maksudmu, pangeran gila?”
“Aku sudah memasukkan calon bayiku di dalam kandunganmu, Nona mungil!”
Indra penglihatnya membidik tembolok, membikin terguncang sekejap.
“Anda brengsek, pangeran…!!”
Ku membekam leher bajunya keras. Tak disangka, dia bisa melakukan hal
lacur dengan sosok manusia calon istri dari saudaranya sendiri. Benar-benar keterlaluan!
“Aku brengsek? Kau yang sundal.” Dia terbahak keras.
“Brengsek…!!”
“Kau duluan menawariku untuk melakukan.”
“Tapi, Anda berbohong pada saya!” ucapku. Penentangan refleks keluar dari mulut.
“Salah kau sendiri mempercayaiku.” Suara ia datar.
“Saya akan bilang pada Norlorn, Anda bisa dijerat hukum dan masuk
penjara!” Aku mengancam. Dia malah tersenyum sembari geleng kepala.
“Kau yang akan di penjara, Nona sundal.”
Terlalu! Dia sudah membuatku berbadan dua hari ini melalui jauhar suam menyimbur dari alat vitalnya.
“Anda bohong!”
“Kau hanya punya dua pilihan, menerima tawaranku atau kau masuk bui. Katakan!”
“Lebih baik saya di bui daripada menerima tawaran Anda, pangeran!”
“Kau memilih di bui, Nona sundal? Bagaimana dengan kandunganmu?”
Ingin mencari solusi, malah terperangkap akal busuk putra mahkota
bajingan di sini. Kalau aku di bui, sudah pasti dia akan memutarbalikan
fakta. Sedangkan jika tidak….
“Baiklah… saya terima tawaran Anda.”
“Mengapa tidak dari tadi!?”
“Saya nggak akan menerima, kalau bukan karena calon anak Anda, pangeran edan!”
“Kau ingin bahagia atau tidak!?”
Tak ku jawab pertanyaan dia… semua sudah terjadi karena
kecerobohanku. Aku memang bodoh dan tolol. Mau saja dibohongi laki-laki
bajingan macam pangeran Taeglyn!
“Bersamaku, kau akan jauh lebih bahagia, sayang….” Pangeran Taeglyn
mencucup niaku seinci demi seinci, impresi geli memicu nafsu keduniawian
bungkas.
“Hentikan pangeran…”
“Sepanjang hidup, belum pernah aku melihat keturunan matahari semanis dirimu.” Pangeran Taeglyn bergemam.
“Saya hanya manusia biasa, pangeran.” Aku mendengus.
“Aku sudah bilang, tidak pandai bermain kata.”
“Dari mana Anda tahu saya keturunan matahari?”
“Sifat dan energimu, manis.” jawab dia memeluk pinggang.
“Anda hanya mengarang cerita, bukan?”
“Tidak. Bangsa kami mempunyai kemampuan untuk mendeteksi setiap makhluk yang datang kemari.” Pangeran menggeleng.
“Dari mana asalnya, saya adalah keturunan matahari?”
“Sudah ku bilang salah satunya barusan.”
“Hanya sifat dan energi?”
“Bukan, ada yang lain. Kau sendiri akan mengetahuinya nanti.” jawab pangeran.
“Anda bermain teka-teki, pangeran?”
“Itulah peraturannya.”
“Bagaimana dengan Anda sendiri?”
“Aku adalah keturunan ras bulan.”
“Ah, pantas mata Anda berwarna hijau, paduka.”
“Kau sudah mengetahuinya?”
“Tidak. Hanya, saya pernah membaca di sebuah artikel.”
“Kau dan aku bagai bulan dengan matahari,” Dia mengerling, tilikan
jangla matanya melindang memperhatikan jendela cahaya di pagu.
Ada apa dengannya?
“Pangeran, Anda baik-baik saja?”
Semoga dia tidak berbohong lagi padaku.
“Aku tidak apa-apa, hanya teringat… Ibuku.”
Air mata dia berderai ke pipi. Teringat Ibu? Apakah kejadian ku lihat di
menara merupakan kejadian sebenarnya? Atau hanya akal-akalan dia untuk
membuatku iba? Haruskah aku mempercayainya setelah apa yang dia lakukan?
“Aku tahu, kau tak percaya. Itu tidak apa-apa, setidaknya kau bisa
melihat mataku berbohong atau tidak.” ujar dia menatapku ulang.
Mungkin, untuk kali ini aku dapat mempercayai dia. Siapa tahu, dia
hanya butuh “teman”, walau cara yang dia lakukan padaku salah.
“Maafkan saya, paduka.”
Mata dia sembab, seperti menyimpan kesedihan lama. Ku usap air mata
milik dia dengan kedua ibu jari, mata sedih itu kian lama mulai
berbinar. Pangeran Taeglyn mematung, tak ada pembicaraan keluar dari
dalam mulutnya. Hanya ada tatapan mata mewakili diamnya sang putra
mahkota.
Semoga, keputusanku tidak salah. Bukan karena calon anak atau
kepopuleran dan harta ku inginkan, tetapi bagaimana cara menerima
keadaan dari-Nya.
Peribahasa: Bagai bulan dengan matahari: Sebanding; Sesuai
No comments:
Post a Comment