Kami berpandangan. Kafe Kastaniengarten Biergarten diam seribu bahasa. Tak ada aktivitas. Kursi dan meja tak lebih dari memento mori. Berkabung, meninggalkan memori episodik hari sebelumnya. Yang benar saja? Padahal aku belum makan.
“Norl, di dimensi ini sekarang hari, tanggal, bulan, dan tahun berapa?”
“Senin, sembilan Januari Dua ribu tujuh belas.”
“Pantas saja tutup. Kita lupa akan hal ini, Norl.” Erlan menepuk dahi.
“Hari Senin libur.”
“Padahal aku sedang ingin Putensteak mit Pommes.”
“Makan di istana saja, Er. Adome bisa membuatnya.”
“Boleh juga usulmu, Norl.” Erlan kesenangan mendengar penawaran makan di istana.
“Kita dituntut berpikir secara cepat dan tepat dalam strategi ‘kan, Er?”
“Kau benar, Norl. Strategi tepat waktu kafe tutup adalah makan di istana.” Erlan tertawa.
“Yang penting hari ini kita bisa makan. Ya ‘kan?”
“Yeah!”
“Titik portal untuk pulang ada di mana?”
“Di Schlossberg, Norl.”
“Bagus kalau begitu, kita tidak perlu ke The Mantistor.”
“Kali ini kita mujur. Aku tidak bisa membayangkan saat menuju portal berjingkrak-jingkrak dulu di Böchle.”
“Kita bisa dikira gila berjingkrak-jingkrak menggapai portal, Er.”
“Malangnya kita kalau begitu.”
“Kecuali kalau Parkour.” Aku menyelang.
“Apa?!” Erlan mencelikkan mata.
“Ayo Parkour.” ajakku. Aku tahu, Erlan akan menolak begitu saja usulan ke Schlossberg sekalian berolahraga Parkour. Roman dia pucat seperti mayat. Dari dulu dia tak suka Parkour selama kami sekolah. Menyusahkan kata dia. Setiap ada tes, Erlan selalu bolos.
Kami sudah sampai di Schlossberg, Erlan kelihatan kelelahan menyusulku duduk di bangku taman. Sudah kukatakan tadi, Jika kau ke Schlossberg, pemandangan itulah yang tampak. Kemodernan kota bergabung bersama keindahan alam Hutan Hitam. Eksentrik sekaligus luar biasa.
Sebelum ke puncak Schlossberg, aku memang sengaja singgah di taman mengistirahatkan Erlan. Taman besar lengkap dengan bangku-bangku dan teras untuk berkumpul bersama keluarga atau teman. Beberapa orang terlihat asyik membaca buku. Begitu juga aku, membaca buku pemberian Erlan berisi trik mendekati wanita kutemui saat tersesat di desa.
“Kau ini menyiksaku, Norl.” Napas Erlan terengah-engah. Dahinya berpeluh sebesar biji jagung.
“Olahraga, Er.” Aku mengikik.
“Norlorn, yang kau lakukan itu jahat!” Erlan mengerucut dan memajukan bibirnya. Aku yang tadinya ingin meminta maaf, malah jadi tergelak pada Erlan.
“Er, kau tidak trans karakter Cinta di film Ada Apa Dengan Cinta musim kedua ‘kan?”
“Sejak kapan aku suka menonton film jenis roman buatan manusia, Norl?” Erlan mendengus di bangku.
“Aku pikir kau kerasukan aktris Indonesia Dian Sastrowardoyo,”
“Sembarangan kau! Mana bisa manusia merasuki kita, Norl?”
“Barangkali kau pengagumnya sehingga jiwa dia merasukimu.” Aku tambah terbahak mengatakan kalimat itu meski reaksi didapat adalah raut muka Erlan memerah.
“Sudahlah, ayo kita ke puncak dan jangan Parkour lagi!”
Erlan berkacak meninggalkan bangku taman menuju puncak Schlossberg. Berjalan sendirian meninggalkan aku di belakang. Erlan jika sudah merajuk pasti begitu. Tak peduli sosok di belakangnya. Biarkan saja, dia tak akan tega meninggalkan aku di sini.
Dia menoleh, “Ayo Norl!”
Benar ‘kan? Dia bisa cepat meredam sifat ambekan miliknya bila aku tak melawan keinginan dia kurang sukai. Di puncak Schlossberg, portal berwarna keunguan menanti kami berharap cepat kembali. Untuk sesaat, kami berhenti bergerak menikmati horizon terbentang lebar di hadapan.
Semua kami dapat tanpa harus bersusah payah mendaki gunung terjal berjarak dengan kemajuan. Bahkan, anak-anak bisa sampai tanpa kelelahan atau kehabisan napas. Kecuali, kau memaksakan diri ke Schlossberg melakukan olahraga menguras tenaga seperti Parkour. Hehehe…
Kota Freiburg berhasil dengan gemilang menyeimbangkan modernitas, sejarah, mitos, dan kekayaan alam. Gabungan unsur yang menguatkan jati diri kota.
Hari ini hanya ada kami di puncak. Tepatnya, sudah tak menampakkan diri pada pengunjung agar memudahkan perjalanan pulang sebelum penduduk kota geger memberitakan dua pemuda hilang tanpa petunjuk di puncak Schlossberg.
Erlan maju memasuki portal dua detik sebelum aku masuk. Keadaan Schlossberg menyuram, pintu gerbang pembatas negeri dan kota Freiburg akhirnya menutup, lalu semua penglihatan menggelap.
***
“Norl…!!”
Erlan melaung di luar. Aku melongok, meninjau dari belakang. Kenapa kami ada di sini? Seharusnya kembali ke Hutan Delta Experimental, bukan di Hutan Cahaya. Hamparan rumput belang berayun lambat terkena angin utara, menyiarkan ejekan padaku dan Erlan. Mengolok-olok ketelitian dua panglima muda penjaga negeri.
“Kau bilang portal pulang ada di Schlossberg! Kenapa kita di sini, Er?”
“Maaf, Norl. Aku salah ambil rute.” Erlan menggaruk-garuk kepala.
“Lain kali lihat lebih teliti portal itu benar atau tidak, Er.”
Dasar! Kenapa kau ceroboh saat keadaan mendesak begini, Er?
“Terpaksa kita keluar dari sini dan menaiki bus ke Hutan Delta Experimental.” Erlan memberikan jawaban. Dia berpasrah diri.
“Portal cadangan,”
“Motorku masih di Hutan Delta Experimental, Norl.”
“Tidak usah repot, kau hubungi saja Shaka, Er.”
“Oh iya. Betul juga,”
“Kita dituntut berpikir secara cepat dan tepat dalam strategi ‘kan, Er?”
“Tidak usah diulang, Norl! Aku tahu.” Dia berdengus. Tatapannya jengkel. Sekarang rasakan pembalasannya, Er dari Augustinerplatz. Tak enak ‘kan dibuat kesal? Aku juga sama, tak menyenangkan menunggu kau terlalu lama.
“Itu karena kurangnya ketelitianmu, Er.”
“Maaf.”
“Kau saja yang buat portal cadangan ke kerajaan Etchaland. Pastikan kali ini kau benar!”
“Iya-iya.” Erlan memandang kalung dia. Berkonsentrasi pada bandul memusatkan fokus matanya. Cakram mengeluarkan sinar hijau terang, cahaya semakin besar membentuk pintu masuk.
Baguslah, Erlan sudah kembali konsentrasi untuk membuat portal ke kerajaan Etchaland. Setidaknya, dia membuat jalan masuk ke istana sudah benar. Tak seperti kejadian Schlossberg. Amat yakin berkata portal pulang ada di sana, tapi nyatanya salah rute. Memang, Hutan Cahaya dan Hutan Delta Experimental berdekatan. Hanya, Hutan Cahaya di posisi kilometer ke sepuluh setelah Hutan Delta Experimental.
Siapa yang ingin ke Hutan Delta Experimental jika menempuh perjalanan memakai kaki atau bus? Aku sih tak akan melakukannya. Keputusan konyol sekaligus nekat berjalan kaki ke Hutan Delta Experimental. Naik bus masih memungkinkan meski lebih lama dibanding motor. Sesampainya di sana, hanya akan menyusahkan sosok lain membawa tubuh keadaan pingsan karena jalan kaki atau basah kena keringat. Tak seksi sama sekali.
“Ayo, Norl!” Erlan mengeret tanganku agar memasuki portal.
Barisan pepohonan hutan melambaikan dahan salam berpisah. Erlan mengangguk, tersenyum seraya menutup portal. Sinar hijau terang mengelam, menganeksasi visual berganti pemandangan gerbang istana.
Kerajaan Etchaland, pukul 3.30 waktu setempat
Pengawal istana melihat dan memperhatikan kami, tatapan mereka ganjil. Apa yang salah? Para hulubalang menjenak sesuatu yang kurang dariku. Erlan mencelang, risih dengan tilikan kritis dari gerbang.
“Sudahlah, kau jangan memikirkan para pengawal, Er.” Aku merisik.
“Apa yang salah tanpa motor, Norl?”
“Tidak ada,”
“Kenapa pengawalmu menatap kita begitu?”
“Kau mengerti maksudku ‘kan?”
“Oh iya, kau habis ditilang.” Erlan tersungging. Disusul kikik darinya.
“Jangan diperjelas dong.”
“Maaf, aku tidak bisa menahan tawa,”
Erlan berjalan mengikuti sampai ke teras istana. Dari samping teras, Adome, pelayan utama istana tengah memarkir motor ke garasi. Motor berkelir hitam telah terparkir di tempatnya. Ayah sudah pulang. Setelah ini, pasti akan ada sidang di ruang kerja Ayah.
Adome melihat kami dari garasi sembari menghampiri, “Selamat sore Tuan Muda Norlorn dan Tuan Muda Erlan.”
“Selamat sore, Adome.” balas kami.
“Tuan Muda, Tuan Nyvorlas meminta Anda menghadap ke ruangannya.”
“Terima kasih untuk pesannya, Adome.”
“Sama-sama, Tuan Muda.”
“Kurasa ini akan gawat, Norl.” Erlan menyeletuk. Mengangkat bahu.
“Sepertinya begitu.”
Kami masuk ke istana menuju lift sebelah ruang tamu berdekatan dengan tangga lantai satu. Erlan menekan tombol buka sambil memencet angka lantai dua, tempat ruang kerja beserta kamar Ayah. Sebelah ruang kerja adalah kamarku, dan kamar Kak Nueleth.
Lift bertolak ke lantai dua kemudian berhenti. Pintu lift terbuka menimbulkan bunyi desis seperti mengantarkan kami menemui tujuan masing-masing. Erlan ke kamarku, aku ke ruang kerja Ayah. Ayah pasti sudah tahu motor tak ada di garasi karena kecerobohan soal berlalu lintas.
Kuketuk pintu ruang kerja Ayah. Tak ada jawaban. Lebih baik aku tunggu di depan pintu. Mungkin, dia sedang melakukan hal lain di dalam sehingga ketukanku tak dia dengar.
“Masuk,” kata dia dari proyektor di pintu.
Kubuka pintu ruangan. Di sofa, Ayah sudah menunggu. Romannya, dia akan menanyaiku soal pelanggaran lalu lintas kulakukan sebelum ke Freiburg. Mimik Ayah gamblang mengemukakan keseriusan sekaligus kegusaran.
“Duduk!”
Aku mengangguk. Menduduki sofa berhadapan dengan sofa Ayah duduki. Tanpa basa-basi, Ayah menikamku dengan sejumlah pernyataan dan pertanyaan mengenai tujuanku pergi ke Freiburg bersama Erlan.
“Ayah mendapat laporan dari Shaka, kau melanggar lalu lintas!”
“Maaf. Aku tak akan mengulangi lagi, Ayah.”
“Dengar, jangan sampai kau mengulangi ulahmu! Jika kau mengulanginya, Ayah berhak mencabut jabatan dirimu sebagai panglima muda. Paham?!”
“B–ba–ik, Ayah.”
“Untuk apa kau ke Freiburg!?”
“Aku—“
“Jawab Ayah, Norl…!!”
Suara Ayah menggelegar bak menggetarkan barang-barang disekitarnya. Tamatlah reputasiku sebagai anak di mata dia apabila Ayah sudah berteriak. Haruskah aku menjawab jujur pertanyaannya? Mencari realitas yang terpajan dari seorang perempuan bangsa manusia?
“Aku tidak bermaksud—“
“Jawab Norl!”
“Aku hanya mencari kebenaran, Ayah.”
“Kebenaran apa yang kau maksud, Norl?”
“Aku mencari sosok perempuan dari bangsa manusia, Ayah.”
“Bangsa manusia!?”
Ayah mencelang. Dia tak terima jawabanku. Apa sebenarnya mau Ayah? Dia ingin menjodohkanku dengan salah satu putri bangsawan kerabatnya? Andai iya, aku tak akan pernah menerima perjodohan sekali pun Ayah memaksa.
“Iya, Ayah.”
“Keputusan konyol!”
“Apa masalahnya, Ayah?”
“Kau tak ingat Norl, sudah berapa ribu penduduk hilang setelah pergi ke dimensi manusia?!”
“Aku mengerti, Yah.”
“Lantas, kenapa kau ke Freiburg?!”
“Aku mencari kebenaran, Ayah.”
“Tak ada jawaban lain?”
“Memang hanya itu. Apa Ayah berniat menjodohkan diriku dengan salah satu putri bangsawan kerabat Ayah?”
“Apa maksudmu?!” Ayah menggertak. Ow.. Ow… kali ini Ayah sungguh-sungguh marah.
“Kalau Ayah melarangku mencari kebenaran untuk perjodohan, maaf aku tak bisa menerima.”
Ayah serangsang, visibel dia membuntang. Perselisihan antara Ayah dan aku mungkin tak akan berakhir dalam hitungan jam, bisa jadi berlanjut hingga beberapa hari. Ayah senantiasa menganggap diriku anak-anak. Di usia tiga ratus tahun, sudah sepatutnya mencari pendamping sendiri bukan dari perjodohan seandainya hari ini Ayah memintaku menghadapnya.
“Betapa bahayanya dimensi manusia, Norl!”
“Aku mengerti. Tapi—“
“Tapi apa, Norl? Kau mencintai manusia?!”
“Apa aku salah mencintai sosok manusia, Yah?”
“Sadar Norl, bangsa kita dan manusia jelas berbeda!”
“Jika cinta dimonopoli untuk makhluk terlihat, bagaimana dengan cinta dari makhluk tak terlihat?”
“Omong kosong dari mana kau ucapkan, Norl!?”
“Itu bukan omong kosong, Ayah.”
“Apa kau tidak sadar, bangsa kita tercipta oleh-Nya tidak untuk bersama manusia?”
“Jika memang iya, kenapa ada rasa cinta diciptakan dari-Nya untuk bangsa kita?”
“Tuhan maha adil. Tidak semestinya kau mencintai bangsa manusia, Norl.”
“Ayah selalu menganggapku anak-anak.”
“Ayah tidak pernah menganggapmu anak-anak!”
“Jika tidak, kenapa Ayah melarangku mencari kebenaran?”
“Satu hal harus kau ingat, negeri ini ada di dimensi empat.”
“Hubungannya?”
“Norl, Ayah tidak pernah melarangmu mencari pendamping hidup. Tapi, ingat statusmu sebagai bangsawan dan bangsa dimensi empat!”
“Aku paham maksud Ayah.”
“Belum pernah ada sejarah di negeri ini bangsa kita mencintai manusia dari dimensi ketiga!”
“Kalau begitu aku yang akan menciptakan sejarah itu, Ayah.”
“Sinting!”
Ayah melabuhkan tamparan di pipi. Apa salahnya mencintai manusia? Tak ada larangan bukan? Ayah mengalami ambivalensi . Suatu saat, Ayah akan sadar preseden dia teladani sudah menembus dimensi ruang, bahkan waktu. Betapa banyaknya bangsa dimensi empat menjadi pendamping manusia di luar sana.
“Lebih sinting jika paham lama tetap dipercayai tanpa melihat situasi.”
“Kau keras kepala, Norl!”
“Maaf, kali ini aku membantah Ayah. Aku ingin mencari jalanku sendiri.”
“Baik. Silakan kau bantah Ayah dengan satu syarat, kau bisa mempertanggungjawabkan semua perkataanmu!”
Murka Ayah berganti apologetis . Sesuai dugaan, dia hanya mengalami ambivalensi sejenak karena perbedaan cara berpikir sosok zaman lampau dengan sosok zaman sekarang. Persetan pada sejarah telah ada, aku akan menciptakan sejarah belum pernah terukir di sini, di tempat aku diciptakan berdampingan realitas.
No comments:
Post a Comment