Syukurlah, aku memilih piyama tidak salah ukuran. Dari cermin, piyama ku
pakai kelihatan lebih cocok di badan. Padahal, sebelumnya tidak yakin
apakah piyama ini kebesaran atau tidak. Hmmm… lucu dan bagus sekali
piyama ini. Berwarna biru muda kesukaanku dan berbahan sejuk di tubuh.
Mesti piyama ini bernilai garib. Tentu, keluarga kerajaan tidak akan
membeli piyama murahan untuk tamu-tamu yang menginap ‘kan? Seandainya
ekonomis, aku juga tidak dapat membelinya. Aku berjalan ke luar kamar
mandi sambil menenteng baju dan sepatu. Baru ku bilang, Kak Hikaru masih
berdiri di tengah kamar dengan ekspresi bingung. Selagi dia tercenung,
sesekali aku kerjai saja. Jahat? Memang iya. Hehehe…
1… 2… 3….
“Doorrr…!!”
Ku usili dia dengan cara menampuk punggungnya. Seketika itu juga, Kak
Hikaru langsung melaung, “Enam belas… dua puluh lima… tiga puluh…
delapan belas… dua puluh tiga..!!” Aku terbahak mengindahkan teriakan
Kak Hikaru yang eksentrik itu. Dipikir-pikir, kasihan juga dia terkesiap
sampai segitunya karena perhuatanku. Tapi, daripada Kak Hikaru melamun,
ada baiknya disadarkan. Betul?”
“Siake lo, Dik! Ngagetin gue aja,” Kak Hikaru menoleh padaku.
“Maaf deh, lagian lo kenapa bengong di tengah-tengah?” tanya diriku tersungging.
“Gue cuma bingung harus ngapain.”
“Ya, daripada lo bingung mendingan ganti baju trus tidur. Beres ‘kan?”
“Iya juga ya.” Dia nyengir,
“Ngomong-ngomong, kapan ya gue bisa jadi orang kaya?”
“Dik, kita kan sudah kaya?”
“Kaya dari mana? Masih bagus gue bisa ngungsi di Mbok dan nitip Akshita sama lo.”
“Kita punya dua mata, dua telinga, satu hidung, bibir dan anggota tubuh yang lengkap. Mikir ke sana nggak lo?”
“Oh iya ya. Benar banget. Kalau gue jual ginjal, mahal pasti nih.” Aku menjawab dengan kereseng.
“Lo ya, yang ada dipikiran lo duit mulu!” seru Kak Hikaru.
“Mau apa lagi? Gue butuh duit banyak buat beli apa yang gue mau.”
“Ya gue tahu, cuma jangan sampai segitunya juga.” Kak Hikaru menggeleng.
“Kadang gue iri sama orang yang kayaknya uangnya gampang banget dan ngalir kayak air, Kak.”
“Rejeki, jodoh, semua sudah diatur sama Tuhan. Lo jangan takut nggak kebagian.”
“Bukan nggak takut, kayak berasa mampet rejeki gue.”
“Nah ini, sikap kayak gini yang buat rejeki lo mampet!”
“Maksudnya?”
“Lo kurang bersyukur sama apa lo punya.”
“Masa iya?”
“Lo setiap hari bisa makan, minum, nggak kepanasan dan kehujanan ‘kan?”
“Iya sih. Karena gue ngungsi di rumah si Mbok.”
“Itu juga rejeki. Lo harusnya bersyukur nggak jadi gelandangan di jalan.”
“Benar juga.”
“Hidup itu keras, tapi jangan mau kalah!”
Apa yang Kak Hikaru katakan ada benarnya, aku tidak boleh kalah dengan
kerasnya hidup. Harus tetap berjuang untuk mewujudkan impian serta
cita-cita. Memang tidak salah, Tuhan menjadikan Kak Hikaru menjadi Kakak
tiriku. Dia lebih baik dan dewasa dibanding kedua Kakak kandung. Bukan
membandingkan, tapi itulah yang diterima sebelum Ibuku menikah dengan
Ayah Hikaru.
“Kak….”
“Ada apa?”
“Terima kasih ya, sudah menyadarkan gue.”
“Terima kasihnya sama Tuhan, karena Dia kita jadi Kakak dan Adik. Hehe…”
“Lo bisa saja,”
“Ya sudah Dik, gue ganti baju dulu.”
Kak Hikaru menarik langkah ke lemari untuk mengambil piyama ganti.
Setelah sampai, dia membuka pintu almari dan tangannya aktif bergiat
memilih piyama. Ku rasa, untuk Kak Hikaru ukurannya tidak terlalu jauh
dengan Norlorn atau Taeglyn. Setidaknya tinggi badan mereka tidak
berbeda jauh. Lain hal dengan tinggi badanku pada Taeglyn dan Norlorn,
jangkanya terlampau jauh. Jangankan mereka, tinggi badan dengan Tavin
atau Adome saja terasa jauh.
Kak Hikaru memutuskan mengambil piyama berwarna aswad. Desain piyama itu minimalis tapi kelihatan anggun.
Bagus juga selera Kak Hikaru, mungkin inilah sifat dan bakat
terpendam belum aku ketahui selama ini. Selera berpakaian dia elegan.
Apa mungkin, pengaruh paling besar karena berhubungan dengan
pekerjaannya? Bisa iya… bisa tidak.
Hawa kamar berganti beringsang selama Kak Hikaru menyalin pakaian. Apa
sebaiknya aku buka jendela, ya? Daripada tambah kepanasan? Kakiku
memintas ke jendela untuk membuang rasa panas dalam kamar. Baru saja
menyinggir jendela, hadir panorama memesona. Bintang sapu bersilih
menjeru di angkasa.
Demi!? Menawan sekali pemandangan ini. Kak Hikaru harus lihat sebelum semua bintang hilang.
Lekas aku pergi ke kamar mandi memanggil Kak Hikaru, “Kak…! Buruan, ada pemandangan keren nih!”
Dia membuka pintu kamar mandi sembari mengegah ke jendela. Indra
penglihat Kak Hikaru terlihat takjub pada pemandangan bintang sapu
bertitikan laksana adiratna.
“Gila, keren banget! Seumur-umur, baru di sini gue lihat pemandangan kayak gini,”
“Apa gue bilang?”
“K-ke-ren banget!”
“Gue jadi semakin betah di sini, Kak.”
“Iya, gue paham. Tapi, bagaimana juga lo harus tetap pulang, Dik.”
“Eh, iya juga!”
“Lo kenapa tiba-tiba panik?”
“Badan gue masih di kamar. Gue takut malah dikubur duluan!” seruku membelalak.
“Hush…, jangan bilang begitu.”
“Tt-ap-i…”
“Berdo’a saja, semoga badan lo nggak kenapa-kenapa.”
“Aamiin….”
“Reira kok belum ke sini ya? Padahal sudah malam begini.” ucap Kak Hikaru melirik jam dinding.
“Iya ya. Kemana dia?”
“Masih ngobrol barangkali?” Kak Hikaru mengangkat bahu.
“Mungkin. Gue nggak nyangka, Kak Reira anak angkat dari keluarga ini.”
“Sama. Gue juga nggak sangka, dia ternyata keluarga kerajaan,”
“By the way, gue masih penasaran soal Taeglyn bilang Kak Reira dijuluki sang penyegel.”
“Maksudnya?”
“Kan, tadi Kak Reira mau cerita tentang dia bisa kenal pangeran, tapi lo potong.”
“Kelamaan sih,”
“Lo yang nggak sabaran. Kalau lo nggak potong, Kak Reira pasti jadi cerita!”
“Lo nyalahin gue?”
“Bukan begitu. Lain kali, kalau orang lagi cerita jangan dipotong supaya gue tahu.”
“Iya deh. Maaf,”
“Ya sudahlah nggak usah dipikirin, gue mau tidur.”
Tak ingin melanjutkan pembahasan, diriku langsung menempati tilam. Di
mana-mana, aku selalu merindukan kasur seandainya mata mulai turun.
Bahkan, bisa tidur di mana saja termasuk motor. Acap menghenyakkan tubuh
kemudian memejamkan mata. Belum ada sepuluh detik mata terpejam, sebuah
ketukan pintu terdengar. Siapa yang mengetuk pintu malam-malam begini?
Kak Hikaru berjalan ke pintu kemudian membukanya. Ternyata, Kak Reira yang datang dengan tatapn mata mengangut.
“Rei, kenapa lo datang-datang macam orang teler begono?”
“Berisik lo!” Kak Reira tak acuh, lalu melangkah ke lemari. Dia mengambil piyama kemudian berlalu di kamar mandi.
“Dih, kenapa tuh bocah!? Datang-datang mata segaris macam orang teler.”
“Entah,” Aku mengangkat bahu.
“Gue jadi kepo. Kenapa dia kemari kok begitu?”
“Tanya sendiri lah, masa tanya gue?”
“Yang mau tanya lo juga siapa? Gue akan tanya, tapi setelah dia keluar dari kamar mandi.”
Cuma gemercik air yang terdengar dari kamar mandi. Aku tidak tahu,
sedang apa Kak Reira di dalam? Biarlah dia menuntaskan semua di kamar
mandi. Bisa saja, Kak Reira memang ingin mandi sebelum tidur supaya
lebih segar. Bukan begitu?
“Kalau lo tanya gue pun, gue nggak tahu.”
“Gue biarin Reira tenang dulu deh. Mungkin lagi capek tadi.” Kak Hikaru
berbahasa. Dia berjalan ke sofa terus duduk. Sekali lalu, tungkai dia
menganjur di pinggir sofa.
“Enak benar lo selonjoran,” kataku dari ranjang.
“Hidup itu harus dinikmati. Kapan lagi, gue bisa selonjoran di sofa mewah begini?”
“Lo tajir tapi udik.”
“Alaah, kayak lo nggak aja!” Dia mencebik.
“Ya gue tahu, gue juga norak. Tapi ya kira-kira juga kali, Kak.”
“Terserah lo, deh. Yang penting gue senang.” celoteh Kak Hikaru dari sofa.
“Iya-iya. Gue tidur duluan ya, ngantuk.”
“Sudah sana tidur.”
“Selamat tidur….”
Baru dua detik mata terpejam, bunyi derit pintu kamar mandi terdengar.
Ku menjeling sejemang, Kak Reira sudah keluar dari kamar mandi sambil
membawa pakaian dan sepatu. Kemudian, dia meletakkan bajunya di sebuah
keranjang besar sebelah lemari.
Loh, itu keranjang baju kotor? Kalau begitu, aku salah meletakkan pakaian di bawah ranjang bersama dengan pakaian Kak Hikaru.
Sepemakan sirih, diriku bangun dari ranjang dan meletakkan pakaian kotor
milikku bersama pakaian Kak Hikaru di keranjang seperti Kak Reira
lakukan. Kak Reira tengah membungkam sedari tadi. Sebetulnya, apa yang
terjadi padanya?
“Kak?” panggilku.
“Hn?”
“Kak Reira kenapa sih?”
“Nggak apa-apa,” Dia menjawab ringkas.
“Beneran?”
“Aku cuma mengantuk.”
“Sama. Mending tidur sekarang daripada besok kesiangan. Takutnya ada yang penting,”
“Aku tidur duluan ya, Gi.” Kak Reira langsung melompat ke ranjang. Aku
mengakui, ranjangnya memang tinggi, tetapi mudah dipanjat.
Tunggu… kalau Kak Reira tidur di ranjang, aku tidur di mana?”
“Kak… Kakak tidur di kasur?”
“Hmmm,”
“Aku tidur di mana?”
“Bareng saja.” jawab dia.
“APA LO BILANG!?”
Teriakan Kak Hikaru mendegam-degam dari sofa, suara dia membuat telinga
kami pekak. Kak Reira terlonjak, nyaris jatuh seandainya dia tidak
memegang pinggir ranjang.
“Lo apa-apaan sih teriak-teriak?!” Kak Reira menyalang.
“Lo mau seranjang sama Adik gue? Enak saja!”
“Terus, Giovani mau tidur di mana kalau nggak sama gue di kasur?”
“Pindah lo di sofa, gue tidur sama Giovani!”
“Apa-apaan? Lo cuma Abang tiri.”
“Tetap saja dia Adik gue. Weee….”
“Ya nggak bisa lah. Ngaco lo!”
“Seenggaknya, gue masih Kakaknya. Lo bukan.”
“Berisik ya lo berdua!? Gini saja deh, gue tidur di tengah. Kak Reira tidur sebelah kiri dan Kak Hikaru tidur sebelah kanan.”
“Tt-api, Dik?”
“Kalau nggak mau ya nggak masalah. Gue tidur sendiri di kasur, kalian tidur di lantai!”
“Ya… ya, kita berdua tidur deh.” ujar Kak Hikaru dan Kak Reira kompak.
“Makanya jangan ribut, gue super ngantuk dari tadi. Capek gue layanin Taeglyn.”
“Hah!?” Kak Reira dan Kak Hikaru terbelalak.
“Kenapa kalian berdua?”
“Layanin? Maksudnya?” Kak Reira bertanya.
“Nggak usah pura-pura oon,”
“Aku itu nggak tahu. Kalau tahu, ngapain tanya?”
“Di ranjang!”
“Lo gila, Dik?”
“Lo bilang gila? Lalu, selama ini apa bedanya lo ke gue?”
“Iya juga,”
“Ooo…,” Kak Reira meng-o. Dia seperti baru paham apa yang menyebabkan aku mengantuk berat.
“Sudah ah, gue mau tidur. Jangan banyak cingcong.”
“Ya sudah, tidur deh lo, Dik. Gue mau tutup jendela dulu.”
Kak Hikaru bangun, dia menarik langkah ke jendela sambil menggerendel
penggait. Setelah itu, dia kembali merebahkan diri di sebelah kanan
ranjang lalu terlelap. Kak Reira juga seupa, dia sudah tertidur 10 detik
lebih dulu dibanding Kak Hikaru. Akhirnya, aku bisa tidur juga setelah
apa yang ku lakukan hampir seharian di istana megah ini. Paling tidak,
Tuhan sudah mengabulkan do’a kecilku. Dia mempertemukan aku lagi dengan
Kak Hikaru. Selamat tidur….
***
Pagi hari waktu setempat....
Dentang beker bersuara lantang dari dinding, membuat mataku separuh
bertanggang. Siapa sih yang menyetel jam beker berbunyi keras di pagi
begini? Ku rasa, mentari pun belum semburat dari jendela. Tangan
memeriksa sisi kanan dan kiri ranjang, loh kosong? Ke mana Kak Hikaru
dan Kak Reira? Apa mereka meninggalkanku sendiri di kamar tamu? Jika
iya, sungguh terlalu…
Akan tetapi, sebelum beranggapan terlalu jauh, diriku mendengar suara
lengkur dari arah bawah ranjang. Ternyata, Kak Hikaru dan Kak Reira
tertidur di sana. Sejak kapan mereka pindah? Jangan-jangan… mereka
terjatuh karena depakan kaki dariku. Apabila melihat posisi tidur mereka
berdua, memang tidak seperti orang berpindah tempat, melainkan terjatuh
namun meneruskan tidur lantaran terlampau lelah.
“Jam berapa sekarang?”
Ku tengok jam, baru pukul 5 pagi sudah berbunyi. Astaga… sebegitu
ketatnya kah jam istirahat keluarga istana sampai waktu bangun diatur
secara otomatis? Atau ini berlaku hanya untuk tamu? Akhirnya, diri ini
memutuskan untuk turun dari ranjang dan membangunkan Kak Hikaru dan Kak
Reira.
“Kak, bangun lo!” seruku menepuk pipi Kak Hikaru keras. Tak lama, mata dia mengerdip pelan lalu terbuka.
“Ada apaan sih, Dik?”
“Bangun, sudah pagi.”
“Memang sekarang jam berapa?”
“Tuh,” tunjukku ke dinding.
“Astaga, masih pagi buta. Matahari juga belum terbit.” ujar dia membelakangi diriku.
“Ya gue tahu, siapa juga yang mau bangun sebelum matahari terbit. Cuma, ini sama aja rumah orang lain. Kudu ikuti aturan,”
“Hhh… ada-ada saja,” Kak Hikaru beranjak dan bersandar di samping ranjang.
Sela beberapa menit, Kak Reira bangun dengan mata setengah tersingkap.
Dia mengangop sambil mengucek mata dan memperhatikan kami dari sisi
sebelah kiri.
“Lo berdua ribut melulu kerjaannya,”
“Kak Hikaru tuh rese!”
“Kok jadi gue?”
“Daripada kalian berdua ribut mulu, gue nikahin saja kalian!”
“Ogah…!!” seruku dan Kak Hikaru bersamaan.
“ ‘Kan, belum apa-apa sudah kompak,” Kak Reira nyengir, cengiran dia lebih mirip ledekan dibanding ujaran.
“Apaan sih lo, Rei!?”
“Gue cuma ngingetin, kalau sama-sama saling sayang kenapa nggak jadian?”
“Ngaco lo, Rei!”
“Nanti nyesel lagi.” cibir Kak Reira.
“Kenapa jadi tambah ngawur sih?”
“Reira duluan noh!”
“Ampun deh lo berdua, bisa nggak sih tenang sedikit?”
“Apa bedanya sama lo, Dik?”
“Paling nggak, lo berdua buka dulu itu mata. Masih segaris sudah pada ngomong.”
“Kayak lo bukan mata celengan saja, Dik.”
“Ih, lo tuh nyebelin banget.”
“Berantem lagi lo berdua,” Kak Reira menghela napas sambil menepuk jidat.
“Oh iya Kak, boleh tanya sesuatu nggak?”
“Tanya apa, Gi?”
“Penasaran soal Kak Reira itu dijuluki sang penyegel.”
“Nah, bener tuh Rei. Gue juga mau tahu.”
“Semalam ‘kan mau gue ceritain, malah lo potong.”
“Maafin gue deh, habis lo kelamaan.”
“Mau gue ceritain sekarang nggak? Sebelum gue berubah pikiran.”
“Ceritainlah. Gue kepo,” Kak Hikaru langsung bergeser ke sisi kiri ranjang. Begitu juga aku yang penasaran.
“Awalnya, gue nggak sengaja ke sini.”
“Maksudnya gimana deh, Rei?”
“Waktu gue meraga sukma, harusnya bukan ke sini tapi ke alam lain. Eh nyasarnya malah ke wilayah barat alam ini.”
“Kok bisa?”
“Itu dia masalahnya, di barat gue kayak gelandangan. Luntang-lantung nggak jelas.”
“Trus lo ditangkap polisi gitu?”
“Nyaris kena tangkap karena dikira penyusup. Di sini adanya saint bukan polisi.”
“Saint?” Keningku membersut.
“Seinto seiya… shounen wa minna…” Kak Hikaru tarik suara.
“Anjay, bisa aja lo Kak nyambung ke situ,” Aku nyengir.
“Mungkin bisa dibilang mirip.” Kak Reira mengangkat bahu.
“Yang benar lo?”
“Serius gue. Gue bilang mirip dari kostumnya sih,”
“Oh ya, Kak?”
“Iya. Cuma, nggak tahu juga sama kayak Saint Seiya apa bukan.”
“Oh gitu. Tapi bisa saja betul,”
“Dari buku yang gue baca, Rei. Bangsa Elves itu dekat sama ilmu perbintangan.”
“Gue juga pernah dengar, “
“Kabar lain, bangsa Elves juga rasnya macam-macam.”
“Betul tuh. Ada Elf bulan, matahari, bintang, salju sampai primitif macam film avatar juga ada.” Kak Hikaru mencerabih panjang.
“Terusin lagi dong, Kak soal julukan sang penyegel.”
“Oh iya, waktu nyaris ditangkap gue ditolong sama harimau gaib sejenis Tasmania gitu pakai kostum aneh,”
“Kostum widyaiswara, ya?”
“Apaan tuh, Dik?”
“Kostum guru.”
“Iya betul. Kayak guru-guru ilmu sihir di film dan novel fantasi.” Kak Reira mengangguk.
“Oh itu sih gue tahu.”
“Kamu tahu, Gi?”
“Tahu lah. Dia itu guru sekolahnya Norlorn.”
“Anjir….” Kak Reira tercengang.
“Namanya Slishsyl, Kak.”
“Lo kenal, Dik?”
“Nggak. Cuma, kemarin itu ketemu karena diajak Norlorn ke wilayah barat.”
“Kok, lo nggak cerita sama gue, Dik?”
“Lo nggak tanya, sih.”
“Dunia sempit banget sampai ke alam gaib kayaknya, Rei. Hehehe…”
“Betul. Karena dia juga, gue diajak ke sekolah.”
“Lalu?”
“Gue ikut tes sendirian dan lolos. Aneh ‘kan?”
“Menurut gue nggak aneh, Rei.”
“Aneh lah.”
“Taeglyn bilang, sekolah di wilayah barat sekolah paling elit. Nggak sembarangan bisa sekolah di sana,”
“Yang benar kamu, Gi?”
“Serius. Pilihannya antara pintar banget atau berduit.”
“Iya ya? Memang sih, selama sekolah di sana nggak bayar sama sekali tapi fasilitas keren banget.”
“Berarti lo sekelas sama pangeran?”
“Nggak. Beda kelas,”
“Kok bisa kenal,Rei?”
“Kalau itu karena gue ketemu di perpustakaan.”
“Macam sinetron saja, Kak.”
“Tumben banget makanya,”
“Trus sebutan sang penyegel itu gimana ceritanya, Rei?”
“Sabar. Gue terusin dulu pertemuan sama pangeran.”
“Terusin deh,”
“Perkenalannya tuh sepele banget, karena sama-sama mau pinjem buku yang sama.”
“Ciye… romantis banget, Rei.”
“Sialan. Gue masih normal!”
“Berasa FTV ketemuannya, Kak. Hahaha…”
“Terus saja meledek gue lo berdua. Nggak gue lanjut ah,”
“Yah… jangan dong, gue masih kepo nih, Rei.”
“Makanya jangan meledek.”
“Maafin gue,”
“Tadinya sih, gue duluan yang sentuh bukunya, cuma karena ada gosip
kalau pangeran termasuk murid-murid berpengaruh di sekolah jadinya gue
ngalah.”
“Memangnya kenapa?”
“Sekolah gratis. Sadar diri aja gue,”
“Memang kenapa kalau sekolah gratis?”
“Dianggapnya kurang mampu meski pintar.”
“Kok begitu, Rei?”
“Nggak tahu juga sih. Kelas keluarga kerajaan juga lebih luas meski fasilitas sama.”
“Lebih luas doang atau mewah sekalian, Rei?”
“Dua-duanya. Kelas bangsawan juga beda. Lucunya lagi, gue masuk kelas bangsawan.”
“Beruntung dong?”
“Itu dia, hoki. Harusnya masuk bukan kelas bangsawan tapi kelas beasiswa.”
“Anggap rejeki, Kak.”
“Mungkin juga ada hubungannya dengan penyegelan gue waktu ada kekacauan di sekolah,”
“Kekacauan apaan, Rei?”
“Ada murid iseng bikin siluman binatang jinak berubah monster.”
“Itu waktu lo tingkat berapa, Rei?”
“Dua atau tiga kalau gue nggak salah ingat,”
“Kakak waktu tingkat dua atau tiga tuh masuk kelas apa?”
“Kelas biasa. Bukan bangsawan.”
“Kelas biasa gimana tuh, Rei?”
“Murid-murid yang lolos tes atau rekomendasi guru doang.”
“Ooh….”
“Penentuannya ada ditingkat empat baru ketahuan masuk kelas mana,”
“Rumit juga penentuan kelasnya, Kak.”
“Namanya juga sekolah elit.” Kak Reira mengias.
“Nah, julukan itu didapat waktu lo ngapain, Rei?”
“Waktu gue lihat murid-murid kelas bangsawan pada lari dan bikin geger satu sekolah.”
“Gue penasaran ke sana, meski gue tahu nggak akan boleh masuk kalau bukan dari kalangan bangsawan.”
“Modal nekat jadinya, Rei?”
“Begitulah.”
“Patut diacungi jempol nih, Kak Reira.”
“Dari situ gue nekat segel pakai alat seadanya.”
“Segel pakai apaan lo, Rei?”
“Modal tenaga dalam dan pelindung doang. Hahaha…”
“Sinting!”
“Jadi ingat Kekkaishi,Kak.”
“Benar tuh, Rei. Macam kartun Kekkaishi saja lo,”
“Mau gimana lagi caranya?”
“Kalau begitu, wajar dijuluki sang penyegel.” Aku menyambung.
“Selesai segel, langsung berasa mau tewas gue.”
“Makin seru kayaknya, nih Rei.”
“Seru ya? Gue yang capek ngomong!”
“Lanjut dong, tanggung nih Kak.”
“Semenjak kejadian itu, gue dijuluki sang penyegel dan dapat fasilitas kelas bangsawan.”
“Ngiri gue, sumpah. Hahaha…”
“Rejeki orang beda-beda kali, Kak.”
“Iya sih. Seumur-umur jadi conjurer, belum pernah gue sampai kayak lo, Rei.”
“Gue nggak sekeren itu, kok.”
“Wajar sih, keluarga lo dari dulu juga berurusan sama begituan ‘kan Rei?”
“Iya.”
“Beda sama gue yang belajar conjure sendiri.”
“Nggak apa-apa juga menurut gue, justru lebih keren otodidak.”
“Keren sih keren, salah langkah bisa runyam, Rei.”
“Ya memang itu risikonya. Tapi buktinya, lo jadi conjurer keren juga
‘kan? Hosuto kelab topdandy 1st lagi.” Kak Reira tersenyum lebar.
“Bedanya apaan sama lo di ALLBLACK?”
“Nggak ada,”
“Sama saja ‘kan? Yang beda cuma di pengalaman gue sama lo.”
“Kak Reira,”
“Apa, Gi?”
“Satu lagi deh. Kenal sama Yang Mulia dari kapan?”
“Tahun lalu.”
“Ceritanya, Rei?”
“Gue menemukan beliau itu celingukan di depan kelab ALLBLACK.”
“Lo nggak bohong ‘kan, Rei?”
“Nggak lah. Kalau gue bohong, nggak akan ikut sama lo ke sini.”
“Benar juga omongan lo, Rei.”
“Awalnya, gue nggak ngeh itu bukan manusia. Karena, keadaan gue ngantuk berat habis pulang dari kelab.”
“Lanjut, Kak.”
“Kirain orang asing pesta kostum. Begitu dilihat, kok aura beda? Dari situ baru sadar kalau dia bukan manusia.”
“Bisa gitu, makhluk tak kasat mata nyasar di Tokyo.” Kak Hikaru terlihat heran.
“Yang Mulia bilang, dia tersesat. Dia ngomong pakai bahasa asing yang susah banget diucapkan. Anehnya gue paham.”
“Trus, Yang Mulia lo apain, Rei?”
“Gue kabari nyokap buat minta tolong pulangin.”
“Oh ya?”
“Iya. Gue masih kurang tenaga untuk bikin portal ke makhluk lain.”
“Datang gendong pulang bopong nggak tuh, Kak?”
“Lo kira film Jailangkung, Dik?”
“Ya kali bopong. Berat lah.”
“Lanjut lagi lah, masih kepo berat gue, Rei.”
“Setelah nyokap gue tanganin. Seminggu kemudian, gue didatangi lagi sama Yang Mulia.”
“Dikawal nggak?”
“Sendirian.”
“Yang Mulia bilang, dia tahu apartemen gue dari nyokap untuk mengucapkan terima kasih.”
“Habis itu, Kak?”
“Setelah mengobrol panjang kali lebar selama beberapa hari, Yang Mulia
meminta gue untuk jadi anak angkat karena telah menolong dia.” jawab Kak
Reira.
“Lo terima?”
“Jelas lah. Kalau nggak terima, nggak akan ikut ke sini. Gimana sih lo?”
“Oh iya, tadi lo sudah bilang. Maklum, faktor umur. Hehe…”
“Dasar pikun!”
“Namanya juga Kak Hikaru.”
“Oh iya Gi, aku cuma mau kasih pesan dari Yang Mulia ke kamu.”
“Pesan apa tuh, Kak?”
“Soal pernikahan kamu.”
“Kenapa memangnya, Kak?”
“Yang Mulia pesan, kamu dan Hikaru jangan pulang dulu sampai urusan selesai.”
“Wah, kalau gue nggak pulang gimana, Rei?”
“Risiko.”
“Alamat nggak kerja di kelab deh gue. Semoga bos nggak marah.”
“Tenang, gue yakin nggak akan marah kalau lo kasih alasan jelas.”
“Bilang saja Akshita masih harus ditunggu di rumah sakit. Beres ‘kan?”
“Pintar juga lo, Dik.”
“Iya tuh bisa. Lagian, kabar Akshita sakit sebenarnya sudah kesebar di
kalangan hosuto Tokyo. Mana mungkin bos marah? Nggak punya perasaan
kalau marah.” Kak Reira membalas.
“Semoga iya.”
“Ada pesan lagi nggak?”
“Turnamen antara Norlorn dan pangeran Taeglyn dilaksanakan selasa depan.”
“Waduh, gue sama Giovani jadi berapa hari di sini, Rei?”
“Satu bulan.”
“Lama amat?”
“Satu bulan di sini sama dengan empat hari.”
“Yakin lo, Dik?”
“Yakin lah. Norlorn bilang sendiri.”
“Bagus deh kalau cuma empat hari. Tt-api, lo gimana Dik?”
“Urusan nanti deh itu. Semoga belum dikubur dan disangka meninggal.”
“Aamiin.”
“Ada lagi nggak, Kak?”
“Gue juga nggak pulang, menemani kalian berdua.”
“Terima kasih ya, Rei.”
“Sama-sama.”
“Jadi ipar dong kita?”
“Secara nggak langsung. Hehe…”
“Kak, lo nggak marah gue tinggal nikah duluan?”
“Ngapain marah?”
“Barangkali, soalnya gue melangkahi lo duluan.”
“Nggak. Justru gue senang, lo bahagia.”
“Yang ada, gue bingung siapa pasangan gue ntar.”
“Nggak usah bingung Gi, sama-sama cakep ini.” Kak Reira terkekeh.
“Kak Reira bisa saja.” Aku ikut tertawa.
“Benar Reira bilang. Yang mana saja gue setuju.”
“Yakin?”
“Iyalah. Gue nggak ingin lo galau karena Natsume,”
“Bukannya dulu lo akrab sama dia?” tanya Kak Reira.
“Itu dulu, semua berubah…”
“Sejak negara api menyerang, gitu?”
“Et, gue lagi nggak bercanda, Rei!”
“Maaf,”
“Gue maafin. Tapi kalau lo potong lagi, gue lempar bantal.”
“Lanjut deh omongan lo,”
“Semua berubah sejak dia mempermainkan perasaan Akshita dan Giovani!”
“Serius?”
“Iya. Memang dasar bajing loncat!”
“Maaf nih, bukan gue sok tahu. Saran gue, lo harus belajar memaafkan masa lalu.”
“Terima kasih untuk sarannya. Cu-ma—“
“Lo harusnya senang, Giovani mau nikah. Tandanya, dia akan lebih mandiri.”
“Betul Kak Reira bilang. Lo nggak usah khawatir,”
“Terima kasih ya, untuk perhatian lo ke gue,”
“Sama-sama. Lo memang Kakak tiri gue, tapi lo yang paling baik ke gue dan Akshita,”
Air mata jatuh warnai sunyi, hanya sebuah simbol ingin diperdengarkan
dan nyatakan bahwasanya aku sangat menyayangi Kak Hikaru melebihi Kakak
kandung sendiri. Bukan hanya sekadar Kakak, teman, tetapi Ayah sekaligus
sahabat. Meski, belum bisa mempercayai dia hingga 100 persen.
“Jangan nangis, Dik. Ada gue di sini.”
Ucapan Kak Hikaru menggetar, mata dia ranai. Kak Hikaru… menangis. Aku
belum pernah melihat dia begini. Mungkinkah, ini memang tabiat Kak
Hikaru yang asli? Dari luar terlihat tangguh tetapi di dalam rapuh?
“Maafin gue Kak, gue selalu buat lo susah.”
“Nggak, Dik. Lo nggak pernah buat lo susah.” Dia menggeleng sembari menghapus air mata.
“Gue memang belum bisa jadi Adik yang sempurna, tapi gue janji… akan selalu berusaha menjadi Adik terbaik.”
Ku dekap tubuh Kak Hikaru rapat bersama senyuman, usapan tangan hangat
dirindukan sudah ada dihadapan. Kak Reira ikut tersenyum, “Gue senang
lihat kalian begini. Kayak nonton J-Drama gitu.”
“Lo meledek kita, Rei!?”
“Siapa yang meledek?”
“Tadi?”
“Gue nggak meledek, gue senang lihat lo berdua akrab banget.”
“Terima kasih, Rei.”
“Beda sama gue, jarang akur sama Adik. Hahaha…”
“Dasar!”
Kak Hikaru cemberut sebentar, kemudian tertawa mendengar komunike Kak
Reira. Sekarang aku tahu, sebab Tuhan menjodohkan Ibuku dengan Ayahnya.
Tuhan ingin menunjukkan ada sosok baik selalu menyayangi walau tidak
sedarah. Tidak semua keputusan Tuhan itu negatif, Dia lebih tahu apa
kebutuhan umat dibanding si manusia itu sendiri. Dari luar, terlihat
tidak adil serta lebih banyak dikeluhkan. Padahal, Tuhan selalu bersikap
adil membimbing setiap manusia menaiki tingkatan hidup hingga mencapai
puncak tertinggi.
Dari kejadian ini, aku sudah dapat mempelajari tentang prasangka baik
pada Tuhan. Tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak.
Mungkin saja, Tuhan menyuruh belajar dengan cara menikahi salah satu
ciptaan- Nya meskipun terdengar mustahil, salah jalur atau dianggap
gila. Aku percaya, akan ada jawaban di balik kejadian ini suatu saat.
No comments:
Post a Comment