20. Adat Lama Pusaka Usang

“Noey, ada apa dengan kamu?”

“Aku… cuma tidak ingin kehilanganmu,” sahut Norlorn, netra ia mengeruh.

“Kamu pikir aku nggak?”

“Bukankah kau ingin bersama pangeran?” Dia balik bertanya.

“Iya memang. Ku pikir, dia lebih bisa menyadari kesalahannya.”

“Tunggu… kesalahan apa?” Keningnya berkerut.

“Dia mengambil kebahagiaan salah satu saudaranya sendiri.”

“Dia tidak akan menyadarinya, Gigi.”

“Kita nggak akan tahu sebelum mencoba. Kalau dia bersamaku, mungkin saja bisa berubah.”

“Kenapa kau yakin sekali dia bisa berubah, Gigi?” tanya Norlorn, agaknya dia menyangsikan.

“Dilihat dari sikap dia ke aku,”

“Bisa saja, hanya sandiwara untuk menarik perhatianmu!”

“Aku pikir nggak, Noey.”

“Kau… tampak seperti peramal saja,”

“Aku memang pembaca kartu di duniaku. Kamu lupa?”

“Iya juga.” Wajah dia langsung kesipuan.

“Semua terlihat dari mata, bukan?”

“Memangnya, kau mempunyai kemampuan seperti kami?”

“Memang nggak. Cuma, aku cukup tahu mana mata bohong mana tidak.”

“Baiklah jika kau memang yakin. Aku harap, dia tidak mengecewakanmu.” Rangkulan Norlorn melandung. Lalu, dia mengeloskan dekapan miliknya dari tubuhku. Pandangan mata ia tengah pirau, laksana putus akal.

“Aku akan berusaha semampunya.”

“Semoga berhasil, Nona mungil!” seru Norlorn mesem.

“Loh, panggilan itu ‘kan….”

“Kenapa?”

“Panggilan pangeran kepadamu. Aku tahu,”

“Jangan-jangan, kamu….”

“Aku sudah lihat semua, Gigi.”

“Semuanya?”

Norlorn melihat semuanya? Apakah dia juga melihat adegan diriku berseranjang dengan Taeglyn?

“Awalnya, aku curiga kenapa kau tidak kembali. Pada akhirnya, terpaksa ku pakai sihir untuk mencarimu.” Norlorn bercerita.

“Lihat apa saja kamu?”

“Semuanya,”

“Jangan-jangan….”

“Ya. Ternyata Nona mungil yang satu ini sedang asyik melayani pangeran di ranjang!” sembur Norlorn membentuk tanda kutip dengan jarinya.

“Tapi ‘kan….”

“Ya, mungkin tidak sengaja. Tapi, ekspresimu amat menikmati serangan pangeran padamu. Bukan begitu?”

“Sudah deh, aku malu tahu!”

“Lebih enak dari aku ya? Aku tahu itu.”

“Setop, Noey!”

“Kalau kau lebih suka dengannya, kenapa menolak dia?”

“Noey, cukup! Aku muak,”

“Dia jauh lebih kaya dan dapat membahagiakanmu.” Norlorn mencebik, bibir bawah ia menurun.

“Ya, dia memang bilang begitu. Cuma, aku nggak tahu bisa atau tidak?”

“Kalau hanya memenuhi kebutuhan untuk membalaskan dendam saudaramu, dia lebih pantas bersanding denganmu.” celoteh Norlorn.

“Noey, bisa nggak kamu diam sebentar?!”

“Tapi, kalau kau mencari sosok yang dapat mencintaimu semampunya… akulah sosok itu, Gigi.

Mata Norlorn tampak menajam, tak lama loklok semerawang merembah. Dia menangis. Apakah itu sisi Norlorn yang selama ini tidak terlihat? Aku bingung harus melilih siapa. Bagai dua mata logam, aku mencintai Norlorn dan sudah menerima lamarannya… tapi, bagaimana dengan nasib calon anak tak bersalah akibat kecerobohanku?

“Noey….”

Norlorn menggagu.

“Noey, aku minta maaf. Karena diriku, kamu kecewa.”

“Sudahlah, lebih baik jangan dibahas lagi.”

“Tapi… kenapa?”

“Aku tidak ingin ada yang terluka, Gigi.” Kepala Norlorn menggeleng.

“Aku bingung… terus terang saja,”

“Memang harus dibicarakan waktu makan malam,”

“Semoga ada jalan keluarnya.” kataku singkat.

“Sebaiknya, kau ganti bajunu, Gigi.” perintah Norlorn menunjuk ke bungkusan ku bawa.

“Kamu nggak marah, aku pakai baju dari pangeran?”

“Untuk apa aku marah?”

“Aku ‘kan sudah buat kamu kecewa.”

“Setidaknya, dia memberimu pakaian secara gratis. Betul?”

Seketika, senyum Norlorn merengkah. Lalu, jari dia memitas hidungku. Padahal, aku sudah melakukan kesalahan. Mengapa dia masih tetap baik? Adakah laki-laki di duniaku yang mempunyai sifat mirip Norlorn?

Norlorn….
Sebuah nama singkat pengubah hidup seorang manusia dalam kisahnya. Seandainya, Norlorn manusia apakah akan sama rasanya? Aku harap iya, dia tidak akan berubah. Seharusnya diri ini tahu, tidak seharusnya keluar kamar. Akan tetapi, semua telah menjadi bubur tanpa bumbu. Mungkin, ada rencana Tuhan dan Semesta dalam kejadian ini. Semua akan terbukti setelah aku menjalani.

“Noey, terima kasih ya.”

“Terima kasih untuk apa?”

“Kamu sudah mau mengerti aku.”

“Aku berusaha mengerti, karena diriku menyayangimu….”

“Perasaanku sama,”

“Memang, cinta tidak dapat dipaksakan. Aku melakukan semua supaya kau bahagia.”

“Bahagia?”

“Tuhan mulai menunjukkan rencana-Nya,”

“Aku nggak ngerti, Noey.”

“Apa yang sudah terjadi, semua sudah diatur dan memiliki pesan tersembunyi.” ujar Norlorn.

“Iya juga,”

“Tuhan ingin memberi pesan untukmu.”

“Kira-kira, apa pesannya?”

“Entah. Hanya Dia yang tahu.”

“Ku pikir, makhluk sepertimu tahu semuanya.”

“Aku tidak pernah bilang begitu, Gigi. Aku hanya mengetahui apa yang aku lihat, tetapi tidak semuanya.” Norlorn sedikit menentang.

“Mau tidak mau, makan malam penentunya.”

“Ya. Kita belum tahu rencana Tuhan untuk kita seperti apa.”

“Betul. Oh ya, aku ganti baju dulu.”

Diriku membuka salah satu bungkusan pakaian dari toko Nona Allie. Bungkusan berisi gaun hitam sederhana sepaha berdampingan dengan ban leher dari kain seperti kesepakatan. Kemudian, aku memasuki kamar mandi untuk mengganti pakaian. Entah mengapa, ada rasa malu dengan Norlorn sekarang. Di mataku seperti lelaki asing, sedangkan pada kenyataannya sudah melakukan banyak hal dengan Norlorn.

Setelah pakaian berganti, aku segera keluar menemui Norlorn di sofa. Dia tersenyum memperhatikan penampilan dari ujung rambut hingga kaki.

“Cantik,”

“Serius?”

“Ya. Kau lebih cocok memakai gaun itu,”

“Beneran?”

“Untuk apa aku bohong?”

“Kamu nggak lagi menghibur aku ‘kan?”

“Tidak. Daripada aku menghibur dirimu, lebih baik menghibur diri sendiri.” Norlorn membombardir.

“Kamu ini, ya!”

“Pada kenyataannya, aku yang sebenarnya terluka. Bukan kau.”

“Aku minta maaf,”

“Ya, sudah aku maafkan. Jujur, untuk pakaian… kau memang lebih cantik dan manis dengan pakaian dibelikan pangeran.”

“Terima kasih.”

“Kau beli di mana pakaian itu?”

“Kau melihat semuanya, ‘kan?”

“Ya. Tetapi, tidak untuk pakaianmu membeli di mana. Yang terakhir ku lihat hanya kedatangan Tavin dan Adome bersamamu membawa bungkusan pakaian.” kicau Norlorn panjang.

“Aku membeli di toko Nona Allie.”

“Oh ya?”

“Ya.”

“Pantas saja. Nona Allie memang perancang pakaian paling prominen di negeri ini.”

“Wah begitu, ya?”

“Iya. Dia juga yang merancang pakaian seluruh keluarga kerajaan di negeri ini.”

“Kalau rakyat biasa?”

“Kebanyakan dari mereka lebih memilih membuat sendiri pakaiannya.”

“Berarti, termasuk pakaian pelayan dirancang oleh Nona Allie?”

“Tentu saja. Setiap wilayah, mempunyai seragam pelayan berbeda.”

“Ku kira sama.”

“Tujuannya, agar tidak tertukar walau para pelayan sudah pasti hafal istana.” ucap dia panjang.

“Cuma itu?”

“Ada lagi.”

“Apa?”

“Mencegah penyusup masuk ke wilayah kerajaan.”

“Kenapa begitu?”

“Di masa lampau, ada beberapa kejadian yang timbul akibat penyusup yang menyamar jadi pelayan. Kemudian, melakukan pemberontakan.”

“Astaga….”

“Salah satunya, termasuk kematian ratu dan Ibuku.”

“Jadi… semua itu benar?”

“Kau sudah tahu?”

“Aku sedikit tahu. Tetapi, nggak berpikiran penyusup menyamar jadi pelayan.”

“Semenjak kejadian itu, aturan pelayan berpakaian sama dihapuskan.”

“Jadi, begitu ceritanya.” Aku mengangguk-angguk. Terdengar sederhana, tetapi terlihat fatal. Cuma, dari mana penyusup itu berasal?

“Dari mana penyusup itu berasal, Noey?”

“Aku tidak tahu hal itu, tapi setelah diselidiki bukan dari negeri ini.”

“Dari negeri lain?”

“Kemungkinan beberapa penyusup menyamar jadi pelayan.”

“Seram.”

“Pada saat itu, seragam pelayan amat mudah didapatkan. Tersedia di mana-mana,”

“Wah….”

“Sekarang tidak, hanya Nona Allie yang dapat membuat para pelayan tenang.”

“Maksudnya tenang?”

“Ya. Selain seragam berbeda, harga seragam amat mahal.”

“Oh ya?”

“Selain itu, pelayan hanya mengalami pertukaran dan perpindahan kerja. Contohnya, Tavin dan Adome. Dia merupakan perpindahan dari kerajaan Wuafalm.”

“Kerajaan dari timur yang kamu ceritain?”

“Ya.”

“Lalu bagaimana dengan pelayan lain?”

“Untuk pelayan lain, pertukaran.”

“Kayak gini ya misalnya, aku kerja di kerajaan lain. Tapi, pada suatu saat ditukar ke kerajaan ini, lalu teman dari sana masuk ke kerajaan aku. Gitu?”

“Iya, benar.”

“Keren, jadi kayak pertukaran mahasiswa atau pelajar.”

“Bertujuan untuk mempelajari masing-masing peraturan istana.” Norlorn berkata, ujaran ia kedengaran semangat.

“Lalu, kalau Adome dan Tavin pertukaran dari kerajaan Wuafalm, siapa pelayan kerajaan Etchaland yang asli?”

“Juno, Syo Ri, Ren dan Rei. Sisanya pertukaran dari Wuafalm.”

“Oh pantas.”

“Ada apa?”

“Rata-rata wajah sisanya lebih asia.”

“Kau melihat lukisan rupanya.”

“Iya tadi siang,”

“Ren, Juno, Syo Ri dan Rei memang asli timur.”

“Oh ya?”

“Sama seperti Adome dan Tavin. Bedanya, mereka menetap di wilayah pusat sejak kecil.”

“Kau tahu mereka?”

“Ya. Orang tua mereka pernah menjadi pelayan Etchaland sebelum pensiun.”

“Oh begitu rupanya.”

Rumit juga prosesnya. Ku kira, tidak ada penurunan wasiat pada anak untuk meneruskan pekerjaan turun temurun di negeri ini. Setipis air bedanya di duniaku.

“Paham sampai sini?”

“Ya.”

“Sekarang, kita hanya menunggu makan malam tiba, Gigi.”

Norlorn melihat jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 6 sore. Norlorn menoleh, dia berkata,

“Satu jam lagi makan malam.”

“Lalu?”

“Kau akan dipanggil kalau sudah waktunya. Sebaiknya kau tenang saja si sini.” Norlorn beranjak dari sofa ke pintu kamar.

“Kamu mau ke mana, Noey?”

“Aku mau ke ruang makan istana.”

“Makan malam belum tiba, ‘kan?”

“Justru itu, keluargaku dan para pelayan harus sudah siap di meja makan sebelum yang lain datang.” jawab Norlorn santai.

“Kok begitu?”

“Peraturan di kerajaan Etchaland memang begitu, keluarga panglima istana harus terlebih dahulu ada bersama pelayan sebelum raja dan para pangeran datang.”

Penjelasan Norlorn membuat bertanya-tanya, seberapa rumit aturan istana? Lebih ketat dari aturan rumahku dulu atau tidak?

Jujur, aku tidak suka dikekang dan diperlakukan seperti anak kecil tidak bisa apa-apa. Sudah dikekang, bonus pula kekerasan rumah tangga. Salah apa diri ini dalam kehidupan masa lampau? Bisa saja, aku adalah reinkarnasi dari “aku” di masa lalu walau mempunyai kembaran, Akshita.

Apabila nanti berjodoh dengan salah satu keluarga kerajaan Etchaland, apakah peraturan istana akan berlaku juga bagiku? Semoga saja tidak menghalangi kebebasan menjadi diri sendiri dan menjadi seorang istri baik sekaligus trendi. Hahaha….

“Gigi!” seru Norlorn.

“Ya?”

“Kau melamun?”

“Aku cuma belum menerima peraturan istana.”

“Oh ya, peraturan untuk tamu sudah ku jelaskan?”

“Belum.”

“Tamu dilarang turun ke ruang makan istana sebelum dipanggil.”

“Wah, kalau nggak dipanggil, aku nggak makan?”

“Bukan begitu. Tetap makan, tapi tidak bersama keluarga kerajaan.”

“Aneh.”

“Itulah Gigi, perbedaan dan keanekaragaman itu amat indah.” Norlorn mengacungkan jempol.

“Secara normalnya begitu. Tapi, di duniaku... khususnya negeri ku tinggali maunya seragam.” Aku meringis.

“Makanya, kau pindah menjadi penduduk negeri ini dong.”

“Gimana caranya?”

“Kalau kau berjodoh dengan salah satu penduduk negeri.”

“Yah, kalau jodoh. Kalau nggak?”

“Ya tidak pindah. Hahaha….”

“Kamu ini! Aku harap ada yang jodoh. Muak dengan negeri kelahiranku sendiri, terlalu banyak peraturan. Keanekaragaman banyak, namun… lebih banyak yang nggak nerima perbedaan.”

Dialog melebar dengan Norlorn. Susah juga menyimpan sendiri tentang negeri kelahiran. Aku rindu negeriku yang dulu. Di mana budaya dan perbedaan saling bersatu, tidak menghujat satu sama lain, masyarakat murah senyum, saling bergotong royong. Tapi sekarang? Ibu pertiwi dibuat menangis oleh penghuninya sendiri.

“Gigi!?” teriak Norlorn dari pintu.

“Ya, Noey?”

“Lagi-lagi, kau melamun.”

“Maaf,”

“Aku pergi ke ruang makan dulu. Kau jangan pergi dari kamar ini!” Norlorn menutup pintu dari luar.

Belum jadi keluarga kerajaan, peraturan sudah berlaku. Aku rasa, itu bukan peraturan untuk tamu semata. Pasti, ada penjelasan lain tentang peraturan itu. Semakin dilarang, semakin ingin tahu. Tanya ke siapa kira-kira?

No comments:

Post a Comment