“Dik!” panggil Kak Hikaru.
“Ya?”
“Lo senang nggak?”
“Senang gimana maksudnya?”
“Ya… senang karena lo sebentar lagi nggak sendiri,”
“Oh senang karena gue sebentar lagi jadi ganti status, Kak?”
“Iya jadi istri,”
“Itu dia masalahnya!”
“Masalahnya?”
“Gue kan… nggak bisa masak.”
“Memangnya jadi istri harus bisa masak?”
“Bukannya itu aturan wajib perempuan harus bisa masak?”
“Kayaknya tergantung siapa pasangan lo deh, Dik.”
“Maksudnya?”
“Kalau dapet yang nggak bisa bayar pembantu ya iya, bukan jadi istri lagi itu mah. Tapi lo dibudakin,”
“Hahaha… kayaknya betul deh.”
“Kalian tuh dari tadi ngomongin apa sih?”
“Lo dari tadi nggak dengarin, Rei?”
“Gue saja nggak paham lo ngomongin apaan,”
“Ini nih… Giovani, dia tuh nggak pede katanya.”
“Nggak pede kenapa?”
“Sebentar lagi jadi istri tapi nggak bisa masak.”
“Masa sih nggak bisa masak?” Kak Reira mengerutkan kening.
“Serius gue nggak bisa masak,”
“Jadi buat hidangan pasta waktu di kelab apa namanya, Gi?”
“Masak,” kataku.
“Nah, itu buktinya bisa masak.” Kak Reira terbahak.
“Masalahnya adalah, nggak bisa masak selain hidangan pasta doang.”
“Harusnya sih nggak masalah, Dik.”
“Suami yang baik itu selalu suka apapun masakan istrinya,”
“Betul tuh Reira bilang,”
“Kalau tiba-tiba masakan gue hangus, apa masih mau dimakan?”
“Kalau suami lo baik dan menghargai istri sih…”
“Itu dia masalahnya,”
“Masalah mulu lo, Dik. Solusinya kapan?”
“Nanti kalau gue dimarahi gimana?”
“Saranku, kamu jangan berpikir terlalu jauh, Gi.”
“Iya sih Kak Rei, harusnya aku nggak berpikiran aneh-aneh dulu. Nikah juga belum.”
“Tapi ada benarnya juga Giovani bilang, Rei.”
“Benarnya?”
“Kita ini belum tahu ‘kan karakter lebih lanjut dari pangeran Taeglyn atau Norlorn?”
“Kalau itu memang belum pasti, tapi gue yakin pangeran atau Norlorn
bukan laki-laki yang seenaknya dengan perempuan.” Kak Reira berkata,
nada suaranya seperti meyakinkan aku dan Kak Hikaru.
“Lo yakin?”
“Yakin,”
“Dari mananya, Rei?”
“Ada banyak kemungkinan yang membuat gue yakin, kalau salah satu atau
dua-duanya termasuk sosok yang tepat buat Giovani.” reaksi Kak Reira
kukuh.
“Kemungkinannya apa, Rei?”
“Norlorn dan pangeran sama-sama satu istana dan keluarga kerajaan.”
“Trus?”
“Lo kebiasaan, gue lagi ngomong dipotong!”
“Maaf… maaf, ya sudah lanjut.”
“Sedari kecil pasti diajari cara menghargai wanita,”
“Tapi kalau iya, kok dia melakukan “itu” ke Giovani?” pertanyaan Kak
Hikaru seolah menyangsikan dari cara dia membentuk tanda kutip dengan
jarinya.
“Gini maksud gue, soal hubungan seks atau nggak sebetulnya bukan dari ajaran menghargai wanitanya.”
“Gue nggak ngerti maksud lo, Rei.”
“Semuanya tergantung mereka bisa atau nggak jaga pandangan?”
“Tapi Kak Rei, aku agak kurang setuju soal jaga pandangan.”
“Kurang setuju dari aspek apa?”
“Kayaknya, keluarga kerajaan nggak bisa deh sembarangan melakukan kalau
memang mereka nggak tertarik. Bisa nggak dibilang begitu?”
“Bisa juga sih, Gi apa yang kamu bilang.”
“Soalnya Yang Mulia bilang begitu dan minta maaf ke aku.”
“Oh ya?”
“Iya waktu makan malam sebelum Kak Reira sama Kak Hikaru datang.”
“Ya… ya, aku ngerti.”
“Kak Rei, aku kagum deh sama Kakak.”
“Kagum?”
“Pengetahuannya banyak kalau soal ginian.”
“Reira gitu. Iya nggak?” Kak Hikaru menyahut.
“Biasa saja kali,”
“Ngomong-ngomong, gue lapar.”
“Lo ya Kak, makan mulu!”
“Biarin,”
“Lo makan mulu, gemuk nggak.”
“Apa bedanya sama lo, Dik?”
“Gue mah faktor stres.”
“Alasan.”
“Mau gemuk atau kurus yang penting sehat.” Kak Reira menimbrung.
“Sehat pikiran juga.”
“Apa sih yang lo pikirin, Dik?”
“Gitu deh,”
“Cerita lah sama gue, gue ‘kan Kakak lo,”
“Gue mau cerita apaan lagi? Semua sudah gue ceritain.”
“Bohong,”
“Sumpah deh, gue nggak bohong.”
“Ya sudah kalau lo belum siap cerita nggak apa-apa. Tapi, kalau ada apa-apa bilang gue ya, Dik.”
“Iya, kalau ada apa-apa bilang. Jangan diam-diam saja,”
“Pasti aku bilang kok Kak Rei.”
“Lo juga Dik, kenapa sih lo nggak mau cerita langsung ke gue soal Akshita?”
“Gue nggak mau ngerepotin lo waktu itu.”
“Harusnya lo cerita, lo nggak sendiri Dik.”
“Gue cuma takut kalau Akshita akan makin parah,”
“Justru Akshita akan tambah parah kalau lo nggak cerita ke gue.”
“Maaf ya, Kak.”
“Lain kali kalau ada masalah, lo bisa cerita ke gue Dik.”
“Ke aku juga bisa, Gi.” Kak Reira menimpali.
“Iya deh nanti. Tapi, sekarang lagi giat-giatnya nulis jurnal,”
“Jurnal apa?”
“Jurnal tarot,”
“Maksudnya gimana, Dik?”
“Iya setiap hari menulis kartu yang keambil dari deck.”
“Oh, menulis tarot harian gitu ya, Gi?”
“Betul Kak Reira.” jawabku.
“Lo sudah banyak berubah ternyata. Sejak kapan lo mulai nulis?”
“Belum lama, Kak.”
“Terusin saja. Nanti juga perjalanan spiritual lo akan bertambah, Dik.”
“Aamiin,”
“Aku juga sama kayak kamu. Menulis jurnal tarot, Gi.”
“Oh ya?”
“Iya. Bedanya, aku bulanan. Maklum di kelab susah cari waktu menulis. Hehehe…”
“Aku harian karena buat menghilangkan rasa malas gerak.”
“Wah… wah….” Kak Hikaru tersenyum.
“Kenapa, Kak?”
“Lo berdua hebat. Masih sempat saja berurusan sama tarot.”
“Supaya gue nggak makin stres, Kak.”
“Kalau gue biar lebih mendekatkan diri ke semesta secara spiritual,”
“Gue jadi mau ikutan nulis,”
“Tulis saja, belum telat kok Kak.”
“Tapi kartu tarot gue cuma satu. Bisa memangnya?”
“Bisa, kalau cuma mau menulis jurnal. Kecuali lo kayak gue, hobi koleksi.”
“Iya juga, Dik.”
“Kalau gitu, gue akan tulis deh setelah urusan di sini selesai.”
“Semangat, Kak!”
“Ngomong-ngomong, gue masih lapar.” celetuk Kak Hikaru.
“Lo makan saja yang ada dipikiran.” Kak Reira mendengus sebal.
“Tahu nih! Ya kira-kira lah, masih pagi buta begini, pelayan juga pasti
lagi siap-siap, Kak.” Aku membabi buta, ucapan panjang tanpa jeda
menghiasi pagi di kamar untuk Kak Hikaru.
“Intinya, pasti diantar nanti. Tenang saja,” Kak Reira menengahi.
“Betul. Kayak nggak makan sehari bisa mati, Kak.”
“Terus deh….” Kak Hikaru cemberut, tampangnya membuat diriku ingin tertawa. Namun tidak bisa.
“Saran gue, lebih baik kalian mandi sebelum sarapan.”
“Nanti saja lah, habis sarapan.” Kak Hikaru berkata, dirinya seolah enggan beranjak dari duduknya.
“Lo nggak bisa seenaknya begitu, ini ‘kan bukan rumah ataupun alam kita,”
“Sebentar lagi, lo ‘kan jadi ipar gue, Rei. Cincai lah…,” ujar Kak Hikaru merayu.
“Cincai… es cincau sekalian!” seru Kak Reira memelotot.
“Rei, lo nggak asyik nih!”
“Biarin!”
“Silakan lanjut ributnya. Gue tinggal mandi duluan,”
Dengan cepat, aku membuka lemari seraya mencari pakaian yang lebih pas
ukurannya. Aku juga baru ingat, baju yang dibelikan pangeran tertinggal
di kamar Norlorn. Semoga, pelayan ikut mengantarkan pakaian yang
tertinggal. Untung saja, ada satu pakaian ukurannya pas denganku.
Modelnya kurang lebih sama dengan yang ku pakai sebelumnya waktu ke
wilayah barat.
Paling tidak, sebelum pelayan datang diri ini sudah berpakaian. Bergegas
aku mengambil handuk dan mandi meninggalkan dua orang laki-laki masih
ribut di bawah lantai. Biarkan saja mereka begitu, nanti juga diam
sendiri. Mandi lebih cepat itu lebih baik daripada gugup nantinya.
***
30 menit kemudian....
Ternyata mandi pagi memang lebih menyegarkan dibanding mandi malam.
Sudah lama tidak melakukan mandi pagi setelah kehidupan terganggu oleh
orang-orang usil dan akhirnya terpancing emosi, sehingga diriku tidak
terurus dan berantakan. Selain menyegarkan, mandi pagi juga membuat
pikiran menjadi lebih tenang. Sepertinya, setelah pulang dari sini aku
akan melakukan mandi pagi lagi. Walau ada hal lain sebenarnya yang
mendasari mandi pagi. Yaitu omelan si mbok kalau mandi malam. Hehehe…
Rupanya, Kak Reira dan Kak Hikaru masih beranggar lidah sehabis aku mandi. Ya ampun mereka itu!
Perdebatan tidak penting membuat diri ini geleng kepala melihat lagak
mereka. Ketimbang mumet, betapa baiknya aku antap mengikuti cakap angin
keduanya di sofa kamar sembari menanti pelayan datang.
Tetapi, semakin lama ku dengarkan malah membuat bising. Langkah terakhir
mau tidak mau adalah menenangkan Kak Hikaru dan Kak Reira. Dengan satu
kali jeweran memutar di telinga masing-masing sudah membuat keduanya
membisu.
“Makanya, jangan berisik.”
“Ampun… ampun, janji deh kita nggak ribut lagi,” Kak Hikaru dan Kak Reira bicara bersamaan.
“Enak nggak?”
“Enak gundulmu!” Kak Hikaru cemberut.
“Biar kalian berdua nggak debat lagi. Mandi sana!”
“Ya deh, kita mandi. Tapi, tolong lepas jewerannya.” sambung Kak Reira.
Selesai juga membuat mereka tidak ribut dan mandi secara bergantian.
Sekarang, bisa lebih tenang menunggu pelayan datang. Aku jadi berpikir,
seandainya Norlorn manusia, apakah kisah ini menjadi lebih rumit?
Setiap makhluk memang memiliki keinginan mempunyai pasangan layaknya
putri dan pangeran. Tapi, aku sendiri tidak memaksa mendapatkan hal itu.
Memaksa diri… berubah posesif kepada seseorang yang belum tentu
menyukaiku. Berbagai penolakan laki-laki yang dialami membuat trauma,
tak jarang aku menangis tidak jelas. Sampai akhirnya… Norlorn datang di
hidupku.
Eh… kok jadi curhat?
Derit pintu kamar mandi membangunkan dari lamunan. Kak Reira sudah
selesai mandi, kemudian berganti Kak Hikaru. Dari dulu, Kak Reira memang
tidak pernah berubah dengan khas tubuh ramping, perut rata dan
mambentuk. empat kotak secara samar serta kulit terjaga.
“Dingin sekali mandi pagi.” ujarnya.
“Segar kan, Kak Rei?”
“Kalau soal kesegaran jangan ditanya. Untuk soal suhu, aku menyerah.” jawab dia manggantungkan handuk di kapstok.
“Aku jadi deg-degan,”
“Kenapa, Gi?”
“Nggak percaya aku menikah meski bukan dengan manusia.”
“Nikmati saja. Hehehe…”
“Ini sih namanya teman tapi menikah dong, Kak Rei?”
“Lebih bagus begitu, daripada kamu berteman terus tapi malah kena tolak?”
“Kak Rei ini, bongkar kenangan lama saja!” Hidungku kembang kempis mendengar pertanyaannya.
“Yang penting, kamu sekarang sudah nggak sendiri lagi.”
“Itu baru aku setuju.”
“Kak Hikaru mandi lama banget,”
“Sudah biasa ‘kan, Hikaru begitu?”
“Entah apa yang dia gosok sampai selama itu.”
“Aku juga nggak tahu.” Kak Reira mengangkat bahu.
Belum ada satu jam, suara bel dari balik pintu kamar terdengar. Ku rasa,
pelayan sudah datang mengantar sarapan. Kak Reira langsung melangkah ke
pintu kamar lalu membukanya. Tampak beberapa pelayan berbaris masuk
mengikuti Adome dan Tavin mendorong kereta makan. Di tangan Tavin, ada
beberapa bungkus pakaian yang tertinggal dari kamar Norlorn.
Adome membungkuk, “Selamat pagi, Tuan Reira dan Nona Giovani.”
“Selamat pagi, Adome.” kataku dan Kak Reira.
“Selamat menikmati hidangan. Jika perlu bantuan, Tuan dan Nona bisa membunyikan bel.” Adome kembali melanjutkan.
“Terima kasih, Adome.” Kak Reira tersenyum.
“Terima kasih kembali, Tuan Reira.”
“Selamat pagi, Nona Giovani.”
“Selamat pagi, Tavin.”
“Saya diperintah Tuan Norlorn untuk mengantar pakaian Nona yang ada di
kamarnya. Silakan,” ucap Tavin memberikan beberapa pakaian pemberian
pangeran Taeglyn padaku.
“Terima kasih,”
“Terima kasih kembali.”
Satu persatu, pelayan meninggalkan kamar termasuk Tavin dan Adome
sebagai penutup pintu. Selang beberapa menit, Kak Hikaru keluar dari
kamar mandi. Matanya membelalang melihat banyak makanan di kereta.
“Mulai deh!” seru Kak Reira.
“Kebetulan banget gue sudah lapar.”
Kak Hikaru segera menggantung handuk dan menghampiri kereta dorong.
“Pakai baju dulu kek!” sentil Kak Reira.
“Apa bedanya sama lo?”
“Lo berdua ini sebenarnya ngapain sih? Mau pamer perut cetakan es batu!?”
“Norlorn begini nggak, Dik?”
“Terserah deh.” Aku menaikkan bibir setengah.
“Dih, kok ditanya malah terserah?”
“Perut Norlorn sixpack!”
“Wah, kalah dong gue?”
“Mimpi kalau lo berniat menyaingi Norlorn!”
“Mau sixpack atau fourpack yang penting sehat dan normal, nggak belok.” Kak Reira nyengir.
“Maksudnya?!” Kak Hikaru mengerut dahi.
“Kalau Norlorn belok, bisa perang dunia ke tiga puluh.”
“Iya juga, bisa-bisa Giovani nangis guling-gulingan.” sambung Kak Hikaru tertawa,
“Apaan sih lo berdua!?”
“Kalau suka sama cowok, gawat jadinya.” Kak Reira tergelak, tungkainya
mendatangi almari pakaian untuk memakai baju. Lemari itu sungguh gaib,
pakaiannya seperti tidak habis-habis. Seolah-olah magi, tinggal
membayangkan pakaian diingkan lalu ada. Aku seperti orang bodoh tidak
tahu apa-apa, padahal sudah cukup lama berada di sini.
Tidak tahu lemari kamar tamu sebegitu ajaibnya. Apakah ini ilusi? Ku
rasa bukan. Karena, alam ini berbeda dengan alamku sendiri untuk soal
abnormalitas. Sedangkan, untuk hal lain hampir sama.
Kak Reira terlihat lebih manis ketika dia memakai jaket kulit berwarna
hitam sesetel dengan kaos, serta jeans model robek kepunyaannya. Setelah
itu, dia ke kereta dorong untuk mengambil sarapan pagi dan disusul
olehku.
Begitu juga dengan Kak Hikaru memilih pakaian serba hitam senada dengan
celana dan sepatunya. Hal sama dia lakukan, sarapan pagi bersamaku dan
Kak Reira. Kelengangan terjadi pada waktu kami sarapan. Tidak ada
kata-kata, hanya sendok yang beradu dengan piring hingga selesai
sarapan.
***
“Ngomong-ngomong, kapan sih acara pertandingan pangeran Taeglyn dan Norlorn, Kak Rei?”
“‘Kan sudah diberitahu.” jawab Kak Reira terkekeh.
“Nggak nyangka juga, salah satu adik gue ternyata diperebutkan dua hati.” Mulut Kak Hikaru menyeletuk.
“Gaje!”
“Benar tuh, Gi. Jarang banget kejadian begini. Mungkin saja, sehabis kamu menikah malah semakin banyak yang suka.” ujar Kak Reira seakan menasihati.
“Ngawur! Buktinya, aku ditolak.”
“Hah? Siapa yang berani menolak lo, Dik?”
“Itu,”
“Itu siapa? Jawab dong!”
“Ya itu… ada yang menolak gue.”
“Ya gue tahu, siapa?”
“Pokoknya itu! Gue juga malas sebut namanya,”
“Cerita dong,”
“Intinya, gue ditolak karena gue nggak cantik.”
“Siapa bilang lo nggak cantik, Dik?”
“Dia.”
“Nggak mungkin deh kalau ditolak cuma karena alasan nggak cantik, Gi.” Kak Reira mengamini.
“Ya karena aku bukan tipenya.”
“Nggak yakin gue, lo ditolak cuma karena alasan nggak cantik dan bukan tipe.”
“Jujur, Gi. Kami ‘kan ada buat kamu.”
“Karena badanku nggak montok, payudara nggak ukuran besar.”
“ANJAAY…!!” seru mereka bersamaan.
“Kenapa sih?”
“Memang hubungannya apa payudara besar sama rasa?”
“Cinta nggak bisa dipaksa, Rei.”
“Iya gue paham. Tapi, menurut gue nggak etis ketika laki-laki menolak perempuan cuma karena ukuran payudara.” Kak Reira menyilangkan tangan tanda tak setuju.
“Gila ya itu cowok!”
“Padahal, gue lihat dia bukan dari penampilan yang lebih mirip bapak-bapak itu.”
“Emang umurnya berapa?” tanya Kak Reira
“Mau 23 tahun.”
“Mirip bapak-bapak?” Dahi Kak Hikaru berkerut. Kelihatannya, dia heran mendengar kesaksianku.
“Muka boros?”
“Mungkin. Jelas beda sama kalian lah, kalian 31 tahun lebih mirip 27 tahun.”
“Kamu bisa saja, Gi.”
“Biar gue tebak, pasti orang itu ketampanannya jauh di bawah gue atau Reira, sukanya cewek montok biar bisa coli. Right?”
“Duh soal coli-colian nggak paham gue, tapi dia bilang gue bukan tipenya.”
“Lalu?”
“Dia bilang lagi, sukanya cewek kayak Yingtze, cosplayer asal singapura itu.”
“Lanjutkan,”
“Namanya?”
“Yakin lo mau tahu?”
“Penasaran saja, siapa yang buat lo sebegitu bapernya.”
“Guntomo.”
“Bukan nama asli pasti,” Kak Hikaru mencebik.
“Bukan.”
“Nama asli sekalian!”
“Jangan sebut merk, kasihan. Nanti ketahuan busuknya.”
“Laki-laki kayak gitu, bagusnya diperlakukan sama kayak dia memperlakukan lo.”
“Do’ain saja yang baik-baik.” kataku tak ingin meneruskan perbincangan.
“Dik, gue bukan malaikat. Gue masih manusia, kalau lo disakiti, gue nggak terima.”
“Betul! Laki-laki kurang ajar,”
“Nggak usah dibahas, gue malas.”
“Tapi, ini menyangkut kejiwaan lo. Dik!”
“Baiklah, kalo lo penasaran sama nama aslinya.”
“Kasih tahu!”
“Agung Anggayuh Utomo.”
“Oh dia?”
“Ya dia, siapa lagi yang di Purwokerto selain dia?”
“Orang kayak gitu lo kejar? Buta mata lo, Dik!”
“Gue sudah bilang, gue waktu itu lihat pakai rasa.”
“Dia nggak tahu diri. Itu satu kalimat dari aku, Gi.”
“Mungkin, memang gue bukan tipenya yang montok. Apa gue implan payudara biar bisa disenangi laki-laki?”
“Nggak boleh! Ngapain lo buang uang cuma buat implan? Lebih bagus juga alami,”
“Setuju!”
“Percuma implan sampai payudara menjuntai tapi otak bodong alias bego, Gi.”
“Nah! Lebih baik cerdas dan banyak pengalaman dibanding cantik fisik tapi kepalanya kopong.”
“Hahahahaha…”
“Kenapa tertawa?” Kak Reira heran.
“Ada betulnya juga kalian bilang. Percuma payudara gede tapi bego. Nanti kendur lama-lama.”
“Benar sekali. Yang penting isi otak, penampilan rapi juga banyak yang lirik kok.”
“Seharusnya kamu bersyukur.”
“Bersyukur soal apa?”
“Kamu ditolak orang kayak gitu.”
“Kok bersyukur?”
“Iya, maksud aku Gi, seandainya dia menerima kamu apa ssmua berjalan baik kayak hubungan kamu dengan Norlorn atau pangeran?”
“Wah, nggak kepikiran kesana aku, Kak Rei.”
“Percaya deh, Tuhan pasti akan mengirimkan sosok terbaik buat lo, yang pasti bukan dia.”
“Mungkin juga kalau gue maksa kejar, bisa jadi keuangan gue jadi pailit alias bangkrut.” Aku mengusap dagu.
“Bangkrut? Apa maksud lo, Dik?”
“Ya bangkrut pokoknya. Bisa jadi, mau enaknya saja dia.”
“Lo memang kenal dia dari mana?”
“Dari facebook.”
“Pantesan aja.” Kak Hikaru menggeleng kepala mendengar jawabanku, seolah dia berpikir aku sudah gila.
“Memang kenapa?”
“Nggak semua yang kenalan dari facebook itu baik.” ucap Kak Hikaru.
“Makanya gue kapok buka facebook kalau nggak ada kerjaan dari S09 Lite.”
“Apaan tuh?”
“Itu kantor kecil-kecilan penulis Light Novel Subject 09. Gue gabung di sana.”
“Oh gitu. Kayaknya gue pernah dengar deh novel ringan itu, Dik.”
“Masa iya?”
“Aku juga deh, Gi. Yang nulis Bima Ratio sama Korudo Kikaru?”
“Nah iya itu.”
“Kalau mereka, lo boleh kenalan. Jangan kayak cowok nggak jelas lo kejar. Gimana sih!?”
“Ya maaf. Sekarang sudah nggak, Kak.”
“Ya sudah, yang terpenting sekarang kita makan. Setuju nggak Gi, Hikaru?” celetuk Kak Reira.
“Hah? Makan?” Dahi Kak Hikaru berkerut, bagai kebingungan mendengar pertanyaan sahabatnya.
“Makanan penutupnya kan belum, yang sudah makanan berat.” Kak Reira terkikik.
“Duh, kalau makan lagi nggak kuat, Kak Rei.”
“Sama. Mendingan lo habiskan saja tuh.”
“Seriusan?”
“Iya,” jawab kami kompak.
Dalam sekejap, beberapa kue bak hilang di depan mata. Kak Reira sangat lahap memakan semua kue jatahku dan Kak Hikaru. Sungguh luar binasa, seseorang berbadan kurus dapat menghabiskan makanan penutup dalam tempo sesingkat-singkatnya dan tidak terjadi perubahan berarti di tubuh Kak Reira sepertinya.
“Lo makan banyak gemuk nggak,”
“Bahagia itu sederhana.”
“Iya juga sih, Rei.”
“Jadi bersyukur gue, makan banyak nggak gemuk dan nggak pernah gede.”
“Bisa saja lo, Dik.”
“Cewek kayak Giovani langka, lo harusnya bersyukur.”
“Langka? Punah gitu?”
“Enak aja lo, Kak!”
“Perempuan zaman now kebanyakan umur muda tapi mirip tante-tante atau di atas umur 25.”
“Betul juga, Rei.”
“Giovani kebalikannya.”
“Muka boros itu kali, Kak Rei. Laki-laki juga sama deh, ada yang aku kira umur 28 nggak tahunya 25 juga belum. Semaput deh langsung.” Aku menyahut panjang.
“Yang penting pede, Gi. Yang menolak kamu, biarkan saja. Dia hanya orang nggak sadar diri.”
“Maksudnya?”
“Nggak sadar diri dengan apa yang dia lakukan.”
“Gue jadi bingung sama omongan lo, Rei.”
“Bagi gue, tipe itu bukan patokan. Percuma masuk tipe tapi bloon.”
“Lalu, kasus Giovani termasuk apa?”
“Dia korban cowok nggak sadar diri dan nggak tahu diri.”
“Dari segi?”
“Tahu jomblo bukan memperbaiki diri malah berharap “apa adanya” dengan kondisi nggak banget.” Kedua tsngan Kak Reira membentuk tanda kutip.
“Contohnya?”
“Kayak gue bilang, harusnya dia nggak buang kesempatan karena tipe nggak sesuai.”
“Itu dia. Gue heran juga, kebanyakan laki-laki nggak tahu diri dari kalangan menengah ke bawah. Selera ketinggian, usaha nol. Begitu juga sebaliknya.”
“Ya sudahlah ya, gue ambil pelajarannya. Intinya, jangan coba lihat orang lagi sepenuhnya pakai rasa, nanti malah sengsara.” Aku menimpali dengan senyum simpul.
“Iya, harus diperhatikan bibit, bebet,bobotnya. Jangan cuma rasa saja, Gi.”
“Gue setuju sama lo, Rei.”
“Iya makanya itu, gue sudah malas berharap dengan laki-laki lokal.”
“Jangan dipikirkan, lagian sekarang sudah ada dua sosok ganteng yang memperebutkan lo.”
“Lo muji apa ngeledek?”
“Bangga sama lo.”
“Mungkin lebih laku di alam lain ketimbang di tanah air. Hahaha…”
“Nanti juga dapat, tenang saja, Gi. Cewek baik, pasti dapatnya yang baik juga.”
“Semangat ya, gue akan selalu menemani lo.” Tepukan bahu Kak Hikaru laksana suntikan ssmangat agar aku lebih sabar dalam menjalani hal asmara di tempat tinggalku setelah penolakan secara tidak hormat dan pelecehan batin dan fisik terjadi.
“Pelan-pelan, pasti bisa lupa. Percaya deh sama gue.”
“Aamiin.”
“‘Kan sudah diberitahu.” jawab Kak Reira terkekeh.
“Nggak nyangka juga, salah satu adik gue ternyata diperebutkan dua hati.” Mulut Kak Hikaru menyeletuk.
“Gaje!”
“Benar tuh, Gi. Jarang banget kejadian begini. Mungkin saja, sehabis kamu menikah malah semakin banyak yang suka.” ujar Kak Reira seakan menasihati.
“Ngawur! Buktinya, aku ditolak.”
“Hah? Siapa yang berani menolak lo, Dik?”
“Itu,”
“Itu siapa? Jawab dong!”
“Ya itu… ada yang menolak gue.”
“Ya gue tahu, siapa?”
“Pokoknya itu! Gue juga malas sebut namanya,”
“Cerita dong,”
“Intinya, gue ditolak karena gue nggak cantik.”
“Siapa bilang lo nggak cantik, Dik?”
“Dia.”
“Nggak mungkin deh kalau ditolak cuma karena alasan nggak cantik, Gi.” Kak Reira mengamini.
“Ya karena aku bukan tipenya.”
“Nggak yakin gue, lo ditolak cuma karena alasan nggak cantik dan bukan tipe.”
“Jujur, Gi. Kami ‘kan ada buat kamu.”
“Karena badanku nggak montok, payudara nggak ukuran besar.”
“ANJAAY…!!” seru mereka bersamaan.
“Kenapa sih?”
“Memang hubungannya apa payudara besar sama rasa?”
“Cinta nggak bisa dipaksa, Rei.”
“Iya gue paham. Tapi, menurut gue nggak etis ketika laki-laki menolak perempuan cuma karena ukuran payudara.” Kak Reira menyilangkan tangan tanda tak setuju.
“Gila ya itu cowok!”
“Padahal, gue lihat dia bukan dari penampilan yang lebih mirip bapak-bapak itu.”
“Emang umurnya berapa?” tanya Kak Reira
“Mau 23 tahun.”
“Mirip bapak-bapak?” Dahi Kak Hikaru berkerut. Kelihatannya, dia heran mendengar kesaksianku.
“Muka boros?”
“Mungkin. Jelas beda sama kalian lah, kalian 31 tahun lebih mirip 27 tahun.”
“Kamu bisa saja, Gi.”
“Biar gue tebak, pasti orang itu ketampanannya jauh di bawah gue atau Reira, sukanya cewek montok biar bisa coli. Right?”
“Duh soal coli-colian nggak paham gue, tapi dia bilang gue bukan tipenya.”
“Lalu?”
“Dia bilang lagi, sukanya cewek kayak Yingtze, cosplayer asal singapura itu.”
“Lanjutkan,”
“Namanya?”
“Yakin lo mau tahu?”
“Penasaran saja, siapa yang buat lo sebegitu bapernya.”
“Guntomo.”
“Bukan nama asli pasti,” Kak Hikaru mencebik.
“Bukan.”
“Nama asli sekalian!”
“Jangan sebut merk, kasihan. Nanti ketahuan busuknya.”
“Laki-laki kayak gitu, bagusnya diperlakukan sama kayak dia memperlakukan lo.”
“Do’ain saja yang baik-baik.” kataku tak ingin meneruskan perbincangan.
“Dik, gue bukan malaikat. Gue masih manusia, kalau lo disakiti, gue nggak terima.”
“Betul! Laki-laki kurang ajar,”
“Nggak usah dibahas, gue malas.”
“Tapi, ini menyangkut kejiwaan lo. Dik!”
“Baiklah, kalo lo penasaran sama nama aslinya.”
“Kasih tahu!”
“Agung Anggayuh Utomo.”
“Oh dia?”
“Ya dia, siapa lagi yang di Purwokerto selain dia?”
“Orang kayak gitu lo kejar? Buta mata lo, Dik!”
“Gue sudah bilang, gue waktu itu lihat pakai rasa.”
“Dia nggak tahu diri. Itu satu kalimat dari aku, Gi.”
“Mungkin, memang gue bukan tipenya yang montok. Apa gue implan payudara biar bisa disenangi laki-laki?”
“Nggak boleh! Ngapain lo buang uang cuma buat implan? Lebih bagus juga alami,”
“Setuju!”
“Percuma implan sampai payudara menjuntai tapi otak bodong alias bego, Gi.”
“Nah! Lebih baik cerdas dan banyak pengalaman dibanding cantik fisik tapi kepalanya kopong.”
“Hahahahaha…”
“Kenapa tertawa?” Kak Reira heran.
“Ada betulnya juga kalian bilang. Percuma payudara gede tapi bego. Nanti kendur lama-lama.”
“Benar sekali. Yang penting isi otak, penampilan rapi juga banyak yang lirik kok.”
“Seharusnya kamu bersyukur.”
“Bersyukur soal apa?”
“Kamu ditolak orang kayak gitu.”
“Kok bersyukur?”
“Iya, maksud aku Gi, seandainya dia menerima kamu apa ssmua berjalan baik kayak hubungan kamu dengan Norlorn atau pangeran?”
“Wah, nggak kepikiran kesana aku, Kak Rei.”
“Percaya deh, Tuhan pasti akan mengirimkan sosok terbaik buat lo, yang pasti bukan dia.”
“Mungkin juga kalau gue maksa kejar, bisa jadi keuangan gue jadi pailit alias bangkrut.” Aku mengusap dagu.
“Bangkrut? Apa maksud lo, Dik?”
“Ya bangkrut pokoknya. Bisa jadi, mau enaknya saja dia.”
“Lo memang kenal dia dari mana?”
“Dari facebook.”
“Pantesan aja.” Kak Hikaru menggeleng kepala mendengar jawabanku, seolah dia berpikir aku sudah gila.
“Memang kenapa?”
“Nggak semua yang kenalan dari facebook itu baik.” ucap Kak Hikaru.
“Makanya gue kapok buka facebook kalau nggak ada kerjaan dari S09 Lite.”
“Apaan tuh?”
“Itu kantor kecil-kecilan penulis Light Novel Subject 09. Gue gabung di sana.”
“Oh gitu. Kayaknya gue pernah dengar deh novel ringan itu, Dik.”
“Masa iya?”
“Aku juga deh, Gi. Yang nulis Bima Ratio sama Korudo Kikaru?”
“Nah iya itu.”
“Kalau mereka, lo boleh kenalan. Jangan kayak cowok nggak jelas lo kejar. Gimana sih!?”
“Ya maaf. Sekarang sudah nggak, Kak.”
“Ya sudah, yang terpenting sekarang kita makan. Setuju nggak Gi, Hikaru?” celetuk Kak Reira.
“Hah? Makan?” Dahi Kak Hikaru berkerut, bagai kebingungan mendengar pertanyaan sahabatnya.
“Makanan penutupnya kan belum, yang sudah makanan berat.” Kak Reira terkikik.
“Duh, kalau makan lagi nggak kuat, Kak Rei.”
“Sama. Mendingan lo habiskan saja tuh.”
“Seriusan?”
“Iya,” jawab kami kompak.
Dalam sekejap, beberapa kue bak hilang di depan mata. Kak Reira sangat lahap memakan semua kue jatahku dan Kak Hikaru. Sungguh luar binasa, seseorang berbadan kurus dapat menghabiskan makanan penutup dalam tempo sesingkat-singkatnya dan tidak terjadi perubahan berarti di tubuh Kak Reira sepertinya.
“Lo makan banyak gemuk nggak,”
“Bahagia itu sederhana.”
“Iya juga sih, Rei.”
“Jadi bersyukur gue, makan banyak nggak gemuk dan nggak pernah gede.”
“Bisa saja lo, Dik.”
“Cewek kayak Giovani langka, lo harusnya bersyukur.”
“Langka? Punah gitu?”
“Enak aja lo, Kak!”
“Perempuan zaman now kebanyakan umur muda tapi mirip tante-tante atau di atas umur 25.”
“Betul juga, Rei.”
“Giovani kebalikannya.”
“Muka boros itu kali, Kak Rei. Laki-laki juga sama deh, ada yang aku kira umur 28 nggak tahunya 25 juga belum. Semaput deh langsung.” Aku menyahut panjang.
“Yang penting pede, Gi. Yang menolak kamu, biarkan saja. Dia hanya orang nggak sadar diri.”
“Maksudnya?”
“Nggak sadar diri dengan apa yang dia lakukan.”
“Gue jadi bingung sama omongan lo, Rei.”
“Bagi gue, tipe itu bukan patokan. Percuma masuk tipe tapi bloon.”
“Lalu, kasus Giovani termasuk apa?”
“Dia korban cowok nggak sadar diri dan nggak tahu diri.”
“Dari segi?”
“Tahu jomblo bukan memperbaiki diri malah berharap “apa adanya” dengan kondisi nggak banget.” Kedua tsngan Kak Reira membentuk tanda kutip.
“Contohnya?”
“Kayak gue bilang, harusnya dia nggak buang kesempatan karena tipe nggak sesuai.”
“Itu dia. Gue heran juga, kebanyakan laki-laki nggak tahu diri dari kalangan menengah ke bawah. Selera ketinggian, usaha nol. Begitu juga sebaliknya.”
“Ya sudahlah ya, gue ambil pelajarannya. Intinya, jangan coba lihat orang lagi sepenuhnya pakai rasa, nanti malah sengsara.” Aku menimpali dengan senyum simpul.
“Iya, harus diperhatikan bibit, bebet,bobotnya. Jangan cuma rasa saja, Gi.”
“Gue setuju sama lo, Rei.”
“Iya makanya itu, gue sudah malas berharap dengan laki-laki lokal.”
“Jangan dipikirkan, lagian sekarang sudah ada dua sosok ganteng yang memperebutkan lo.”
“Lo muji apa ngeledek?”
“Bangga sama lo.”
“Mungkin lebih laku di alam lain ketimbang di tanah air. Hahaha…”
“Nanti juga dapat, tenang saja, Gi. Cewek baik, pasti dapatnya yang baik juga.”
“Semangat ya, gue akan selalu menemani lo.” Tepukan bahu Kak Hikaru laksana suntikan ssmangat agar aku lebih sabar dalam menjalani hal asmara di tempat tinggalku setelah penolakan secara tidak hormat dan pelecehan batin dan fisik terjadi.
“Pelan-pelan, pasti bisa lupa. Percaya deh sama gue.”
“Aamiin.”
***
Hari demi hari berlalu, aku sendiri juga tidak tahu sudah berapa lama di istana bersama Kak Hikaru dan Kak Reira. Kehidupan kami bertiga berbanding terbalik, benar-benar seperti bangsawan namun berpakaian kasual dan modern seperti pakaianku semasa kuliah dulu dan di Jakarta.
Bukan hanya aku, Kak Hikaru dan Kak Reira juga. Tetap [/i]stylish[/i] dan trendi dengan gaya berpakaian cenderung gaya visual hosutonya. Banyak hal kami lewati di alam ini, termasuk istana. Pada akhirnya, aku mengetahui kehidupan di istana tidak kaku seperti dugaanku.
Lebih menyenangkan, damai, tentram, tidak kekuragan apa yang ku butuh. Namun, tetap saja harus pulang karena ini bukan tempatku meski berat meninggalkan tempat ini. Jika bisa, lebih baik di sini kalau saja tubuh tidak ada di rumah si mbok.
Hal membuat penasaran, sudah aku ketahui termasuk nama pangeran yang belum aku dengar. Pangeran paling tua dan pangeran ketiga. Pangeran berambut panjang hitam lurus dan pangeran berambut ikal berwarna blonda es dan anggota keluarga kerajaan lainnya.
Tapi yang terpenting, aku sudah berusaha menjadi tamu kerajaan yang baik bersama Kak Hikaru dan Kak Reira. Tinggal menunggu hasil akhir di turnamen. Siapakah sosok itu? Panglima muda atau salah satu putra mahkota?
No comments:
Post a Comment