7. My Sweet Baby


Pendar suam mengenai muka dari mirat atas, mendesak mengorak ain. Aku mengejap sebentar, pupil mengerbuk suasana sekeliling. Vista permanen, di kamar Norlorn. Ke mana Norlorn? Tak kedapatan batang hidungnya. Dia meninggalkan tubuhku begitu saja di kamar? Kurang ajar! Kini, macam mana keluar kamar tanpa baju?

Biji mata meluaskan tilikan setiap penjuru. Rapat. Cuma ada gawai lewah sepaket interior Eropa klasik. Apa tujuan Norlorn memboyongku ke sekatan? Jangan-jangan....


Stop berpikir yang mustahil Giovani! Untuk apa ia menahan perempuan tak ada sisi menggoda dan sensual di mata lelaki? Apa motifnya, andaikata aku disandera? Yang benar saja! Apabila kesudahannya semacam ini, lebih baik menanti Norlorn kembali. Tidak terlalu buruk ada di sini. Tidur di ranjang empuk, berlainan rasa dengan kasur di pondok.


Takah-takahnya betul, Norlorn adalah famili kerajaan. Diproyeksikan dari keseluruhan bagian kamar. Lebarnya? Barangkali 15 kali lipat kamarku. Beberapa pajangan idiosinkratis juga belum pernah dilihat rancangannya. Tubuh bergolek ke kiri dan ke kanan bak bocah. Kapan lagi leyeh-leyeh di ranjang mewah? Pertama kali sepanjang profesi selaku tafsir Tarot, menjelajah alam lain. Aku tak mau memikirkan ini mimpi atau bukan. Masa bodohlah—

Umpama bunga tidur, bagaimana bisa bersebadan? Nyeri tengah mereguk faraj. Tapi, aku tidak ingin bernala-nala atas rasa ngilu. Kepala mencodak ke kaca plafon, hari mulai senja ternyata. Dismilaritas gamblang dari waktu dunia manusia. Digresi.


Norlorn, di mana kau? Relung hati berkeriau memohon Norlorn datang. Apa-apaan dia itu? Membawa perempuan kemari, sementara ia lesap. Mau pulang tak tahu cara, ingin keluar takut tertangkap. Apalagi kiat selain menanti?



Norlorn, ku mohon kembali! Sedetik saja. Diriku ingin memastikan kau menepati janji. Aku ingin pulang....


Temperatur kamar kian rendah, bahkan mulut keluar asap pada setiap tiupan napas. Aku tidak dapat menahan dingin lebih lama. Kamar sebesar ini tak ada kemul? Bisa mati beku di sini. Sendirian terkurung dalam kamar laki-laki beda dimensi. Pikirkanlah Giovani, kau tak ingin mati konyol di sini ‘kan?

Fuad membelot, nalar berorasi kalimat hasutan. Ingin merunjam kepala jika bisa agar otak jelah. Tetap bertahan dan berharap keajaiban terjadi. Norlorn si pengampu ada dihadapanku sekarang!

Hari suah petang, berbinar cahaya layung tua. Sekelompok khalayak bersayap mengudara di dirgantara. Entah penghuni dunia alias fauna apa, tak diketahui varietas mereka. Jagat ini penuh rahasia, termasuk Norlorn. Ia membiarkan seonggok tubuh terlalu lama dalam kamar.

Hawa frigid bertalu-talu merusuk selira. Mati rasa. Tidak bisa merasakan apa pun. Nor... lorn.... Pelupuk mulai melingsir lalu—

Pecah bunyi menderit pintu. Siapa di sana? Ada suara sepatu melintas. Bagai siuman, langkah itu merupakan suara ku kenal. Dalam cerih energi, ku menjempalikkan badan. Norlorn telah hadir beserta sekubit senyum sekaligus harap-harap cemas. Ia mendekati ranjang, fokus dia resah. Kenapa?”

Das tut mir leid,” (Maaf, aku menyesal) Logatnya patah lidah, mata dia mengilap.



Dia memang datang, tapi aku mengharapkan dia hadir bukan dengan rona kesayuan. Yang dibutuhkan hanya selimut sebelum membeku, bukan mata sayu. 

“Ada apa denganmu?”

Norlorn merangkup, pelukan di ranjang membuat kemelitan. Ku usap punggung ia, dia... menangis.

Ma... af,” jawab ia pelan.

Aku menyenggap. Sudah tidak ingat cara menenangkan orang lain seperti dulu. 

“Noey... kamu....” Lidah kaku. Dekapan Norlorn tambah rapat. Terus terang, tak ingin kehilangan pelukan itu di sini, bahkan selamanya.

“Maaf, aku meninggalkan Nona terlalu lama.” ujar ia mengusap air mata. 

“Sebenarnya aku cuma....”

Kesekian kali bibir ia menghempap bibirku, lalu tersungkap. Sepasang tangan ia tak msmbiarkan pergi. Norlorn diam seribu bahasa sehabis meminta maaf. Biji mata biru menengadah ke lelangit. Sudah gelap, berwarna biru tua kelabu tergelar luas di kaca pagu.

“Kamu baik-baik saja?”

Norlorn sama sekali tak beranjak memaut tubuhku, mata dia mengagah angkasa. Fisik ini sudah lebih pesam menanding sore walau tetap perlu selimut. Agak lupa destinasi pulang ke buanaku, tak tega membiarkan Norlorn. Bagaimanapun juga aku mesti melangsir sebelum terlalai.

“Noey....”

“Ya?”

“Aku ingin pulang,”

“Pu... lang—tapi kenapa?”

“Kita pasti akan tetap bersama jika Tuhan berkeinginan.” 

Genahar berjeda sepintas. Ku tatap iris mata Norlorn lekap, manik mata pembuat hati jatuh pada status masa lalu. Sebuah kalimat terhempas begitu saja, “Percayalah, aku pasti kembali.”

Nona....”

Norlorn bersuara. Aku berdiri bertumpu lutut, susah payah merengkuh leher ia. Bersenggayut mesra sampai membentuk warna ahmar pada sisi wajahnya. Ku sentuh bibir mulus merekah menggunakan jari.

Cup!
Kecupan kecil berbekas pada bibirnya. Norlorn gagap, mimik dia makin merah padam. 

“Nggak ada yang mustahil kalau Tuhan sudah berkehendak.”

Ia tersenyum beriringan anggukan sepakat memulangi aku ke zona semestinya. Norlorn menyampaikan duaja untuk mengerepas mata. Terainya simetris, tubuh sangat ringan semacam bulu, membawa raga ini mencapai….


***



Aku terkinjat menyirapkan mata. Terbetik bunyi getaran dari samping dapra. Ternyata ada panggilan suara Whatsapp dari Hikaru. Tumben menelpon di sela kegiatan dia. Ada apa gerangan? 

Ku lihat jam ponsel. Indra penglihat membeliak. Sudah pukul 11 pagi? Bagaimana dapat pergi selama itu? Jelas, merusak reputasi bangun pagi sedari TK hingga kuliah. Ponsel tetap bergetar seperti menyadarkan aku. Ku sentuh tombol telepon lalu mengangkatnya,

“Halo,” 

“Halo Dik, masih ingat sama gue?” tanya ia.

“Masih lah. Itu gile lu Ndro namanya, kalau nggak ingat abang sendiri.” Aku menyembur. Kakak terkadang aneh, suka menelepon tiba-tiba namun mengabari hal tak penting. Sekarang, hal aneh apa lagi yang ingin ia bicarakan?

“Kirain nggak ingat,” 

“Gue ‘kan sudah bilang ingat!” ujarku melotot. 

“Gimana kabar lo?”

“Kayak yang lo dengar dari suara gue. Lo sendiri?”

“Baik.”

“Syukur deh. Masih jadi hosuto?” 

No host no life,” Ia terdengar percaya diri. 

“Terserah lo deh,”

“Dih!?” semprot Hikaru.

Aku melihat ekpresi ia di telepon bersama dengusan, walau kami tak melakukan panggilan video. Terkikik melihat bibir Hikaru bersut di kamar. Tawa terlepas, begitu Hikaru menggerutu dan menyebut diriku Majo (Paranormal/Dukun).



“Nggak usah ngatain, lo juga sama!” seruku sambil tertawa.

“Beda!”

“Beda apanya?”

“Gue conjurer,”

“Sama aja kali! Lo majo, gue majo. Majo tak gentar,”

“Lo kira lagu nasional!?” 

“Ya deh, gue cuma bercanda.”

“Nggak ada dukun sekeren gue.”

“Iya deh.”

Ku akhiri obrolan. Baru ingin menutup sambungan, Hikaru melontar kalimat mencenangkan. Membuat tercenung dan malu saat ia mengatakan itu,

“Habis ngapain lo semalam? Polos amat?”

“Ngintip lo, ya?”

“Kelihatan di mata gue. Boleh juga badan lo,” 

“Apaan sih!?”

“Kapan-kapan lah ke Tokyo, gue belum menyicip lo lagi,”

“Kemana saja lo!?”

“Ya elah, maaf. Nggak sadar gue, kalau lo cukup seksi juga.” Hikaru tertawa.

“Berisik!”

“Oh, lo nggak mau? Karena sudah ada laki-laki beruntung rasain badan lo?” cecar ia.

“Bukan urusan lo!”

“Oke, nggak masalah. Tapi, pakai baju sana.” kata ia. 

“Ya sudah, gue mau pakai baju. Bye….”

“Lain kali, pemanasan dulu sebelum main ya,” 

Seketika, Hikaru memutuskan koneksi panggilan. Aku beranjak mengambil baju di lantai kamar. Bagaimana keadaan Norlorn di sana? Semoga baik-baik saja. Untung, Norlorn mau mengembalikanku ke kamar. Jika tidak? Bisa mati kedua kalinya. Ku buka pemutar musik, lagu dari One OK Rock- My Sweet Baby berputar, jadi semakin rindu pada ia, sosok rupawan pengalih hati.

No comments:

Post a Comment