5. You are My Destiny (3)


Sebelumnya tak ada yang mampu mengajakku untuk bertahan di kala sedih

Sebelumnya ku ikat hatiku hanya untuk aku seorang

Sekarang kau di sini, hilang rasanya...
Semua bimbang, tangis, kesepian...

(Kau Cinta Pertama dan Terakhir-Sherina)

Itu dulu. Kini, fuad hati kehadiran persona pembuat bingung beserta rasa aneh. Apakah serupa bila bukan dirimu, Norlorn? Simpul senyum ia jadi pengingat, bahwa Norlorn sosok terbaik ku temui dari luar perkiraan. Bila suatu saat kau harus pergi, aku tak ingin memaksa diri untuk cari yang lebih baik. Sudah 10 menit menggaib, dia kembali membuat bertanya, inikah cinta, cita atau sekadar kagum? Dia sudah cukup mengindahkan rekes, itu sudah membuatku mulai yakin.

Rawi telah tinggi, berkilau binar platina dari jendela. Ruang tamu sudah sunyi. Norlorn datang penuh misteri bersama asal-usulnya. Seperti apa dunia Norlorn? Sama persis bagai roman impian penuh magi? Mungkin saja….

Wangi tubuh Norlorn berganti harum masakan tercium dari dapur. Bau khas olahan buatan si Mbok, siapa yang tak kenal kelezatan buatannya di keluarga kami? Baik tiri atau kandung sebelum beliau pensiun tahun 2011 silam, memilih menetap di kampung halaman sampai waktu ini.

Kruukk—
Cacing mulai lektur di tembolok. Kalau begini akhirnya, lebih baik langsung ke dapur sambil melihat olahan makanan si Mbok. Langkah bergerak cepat hingga bunyi sandalku mersik.

“Masak apa, Mbok?” Aku bertanya basa-basi.

“Lihat sendiri,” balas si Mbok.

“Mi goreng, Mbok?”

Kowe ora ndeleng mi sebaskom?” (Kamu nggak lihat mi sebaskom?)

Iya juga. Aku tak jeli melihat mi di samping wajan. Pantas, akhir-akhir ini si Mbok bilang mataku blereng (Nggak jelas), mi sebaskom kecil saja tak terlihat. Sudah saatnya ke dokter mata mungkin. Tapi, Mbok selama ini tidak tahu, aku dan saudara kembarku bisa ‘melihat’ seperti Hikaru.
Spoiler for blereng:


“Nggak,” Aku menggeleng jujur.

“Kamu kebanyakan lihat hape, makanya periksa ke dokter.” Si Mbok tertawa kecil. Aku berleter. Cumauntuk saat ini, si Mboklah yang bersedia menerima sampai aku bisa dapat pekerjaan lebih baik daripada tempat sebelumnya. Jika tinggal di rumah Kakak kandung, mustahil. Mereka lenyap ditelan bentala.

“Cari uangnya ‘kan dari sana, Mbok.”

“Kalau di sini juga mau kerja apa? Cuma ada kerja pabrik dan jahit bulu mata.”

“Desainer nggak ada, Mbok?”

“Kamu ada-ada saja. Apa yang mau diandalkan dari Desa?”

“Susah ya Mbok, jahit bulu mata?”

“Susah atau ndhak, tergantung kamu. Tapi, saya ndhak yakin kamu tahan dengan Bosnya.”

Betul juga. Di sini, kalau tak punya kendaraan pribadi akan lebih repot. Tak akan bisa menabung dari gaji. Bisa jadi si Mbok bilang betul, atasan menyebalkan. Tak mungkin aku baku hantam bukan? Seandainya, Mbok tahu Akshita ada di Rumah Sakit Jiwa bagaimana perasaannya? Sebaiknya ku beritahu sampai ada waktu yang tepat.

“Ya, namanya juga kampung.”

“....”

Terserempak terkenang Norlorn. Aku lupa sudah ada teman baru. Kelihatannya, Norlorn bisa memberi saran untuk pekerjaan. Sudah muak dengan status diri, pengangguran semenjak di sini. Jika ia sudah datang, akan ku bicarakan.


***


7 jam kemudian....

Pukul 7 malam di jam dinding. Aku selalu datang ke ruang tamu, tak lain dan tak bukan buat menggali sinyal ponsel, membaca kartu Tarot atau menulis cerita. Malam ini tujuanku lain, yaitu memanggil Norlorn lagi untuk meminta saran. Hatiku berkata, Norlorn paling tepat dan pemberi solusi andal. Cara sama diulang menjadi pemanggilan. Sepanjang sejarah di catatan spiritual, Norlorn paling mudah untuk dipanggil. Tidak seperti entitas lain, apalagi lokal. Lebih sulit di sesajen.

Sedetik, ku diam. Wangi tercium dari arah ruang makan samping kamar si Mbok. Akan tetapi....

“Gi!” panggil si Mbok. Perasaanku tidak enak, jangan-jangan Mbok mencium wangi dari Norlorn. Semoga salah. Dengan segara, kaki menghampiri kamar Mbok.

“Ada apa, Mbok?”

“Kamu pakai parfum? Wangi banget.”

Benar saja, si Mbok mencium kehadiran Norlorn. Dia menatap penuh ingin tahu. Terpaksa berbohong mengatakan memakai parfum pinjaman dari Hikaru agar beliau tidak curiga pada ku dan Norlorn.

“Buat apa pakai parfum malam-malam?”

Aku memilih nyengir sambil mengambil jurus 10 langkah ke ruang tamu sebelum terlambat dan ada yang sadar Norlorn hadir selain aku. Norlorn duduk seraya bersandar pada punggung sofa. Tunggu dulu... Penampilannya berbeda dari tadi pagi. Kelihatan lebih modern dan kekinian memakai setelan jaket hitam dan kaos, celana 7/8 bersama sepatu kets. Perubahan drastis dari fantasi ke trendi. Aku melangkah terburu-buru ke sofa hingga kaki tersandung, menimpa tubuh Norlorn. Jempol terasa remai.

Norlorn menertawai serta meledek. Tangan ia merangkul pinggang, “Rindu denganku, Nona?”

“Kangen gundulmu!” seruku. Reflek, tangan menarik telinga ia. Norlorn meringis memohon ampun. Tersenyum puas mendengar suara rengek ia padaku. Norlorn bersungut, jari ia bersinggunggan, “Aku minta maaf, Nona. Tolong lepaskan.”

Kenapa tatapan memohon mata ia jadi membuatku lemah? Jeweran melunak. Norlorn menggenggam tanganku, ia berbisik, “Dua sama,”

“Hih!”

“Kau tinggal bilang rindu, apa susahnya?” Norlorn sedikit memaksa. Dari nada bicara dia kelihatan.

Aku membantah, “Aku memanggilmu bukan karena kangen tapi butuh saran. Paham?”

“Galak sekali kau!” Norlorn mencibir.

“Biar!”

“Ya ampun... Ckckck,” Ia berdecak.

“Kenapa? Nggak suka!?”

“Terserah kau saja, Nona.”
Kurang ajar sekali Norlorn, baru sehari sudah lancang.

“Kau ini kenapa? Ingin aku cium?” Norlorn mengebom.

“Siapa yang minta dicium?!”

“Ada apa dengan bibirmu?”

“Aku sebal!”

“Oh ya?” Alis dia naik. Tangan ia menyentuh dagu, membuatku kanyar. “mengaku saja kau suka padaku, Nona. Aku tahu itu....”

Apa sih dia!?

“Memang kenapa!?” ujarku keras dari telepati.

“Benar tebakanku.”

“Masalah untukmu?”

“Di mana saja perempuan itu sama. Susah sekali mengakui,” Kepala Norlorn menggeleng.

“Kamu memang nyebelin!”

“Ya,aku memang menyebalkan sampai kau suka padaku.” Norlorn bicara.

“Berisik!”

“Ya sudah, apa maumu?”

“Aku meminta saran soal pekerjaan.”

“Pekerjaan apa yang kau maksud?”

“Beberapa bulan ini, aku dapat dibilang pengangguran setelah resign. Kira-kira, bisa nggak ya kerja dari rumah?”

“Semua tergantung dirimu. Bisa kalau kau mau, misalnya jadi penulis artikel atau novel berbayar di situs? Pernah mencoba?”

“Belum.”

“Di coba saja, setidaknya kau masih bisa menyalurkan hobi menulismu. Betul tidak?”

“Iya juga. Terima kasih untuk saranmu.”

“Terima kasih kembali. Tetap semangat, Nona.”

“Aku nggak salah memanggil kamu.”

“Terima kasih, semoga berhasil.” Ia nyengir.

“Semoga memang di sanalah jalannya.”

“Kuncinya cuma kesabaran dan....” ucapan dia terhenti semacam ada hasrat tersembunyi. Mau apa dia?

“Dan apa?”

“Kita akan berseranjang malam ini.” Ia terlihat agresif.

Spa-apaan dia itu? Mengajak tanpa basa-basi?

“Apa kamu bilang!?”

“Sudah jelas tadi, Nona.”

“Tapi....”

“Aku akan memperlakukan seperti kau inginkan. Jangan ragu denganku.” kata ia yakin.

“Gimana ya?”

“Kalau kau tidak mau, aku tidak akan memaksa.” Bibir ia naik setengah.
Berada diantara batas. Terima atau tidak?

“Baiklah, aku terima.” Aku mengangguk.

“Benar? Kau tidak terpaksa ‘kan?”

“Nggak,”

“Masih belum yakin padaku, Nona?”

“Bukan itu.”

“Apa?”

“Aku cuma takut setelah itu kamu pergi.”

“Aku tidak akan pergi. Seperti kataku tadi siang, kau adalah tujuanku.” Norlorn bungkam serejang.

“Karena masa lalu.”

“Aku akan mengganti kenangan buruk menjadi menyenangkan. Aku berjanji, Nona.”

“Benarkah?”

“Ya. Namun...”

“Ada apa, Noey?”

“Seandainya kau telah menemukan seseorang yang tepat, jangan lupakan aku.” Pandangan ia kelihatan sedu. Aku masygul, tak tahu harus bagaimana. Perlukah mencari cinta lain jika cinta itu sudah datang padaku? Bulir bening menetes, ku usap air mata dengan tangan.

“Aku ada di sini bersamamu,” Norlorn membelai punggung.

“Jika memang takdir kita bersama, aku nggak akan mencari sosok lain.” Aku sesenggukan.

“Kita akan bersama sampai semua menjadi kebahagiaan.” Norlorn memeluk rapat. Tenteram dan hangat jadi satu. Andaikan Norlorn memang bagian dari kepingan hati yang hilang, suatu hari akan ku ketahui jawabannya.

No comments:

Post a Comment