“Kita akan bersama sampai semua menjadi kebahagiaan.” Ujaran ia
berkumandang, terlampau merunjam perasaan. Elusan yad ia di sirah
membentuk rasa aman. Terbias ada rasa waswas kehilangan Norlorn.
Tetapi….
Tidak mungkin Norlorn bersamaku selamanya. Ain berupaya untuk berpalis,
namun saraf tak simultan. Memilih tetap memandang iris mata Norlorn. Aku
merapat lebih dekat. Kiranya diri ini sudah terselap, bagaimana mereguk
dekapan.
“Aku memahami, Nona.” kata Norlorn.
Apa iya? Masih ragu oleh ucapan ia padaku tadi.
“Nona belum percaya padaku?” Pertanyaan dia menggerendel pikiran.
Aku menggeleng, bermaksud memutuskan perbincangan. Tapi tidak bisa, hati
menetapkan ingin berhubungan. Pretensi lengkara ku harapkan.
Lebih-lebih lagi, kami bertentangan makrokosmos dan faset. Apa benar,
mayoritas makhluk tak kasat mata itu licik? Jika iya, bagaimana dengan
penulis sekaligus praktisi paranormal seperti Risa Saraswati dan aktris,
Sara Wijayanto bersama ‘teman-teman’ mereka? Tumbuh bersama, bahkan
terlihat maju.
“Maaf,”
“Aku mengerti, karena baru malam ini berbincang lebih lanjut.”
“Bukan belum percaya, aku perlu waktu.” elakku.
“Baik. Aku tunggu sampai kau siap, Nona.” Norlorn tersenyum, sembari memperlihatkan barisan geraham bersih ia.
Ada penorama memikat pada sela gigi, menyembul selarap caling mungil di
bagian kanan dan kiri. Gigi taring itu mencelikkan pada sebagian teman
laki-laki Hikaru di Jepang, nyaris seluruhnya mempunyai. Ibarat
keturunan vampir.
Berdasarkan kabar, gigi gading merupakan salah satu standar kecantikan
Jepang. Desas-desusnya, gigi sangir membuat penampilan lebih memukau.
Memang benar saat melihat Norlorn, ia tambah menawan selagi mengunjukkan
gigi. Aku termangu sampai—
Anak jari Norlorn mengejutiku, “Apa yang kau pikirkan, Nona?” Kebingungan terdengar di pertanyaan ia.
Aku tersenyum sambil menggeleng.
“Yakin tidak memikirkan apapun?”
“Aku bersumpah,”
Ia meneroka mataku dalam, memeriksa ingatan. Beberapa detik setelahnya,
pupil ia menyempit. Kemudian, Norlorn tersenyum seiring corak ahmar di
pipi. Ekspresi dia berubah haluan laksana Roller Coaster.
“Aku percaya padamu, Nona.” cetus dia.
Bagus Norlorn percaya, dia tidak mengerti giginya interesan. Bibirku
melengung ke bawah mencairkan suasana. Gerak nyarik jarum jam dinding
mengusik kelengangan, hanya mata baku pandang satu sama lain.
“Nona…”
Sebuah pembukaan terdengar dari mulut Norlorn. Tidak menyangka, materi
obrolan serasa timbul lagi. Batas perbedaan seakan hilang, hanya ada 2
makhluk berbeda dimensi sama-sama pasif.
“Menarik,”
“Apa?”
“Rahasia.” Lidah terjulur menggoda.
“Huh….”
Aku tahu dia ikut penasaran dengan kata menarik ku bilang selintas.
“Ada apa?”
“Katakan padaku, Nona! Apa yang menarik?”
“Penasaran ya?”
Norlorn menyomasi dengan memajukan bibir. Aku mesem seraya bersuara, “Aku perlu bilang?”
“Katakan padaku sekarang, Nona!”
“Baiklah. Aku mau bilang senyumanmu menarik.” ucapku.
“Menarik?” Norlorn terpegun.
“Kamu mau tahu, kenapa senyumanmu menarik?”
“Aku ingin tahu!”
“Karena taring kecil milikmu,”
“Aku tidak mengerti….” Dia menggeleng.
“Sebentar…”
Aku mengambil ponsel sambil membuka galeri foto, mengungkapkan foto
beberapa teman Hosuto (Sebutan untuk laki-laki penghibur di kelab malam Jepang) yang mempunyai senyum menarik. Dahi Norlorn
mengerut. Ku rasa ia heran melihat foto pria-pria ‘cantik’di ponsel.
“Siapa mereka?”
“Mereka teman Kakak tiriku, Hikaru.”
“Terlihat mirip wanita.” Norlorn terkikih.
“Rata-rata memang begitu. Tapi, mereka laki-laki tulen kok.” Aku meluruskan tanggapan Norlorn.
“Oh ya?”
“Walau Bishounen (Sebutan untuk laki-laki berpenampilan cantik seperti tokoh komik perempuan berkisar umur 20-25 tahun) , mereka sebetulnya macho.”
“Bishounen?”
“Sudah ku contohkan di foto.”
“Seperti itu yang disebut Bishounen?”
“Ya, termasuk.” jawabku singkat.
“Apa aku juga termasuk Bishounen, Nona?” tanya dia banyol.
“Hummm, apa ya?”
“Ayolah Nona, jangan membuatku tidak tenang malam ini!” Harapan dia meninggi, keingintahuan ia berada pada fase puncak.
“Rahasia,”
“Katakan padaku atau….”
Norlorn mengarahkan tangan ia sembari menggoleng daguku. Dia memiringkan
wajahnya melekati birai. Dia mau melakukan apa? Renyut hati lebih
cepat, bergolak tak tentu.
“Katakan cepat! Atau kau akan aku…”
“Ya..., aku mau ngomong....” Ku jauhkan jarak pandang dari wajah ia.
“Ayo cepat!”
Lagak ia mirip mafia, menodong dan menuntut. Aku tak ingin membuat
perkara pada dia. Memang lebih baik cepat dikatakan daripada beradu
lidah semacam masa lalu di rumah Ayah sesudah pengusiran Kakakku dari
rumah. Dan berakhir depresi di sana.
“Sabar dulu,”
“Ayo!”
“Kamu bukan Bishounen,”
“Lalu apa?”
“Bidanshi,” (Laki-laki tampan beusia diatas 25 tahun)
“Apa lagi itu?” Mata ia menyipit.
“Bishounen itu untuk laki-laki berumur dua puluh sampai dua puluh lima tahun.” jelasku.
“Bedanya dengan Bidanshi?”
“Sebutan untuk om-om,” jawabku tertawa.
“Aku tidak setua itu, Nona!” Norlorn kelihatan keberatan.
“Aku bercanda. Hahaha...”
“Ku maafkan. Bisakah kau memperlihatkan contoh laki-laki Bidanshi?”
Ulang ku sibak galeri foto, menyinggir contoh potret pria Bidanshi.
Sesungguhnya ragu mengekspos gambar Natsume. Memang dia termasuk
Bidanshi, tapi....
Jari terhenti pada foto dia. Norlorn iring mengamati. Tak lama ia bertanya, “Itu yang disebut Bidanshi, Nona?”
“Ya,”
Norlorn teguh mencerap foto Natsume dari rambut hingga lutut. Indra
penglihat ia memandang surai berpotongan eksentrik, berwarna blonda
hampir sebahu. Dia menyoroti aksesori Natsume.
“Aku lebih ganteng dari dia!” Norlorn mengaru instingtif.
“Hah!?”
“Jelasnya, aku lebih keren,”
“Idih?”
Penampilan Norlorn memang layaknya visualisasi film, kelihatan
karismatis dan cuek. Tetapi realitas kontradiksi dengan sinema. Dia
narsistik dan terlalu percaya diri. Kecele pada novel dan film fantasi,
tak sesuai bayangan.
***
“Ada yang salah, Nona?”
“Kamu ini narsistik sekali.” tangkisku.
“Aku bilang fakta,” Norlorn menyanggah.
“Hih....”
“Tinggal kau akui, aku lebih keren dari laki-laki beranting dan rambut
bercorak kuning busuk itu!” Dia bertempik. Lengannya memeluk panggul,
membuat bulu gitok menggermang.
“Nggak!” Aku berdalih.
“Pembohong,”
“Aku nggak bohong!”
“Kau membohongiku, aku tahu dia mantan pacarmu,” Ia menyeringai.
“Sok tahu,”
“Aku tahu semua rahasiamu, tak akan bisa kau tutupi dariku.”
Perkataan ia mengecutkan hati. Jika semua rahasia mencuat ke permukaan, maka habislah aku.
“Kamu nggak tahu!”
“Aku tahu semuanya. Tidak akan bocor asal…”
Ucapan Norlorn terhenti. Ku rasakan atmosfer tidak enak. Pasti ada
maksud lain di balik omongan ia. Tak ingin berseteru, meningkatkan
kewaspadaan tak salah bukan? Di manapun, ada makhluk jahat dan baik.
Apakah aku harus mempercayai Norlorn? Keadaan menginjak tidak nyaman.
Benak bertafakur militan agar Norlorn pulang ke dunianya tanpa meminta
sesuatu. Sekian menit berpikir—
Aha! Sebentar lagi jam tidurku, pukul 11 malam. Tubuh berpindah dari sofa, semoga dia benar-benar pergi.
“Tunggu!” Norlorn menahan tanganku. Dia ikut berdiri dari sofa dengan
dekapan dari belakang. Norlorn menunduk, memperdengarkan kembali suara
miliknya.
“Kau tidak lupa janjimu ‘kan?”
Sial! Dia menagih jawabanku tadi. Gagal strategi angkat kaki dari
Norlorn. Ia berbicara, agak-agak mengejek siasat gagal barusan. “Aku
berkata apa tadi?”
“Tahu semua rahasiaku?” Aku menyinyir.
“Aku tidak ingin menjawab dua kali.”
“Lalu?”
“Penuhi janjimu,”
“Sejak kapan aku pernah janji?” tanyaku mengelak.
“Dua jam lalu.”
“Soal apa?” Aku tidak ingin ingat.
“Pura-pura lupa kau, Nona?”
Kesialan beruntun terbuai rayuan 2 jam lalu tanpa pikir panjang. Karena
tergoda penampilan rupawan dan rasa ku tahan cukup lama, yaitu
berseranjang. Diriku menelan ludah, akankah melakukan itu bersama
Norlorn?
“Aku... nggak lupa,”
“Aku tahu kau cuma pura-pura.”
Nafsi berusaha tenang sekaligus membuktikan keterangan situs ku baca.
Semua akan terjawab di ranjang. Aku berjalan ke kamar, Norlorn
mengikuti. Sampai bilik, ku lepas sandal sambil menutup pintu. Kaget
melihat Norlorn sudah ada di tempat tidur.
“Hai Nona,” sapa dia.
“Sejak kapan kamu di sana?” Alisku berkerut.
Norlorn tersenyum singkat. Dia melambaikan tangan memberi isyarat agar
segera tidur dengannya. Terpintas rasa bergidik, tapi penasaran. Tanpa
komando, aku duduk di sisi ranjang. Bergeming menunggu aba-aba dari dia.
“Kenapa kau diam?”
“Aku harus bagaimana?” Perasaan kikuk terangkat. Aku baru pertama kali
mau bercumbuan bersama makhluk mitologi tak sengaja dipanggil.
“Buka saja pakaianmu dan tidurlah,” Norlorn mentitah.
“Kamu...”
“Ada apa?”
“Kenapa masih memakai baju?”
“Tak perlu kau tahu, lakukan apa yang ku pinta.” Ia merespons cepat.
Ku lucuti satu persatu pakaian hingga tidak ada lagi tersisa sambil
berbaring. Dari mata Norlorn, begitu dominan rasa ingin mencobai badan.
“Boleh juga tubuhmu, Nona.” Ia melihat seperti raja hutan kelaparan.
“Berisik! Jadi nggak!?”
Sengaja membelakangi Norlorn, agar dia tidak mengetahui aku malu dengan
diri sendiri yang telah cukup sering melakukan hubungan bebas dengan
beberapa teman hosutoku di Jepang selama merawat Hikaru, termasuk
bersama mantan kekasih. Norlorn menggeremet memegang-megang tubuh,
rasanya....
“Aku menyukai tubuhmu,”
Ku telan ludah, mati-matian memalangi bujukan supaya tidak terlampau jauh mengiyakan permintaan dia.
“Semuanya....” Norlorn menyambung.
Lidah dia bergulir menjajap telinga, memberi rasa geli. Jariku meremas
sprei, Norlorn bagai tahu karakter dan titik kelemahan. Dia meraba bahu
seakan menekan tuts piano. Kalau begini, lebih baik menyerahkan diri.
“Nn... oey....” Aku mendesau.
“Ada apa, Nona?” Sekejap, sambaran Norlorn berhenti.
Napas menjadi tidak teratur selagi bibir tipis ia ikut bergerilya di
leher sembari tangan Norlorn menyinggir rambut ikal sedadaku. Perlakuan
dia membuat mabuk, hampir lupa dia bukan manusia.
“Kau suka, Nona?”
Wajahku merona. Ku beri tanda anggukan untuk tindakannya. Norlorn
menyuruhku berbalik menghadapnya. Aku terkesima karena tubuh dia. Polos,
pakaian dia menghilang. Cuma tersisa kerabu di telinga.
“Seimbang ‘kan?” Ia melirik.
Ya Tuhan, tubuh Norlorn atletis, kulitnya tampak mulus seperti wajahnya.
Lengan kekar berporsi pas membuat ingin pegang. Melihat tubuh ia begitu
seksi dan amat mengarung berahi, tak seharusnya ku berpura-pura.
“Siap, Nona?”
Situs ternyata benar, para entitas dapat memberi perlakuan nakal.
Norlorn contohnya. Malah tambah ingin hubungan cepat dilakukan, sensasi
berbeda sudah dapat dirasakan dari mula. Apakah berakhir manis?
“Pejamkan mata!” Norlorn memerintah.
Aku melakukan arahan. Tubuhku serasa berkimbang-kimbang, semua gelita
selama Norlorn belum menginstruksikan membuka mata. Badan makin ringan
lalu….
***
“Buka matamu, Nona manis.” bisik dia.
Seiring mata membuka, gigi turut gemertuk melihat kamar tadinya sempit
berubah megah berinterior glamor dominasi warna putih meta. Ranjang
besar nan empuk menambah kenaiman kamar ini, bergaya arsitektur Eropa
klasik. Sangat berkelas, berbeda dari kamarku baik dulu sampai hari ini.
Di salah satu dinding, banyak pedang berbanjar apik. Desain semua
candrasa mengingatkan pada game RPG.
“Di mana ini?”
“Selamat datang di kamarku, sayang.” Norlorn membelai rambutku.
“Kamar… kamu?”
“Ssst… jangan keras-keras, kalau ada yang mendengar akan gawat.” Norlorn membukam bibirku memakai telunjuk.
“Maaf…”
“Tidak apa-apa,” Norlorn mengibaskan tangan.
Keadaan tubuh kami sama, tak ada yang menutupi. Perbedaan hanya kamar
mewah bergaya zaman pertengahan. Sekarang, jadi tidak sabar untuk
memulai. Seperti mimpi, bercengkrama di kamar prestisius. Walau kamar
ini terlalu spektakuler bagiku. Bisa jadi, Norlorn adalah turunan
bangsawan atau bagian dari keluarga kerajaan.
Dia memutar posisi jadi telentang, sedangkan ia di atas tubuhku. Cukup
pengap kala Norlorn menghimpit. Tak diterka, Norlorn melancarkan
aktivitas tambahan. Membuat tubuh kian beringsang.
Ah kau, Norlorn… aku jadi ingin merasakan lebih cepat aksi eminen di wilayahmu.
Aku melenguh selagi ia memberondong ciuman pada tubuhku.
“Noey….” Napas memburu sejak tadi, tidak stabil karena apa yang sudah lama tidak dilakukan.
“Ayo lakukan sekarang! Aku sudah nggak tahan lagi,” pintaku memburu.
Kejantanan dia mendobrak tembus kewanitaan. Perih….
Bibir dia inisiatif mengunci mulutku. Mengisap penuh antusiasme, mengurangi nyeri di farji. Nikmat dan sembiluan bersebati.
“Kau tak apa-apa, sayang?” Ciuman berhenti, dia tampak cemas.
“Perih,” reaksiku.
“Maafkan aku, Nona.” Norlorn mengecup kening.
“Pelan-pelan saja, aku pbelum dapat mengimbangi.” Ku genggam tangan dia.
“Baik,” Norlorn mengangguk, melambankan gerakan ia. Napasku sudah lebih
stabil. Norlorn balas mencengkeram tangan, dia berkata, “maaf membuatmu
kesakitan, Nona.”
“Sudah lebih baik sekarang.” ucapku dengan senyuman.
Norlorn meneruskan gerakan, terasa penuh di dalam pukas. Semakin rapat
genggaman tangan, dari pelan jadi abnormal. Ranjang tadinya diam,
berayun konsisten menjadi saksi malam bertegah kami. Bagai melangit, tak
lama, tubuhku bergetar dan....
“Aku menyukaimu, Nona.” Suara Norlorn terdengar sayup-sayup.
Mataku terlayang, kemudian tak mendengar apa-apa lagi.
No comments:
Post a Comment