Kedua pasang genahar kami silih mencucup, menyerupai gelabah masa lalu.
Namun di mana? Tidak ingat pernah bertemu selain pagi hari. Makin
dipikirkan, justru kian karut.
“Aku tahu yang ingin kau tanyakan. Anggap saja manisan pembuka dariku.”
Norlorn tahu apa? Membikin aku urung niscaya memafhumi, dia belum
berkenan terus terang. Hal wajar, berkenalan belum ada 24 jam, tidak
mungkin serta-merta dekat. Kendatipun, ada ras langsuir memiliki
karakter polos, bangsa batari contohnya.
Norlorn, si mistis elok pereka cipta hati penasaran.
Ragu. Ada hubungan dengan masa lalu? Barangkali. Kecupan dia menyadarkan
ada cita tersembunyi. Ingin merasai lebih lama bersama ia. Sebelum
lebih jauh, Norlorn menghentikan ciuman. Memandangi indra penglihatku
dengan halus.
“Norlorn—“ sebutku pelan.
Dia mengaribkan ceropong ke telinga, berbisik-bisik,”Ada apa, Nona?”
Kuduk berdiri mengindahkan bicaranya. Aku tercenung sececah,
“kenapa?” tanya dia. Raga mengkristal sekilat, tak tahu harus melakukan apa.
“Nggak apa-apa,” Kepalaku menggeleng.
“Aku tahu, Nona masih ingin merasakannya.” Norlorn menerka.
Aku beranggut, dia ternyata paham mauku. “Nggak boleh?”
“Mohon maaf, Nona. Bukan tidak boleh, coba Nona pikirkan satu hal,” Norlorn membalela.
“Apa itu?”
“Bagaimana jika perempuan werda itu kembali ke dalam, Nona?”
“Siapa yang kamu maksud?”
“Wanita tua penghuni rumah ini.”
“Maksudnya si Mbok?”
Norlorn mengangguk-angguk dan bersuara,”Seandainya ia melihat kita
berkecupan, sedangkan Nona terlihat sendiri. Bagaimana perasaannya?”
Norlorn ada benarnya, apabila Mbok melihatku di ruang tamu dengan
kondisi begini, bisa disangka edan. Walaupun Mbok tidak akan mengatakan
secara langsung, aku tahu.
Agak khawatir juga andai keluarga tiri tahu, aku dapat melihat ‘mereka
yang tak terlihat’ alias lelembut lalu mereka duga, diri mengalami
tekanan kebengisan Ayah beberapa tahun silam. Pada tahun 2012 mengalami
pengalaman mati suri, itulah awal mula dapat melihat makhluk halus. 3
tahun kemudian adalah masa puncak. Semua begitu jelas hingga sekarang.
Terang-terangan, aku melihat Norlorn dengan keaadan prima. Tidak dalam
pengaruh alkohol atau kebanyakan membuat cerita seperti dugaan aneh
keluarga Ayah di Yogyakarta dan Semarang. Memengkalkan! Aku dilabel
kerasukan Jin. Memang, Jin adalah nama lain lelembut, tapi tidak semua
dari mereka termasuk Jin. Seandainya bisa menjelaskan, akan ku beritahu.
Akan tetapi, bisa saja terjadi hal buruk jika bicara. Seperti saudara
kembarku, ia dijebloskan ke Rumah Sakit jiwa oleh Adik Ayah karena
menceritakan kebusukan diri mereka semua sewaktu di Yogyakarta serta
dianggap gila guna menutupi kelakuan bangsai. Sudah pasti jika
bercerita, nasib akan sama. Berakhir di Rumah Sakit jiwa. Untungnya,
berhasil kabur melalui bantuan Hikaru diam-diam.
Hikaru, senior program studi Sastra Jepang di kampus yang menjebloskan
ke dunia adikodrati selagi menjalani perkuliahan. Dapat dibilang, ia
berstatus Kakak tiri dari pernikahan mendiang Ibuku dengan Ayahnya. Dia
ternyata merupakan anak dari sahabat almarhumah Ibu, seorang wanita
Jepang asal Tokyo. Pernikahan terjadi pada 7 tahun silam tatkala Ayahku
tewas kecelakaan dan Ibu Hikaru meninggal karena sakit. Beliau
memberikan wasiat pada suaminya untuk menikahi Ibuku, sebelum
mengembuskan napas terakhir tepat di hari ulang tahunnya ke 50 pada 5
november 2010 terkena kanker rahim stadium akhir. 2 tahun setelahnya
Ibuku menyusul beliau.
Bayangan tentang film bercerita anak tiri, tidak sepenuhnya salah. Ayah
baru tak sebaik di awal, lebih sering memukuli aku dan saudaraku hampir
setiap hari. Sudah tahunan, kami menanggung semua hantaman, pukulan
tanpa melawan. Kakak sendiri, tak berdaya melihat peristiwa mencekam
sehari-hari dalam rumah.
Sekian tahun pasrah sekaligus putus asa, Tuhan menunjukkan kuasa.
Memberi jalan untuk pergi dari Jakarta meninggalkan kenangan buruk rumah
besar itu. Memulai hidup baru untuk diri sendiri dengan kedatangan
makhluk elok rupa di tengah hari. Moga-moga, Norlorn bukan penipu.
Makhluk ku sangka isapan jempol, hanya ada di film atau novel fantasi,
kalah telak oleh makhluk nasional dan lokal, sudah menjungkar di mata.
Keajaiban cukup besar, bukan? Sosok mistis singgah ke rumah Mbok.
Boleh jadi, secara tidak langsung Hikaru mengajarkan aku menjadi
Conjurer, sebutan untuk pemanggil atau berteman dengan bangsa lelembut
segala penjuru. Seorang conjurer bukan berarti memiliki aura warna ungu
lembayung, tetapi jika orang tersebut merupakan ras indigo, sudah secara
alami dapat menjadi conjurer.
Dari mana kemampuan baruku berasal? Aku tidak merasa mempelajari
pemanggilan bangsa lelembut selama bersama Hikaru. Apakah dia memang
sengaja tak memberitahu jika diriku mempelajari pemanggilan makhluk
halus, atau....
Lain hal dengan Akshita, ia terlahir berstatus ras indigo. Tentu saja,
lebih unggul kemampuannya. Namun, kemampuan ia malah menjebloskan dalam
petaka. Masuk Rumah Sakit Jiwa karena dianggap gila oleh keluarga Ayah.
Akshita... ku harap kau baik-baik saja. Diriku tahu, kau mengungkapkan
kebenaran. Dianggap gila bukan berarti kalah,
Suara Norlorn menyentakkanku, “Nona kok melamun?”
“Aku cuma....”
“Memikirkan saudara Nona?”
“Dari mana kamu tahu?” Biji mataku membesar.
Norlorn tersenyum penuh rahasia, bagaikan tahu semua masalah belum terselesaikan.
“Aku melihat semua dari matamu, Nona.” balas ia. Aku terpaku sesaat.
“Aku pusing,”
“Aku mengerti, namun alangkah lebih baik Nona istirahat.”
“Tapi Akshita....”
“Aku bukan bermaksud lancang pada Nona, seharusnya Nona memperhatikan kesehatan.”
“Noey...”
Dia peduli padaku? Benarkah?
“Mata Nona kelihatan kurang tidur, sudah mulai tebal lingkaran hitam itu.” kaul ia.
Seorang aku saja tidak peduli lingkaran hitam di mata, mengapa Norlorn
terlalu peduli pada hal itu? Tidak ada untungnya. Norlorn agak
menyebalkan, tapi ku akui dia perhatian. Setidaknya, mengingatkan hal
yang baik. Mana tahu, Tuhan mengutus Norlorn supaya ia membantu
menyelesaikan perkara tertunda. Raut simpatik berlakur cemas bersimbur
dari mata dia.
“Maaf....” Aku menunduk.
“Dengar, aku di sini bukan bermain! Aku kemari karena panggilanmu!”
“Maaf jika menganggu. Sebaiknya kamu pulang, aku nggak mau ada pertengkaran di sini.”
Tanganku mengepal, air mata menetes. Sepertinya akan terulang. Saat sudah percaya, sosok itu menghilang.
“Siapa yang mau pulang?” tanya Norlorn.
“Kamu!” elakku cepat.
“Kapan aku pernah bilang pulang, Nona?” Terpendar sorot kesangsian ia.
“Tadi?”
“Kamu bohong, Nona.” lawan Norlorn. Dia garuk kepala, aku menahan tawa oleh tingkahnya.
“Aku nggak bohong,”
“Aku tidak pernah ingat bilang pulang. Bukankah Nona sendiri yang menyuruh pulang?” sahut Norlorn.
“Satu... sama,” bisikku di telinga ia.
“Awas kau, Nona!” Ia berseru.
Ternyata, makhluk mitos sejenis Norlorn bisa kalah denganku. Belum 24 jam, telah seri.
“Noey, aku boleh tanya sesuatu?”
“Silakan,” sambut dia.
“Kamu berasal dari mana?”
“Hmmm, nanti Nona akan tahu.”
Dari sikapnya, tambah yakin ia cocok denganku. Tak banyak bicara tapi
perhatian. Ada hikmah dapat dipetik dari kejadian ini, tidak ada
kebetulan. Semua telah tertulis dari Tuhan untuk setiap manusia di
dunia, menyempurnakan adimarga garis hidup serta obat persoalan.
Norlorn dan aku telah mengetahui tujuan sendiri-sendiri. Bagaimana dengan kalian? Sudah menemukan pelabuhan dari tujuan hidup?
No comments:
Post a Comment