1. Penglihatan Pertama

Tahun baru, harapan baru—

Ungkapan tepat pada bulan Januari 2017, memasuki awal tahun prospek sebagian orang berbagai belahan dunia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Berbagai resolusi tergantung dalam ambisi agar bisa terwujud. Termasuk aku salah satu manusia ikut andil mewujudkan putusan tahun lalu di tahun ini. Tak ada perbedaan signifikan dari tahun kemarin, sendirian merayakan. Pembeda hanya 2, tidak ada repetan dan perdana merayakan di Desa. Lebih tepat, teras rumah Mbok.

Kesepian sudah menjadi makanan sehari-hari bagiku—
Ingin sekali nemulai kisah ini, walau bingung memulai dari mana.

Berawal dari bulan Februari 2016, memutuskan angkat kaki dari Jakarta. Berpindah tempat dari satu daerah ke daerah lain, bertahan sebagai pekerja lalu-lalang dibeberapa koloni. Mengadu nasib menjadi penulis naskah tetap sebuah studio animasi dan pembaca kartu Tarot di Kota Pelajar, Yogyakarta hingga bulan Juli 2016.

Pepatah lama bilang, tidak ada jalan mulus untuk sukses. Keadaan memaksa diri kembali ke Tokyo selama beberapa hari pada pertengahan bulan Juli, guna membantu bibi mengurus Hikaru, Kakakku saat ia ambruk di rumah sakit.

Tak ada orang tahu masa depan mereka seperti apa sekalipun 1 menit akan datang, malapetaka bisa terjadi. Aku mengalami akhir Juli 2016, semua identitasku berikut kenangannya dirampas copet tanpa ampun sewaktu kembali ke Jakarta. Tak ingin berburuk sangka pada Tuhan, aku yakin dibalik rampasan copet konyol ada hikmah didapat setelah kejadian ku alami. Mungkin, Tuhan mengingatkan sebuah hal tak disadari oleh orang putus asa.

Berbekal uang seadanya, memantapkan hati nekat pergi ke tempat Mbok Salamah, pengasuh keluargaku. Beliau berasal dari Purbalingga, Jawa Tengah. Seakan dibimbing oleh-Nya, kaki berjalan mantap menaiki bus siang dari terminal ke sana. Kendati, diri ini tidak yakin Mbok Salamah masih hidup atau telah mangkat setelah belasan tahun tak bertemu aku maupun keluarga. Perjalanan yang ku ingat dari Jakarta ke Purbalingga memakan waktu sampai larut malam, tentu saja dengan pertahanan dan kondisi lelah.

Tuhan, tunjukkan aku jalan.
Setelah tiba di terminal Purbalingga, berbekal ingatan waktu Sekolah Dasar, aku langsung memanggil ojek untuk mengantarkan ke tempat tujuan. Harap-harap cemas, perjalanan malam bersama supir ke Desa. Setelah sampai di gapura Desa, mulut terperangah melihat pemandangan Desa sudah berubah pesat dibanding dulu.

Benarkah ini Desa si Mbok?

Ku pinta penemudi mengantar ke dalam. Mata menempak seluruh jalan Desa. Semoga, aku tidak salah ingat atau menemukan rumah si Mbok. Meski sudah terlalu lama ingatanku tentang Desa ini. Perasaanku menunjuk pada sebuah rumah sederhana tak bertingkat bercat hijau dengan pintu berwarna putih.

Harusnya di sini rumahnya Mbok—
Ku turun dari motor bersama bawaanku sekalian membayar ojek. Dengan hati-hati mengetuk pintu seraya mengucap salam. Bersandar di jendela, berharap ada orang membuka pintu sebelum telanjur tidur di luar mirip gelandangan. Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Seorang nenek memakai daster keluar. Wajah ia tertegun bercampur tidak percaya melihat penampilan dekil dan kusut perempuan metropolitan pengelana.

“Vani, ini kamu!?” Ia terbelalak.

Senyum simpul dariku timbul,”Iya Mbah, ini Giovani.”

Seketika, beliau memeluk penuh haru, “Kamu kemana saja, Gi? Mbok telepon, sms, nggak pernah jawab?” tanya ia. Terdengar sesenggukan.

“Maaf Mbok, bukan nggak mau jawab, jarang pegang hape di kantor dan baru pulang dari Tokyo.” jawabku menghapus air mata.

“Sama siapa ke Tokyo?” Ia kaget.

“Sendiri. Soalnya ditelepon Om Egao suruh jenguk Mas Hika, soalnya sakit.”

“Ya Allah, sakit apa?”

“Biasa Mbok, kecapekan kerja.”

“Dari dulu, Mas mu itu ndhak pernah berubah. Selalu gila kerja.” Mbok Salamah geleng kepala.

“Mbok kayak nggak tahu saja. Sebelum mama nikah sama papanya Mas Hika ‘kan, dia sudah begitu.” ucapku sembari cekikikan.

“Kamu kok berani sendiri kesini?”

“Nekat Mbah.”

“Kamu sama Adikmu itu, sama. Nggak pernah pikir panjang ambil tindakan.”

Kalimat Mbok lebih terdengar seperti sindiran. Tetapi, masa bodoh. Maklum, Mbok bicara kalimat itu, karena dia tahu luar dalam keluargaku baik yang baru atau ‘lama’. Itu sisi positif beliau, tak perlu banyak cakap soal diriku.

“Untung nggak nyasar.”

“Kirain, kamu sudah lupa sama saya.” Mbok Salamah menyeletuk.

Aku mesem, kenyataan menohok sekaligus miris memang. Saat aku senang, seperti lupa pada Mbok. Saat susah, tiba-tiba dituntun kemari.

Barangkali, itu salah satu pesan Tuhan pasca hilangnya identitas di Jakarta belum ada 2 hari.

“Nggak dong, Mbok.” Aku menyelak.

“Sudah, masuk dulu. Istirahat.” Mbok Salamah mempersilakan masuk. Aku melangkah ke dalam bersama ransel berisi semua barangku.

“kalau mau tidur, ini kamarnya.” Mbok Salamah membuka pintu sebuah kamar 1 meter dari meja makan. Kepalaku mengangguk sembari masuk, menutup pintu, berganti baju lalu tidur.

Dimulai pagi hari, hidupku berubah total.
Tak memungkiri suasana Desa masih asri meski sudah genap 6 bulan singgah. Cuma, ada kata tapi untuk beberapa peraturan terlalu kuno. Masih kental pada mitos dan pamali. Biarpun sebal, Desa tetap menarik bagi orang yang bosan dengan suasana kota metropolitan seporsi bersama sikap individual masyarakat asli kota sepertiku.

Inikah berkah-Nya? Bisa jadi. Jika saja, tak menurut kaki pergi ke sini, aku tak akan pernah bertemu dia. Pertemuan terjadi saat melakukan puasa mutih hari terakhir pada pekan ke 2 bulan Januari.
***

Udara malam menusuk tulang sehabis hujan, bau tanah menyeruak, tercium di ruang tamu. Kedua ibu jari telah selesai melaksanakan tugas, memperbaharui setiap episode cerita buatanku di laman elektronik. Mata mulai turun oleh kantuk, ku lirik jam dinding, menunjukkan pukul 11 malam.

“Cepat juga sudah jam sebelas.”
Aku menyudahi aktivitas, kembali ke kamar. Beberapa hari kurang tidur karena memforsir diri meneruskan karangan untuk keluaran baru pada web novel. Akibat terlalu penat, tak mengindahkan keadaan rumah saat tidur. Namun, beberapa jam setelah tidur, merasakan ada hawa berbeda dari arah pintu kamar.

Apa itu?
Sekelebat, melihat bayangan. Jadi penasaran, ada apa di sana?
Aku menoleh ke pintu terbuka. Sebuah bayangan binatang terlihat di situ. Punggung tangan mengucek mata secara otomatis. Aku bermimpi atau tidak?

“Pinguin? Nggak salah lihat, gue?” tanyaku heran.
Pinguin dari mana berhenti depan pintu kamar tengah malam? Sangat tak masuk akal seekor hewan iklim dingin di kutub utara datang kemari beraut ceria melambaikan sayap padaku yang terbengong mengamati dia.

Dia memiliki kalung pengenal. Siapa dia sebenarnya dan untuk apa ke sini? Jika memang seekor pinguin, tidak bisa sampai di kamar dengan jarak puluhan atau jutaan kilometer jauhnya dari kutub ke daerah tropis. Jangan-jangan, itu—
Totem

Seandainya memang Totem, dari mana datangnya? Aku tak pernah melakukan ritual pemanggilan hewan spiritual manapun.
Eh, rasanya aku ingat sesuatu tadi siang—

Aku membuka sebuah forum supranatural dari salah satu situs terbesar di Indonesia, dengan nama Pemegang Roh Mandiri. Baru sadar, mencatat sebuah tulisan dari forum ke jurnal, diklaim berfungsi untuk memanggil sekalian berkomunikasi pada hewan spiritual. Lalu, terbaca dalam hati.

Bagaimana bisa? Seharusnya pemanggilan memerlukan ritual panjang serta sulit. Lebih pakau saat ia memberi gerakan hormat.
Belum ada 5 menit pinguin itu datang, muncul sosok laki-laki bertelinga runcing memakai anting permata. Penampilannya luar biasa rupawan bukan main di mataku. Berwarna rambut abu keperakan plus 2 cambamg rambut dan berponi samping. Panjang rambut dia seleher, manik mata biru muda berbinar menjeling. Hidung mancung menonjol harmonis atas wajahnya. Kulit putih dan bibir merah berkombinasi tubuh tinggi menjulang menambah pesona. Kostum unik milik ia seperti film fantasi pernah aku lihat selintas. Dia siapa? Laki-laki eksentrik seiring perilaku rada menggelikan bersandar di samping pintu. Memandang remeh orang di kasur.

Semoga, makhluk ini tidak jahat atau mengganggu. Genahar berkecumik melafalkan berbagai do’a pengusir hantu sekadar ku ingat. Tidak ada perubahan di pintu, ia tetap bergeming bersama pinguin ku duga temannya. Kenapa dia tidak pergi? Melihat rautku, dia menahan tawa lalu berkata,

“Nona, kau membaca do’a sebelum makan padaku. Apakah kau lapar?”
Do’a makan? Astaga. Yang benar saja. Pantas tak ada perubahan, secara spontan malah melinsankan do’a sebelum makan bukan pengusir hantu. Ku akui, dia mengingatkan. Cuma, sifat menyebalkan tidak menutupi pandangan pada ia. Memangnya, ia pikir bisa menertawakan mimik ketakutan seseorang? Aku melotot, dia malah makin terpingkal. Dasar absurd!

Memakai kostum fantasi datang tengah malam ke rumah orang mirip maling tanpa ada yang tahu kecuali aku. Tak ubahnya dengan seekor pinguin pendamping ia. Dari mana asal mereka sebenarnya?

Sebelum aku menguak semua, salah satunya pergi.
Yang tersisa, laki-laki ajaib bersandar. Dia mirip makhluk sering ku temui dari dongeng Eropa zaman dulu dan game RPG. Disebut bangsa Alpen atau Elves. Apakah dia benar-benar...

Aku akan melakukan pembuktian.
Kalau kebanyakan ngelindur karena begadang sambil menulis cerita, rasanya tidak juga. Hanya ada sebuah cara pembuktian, mencubit pipi sekerasnya.

Satu...Dua...Tiga...Ouch—! Sakit.
Bukan—mimpi, dia bersandar di pintu. Melihat seraya senyum kecil, kedua biji mata ia ikut berbinar. Cobaan apa datang tengah malam begini? Tidur nyenyak impian berubah kacau oleh kehadiran makhluk antah-berantah. Betulkah itu pengaruh mantra dari forum? Bisa mungkin, bisa tidak. Cara paling ampuh, yaitu menanyakan pada anggota konvensi. Daripada menebak-nebak praduga, memang paling tepat bertanya sebab kejadian ini.

Ku rasa, ia sadar kalau aku merasa agak terganggu malam ini. Kemudian, pergi dari kamar lalu samar.

Fyuuh—
Nyaris kacau bilau tidurku oleh kemunculan mereka. Syukurlah dia paham, jadi bisa kembali lanjut tidur. Sebelum rebah, ku tarik napas dan menahan selama 4 detik dan mengembuskan perlahan. Pelupuk mata kembali turun, namun—

Terjadi sebaliknya, roman cerah ia menari di pikiran. Senyuman ia laksana magi, membuai bayang.
“Cerah kayak bulan,” gumamku. Tubuh ku miringkan ke kiri, agar wajah dia hilang. Tidak berkurang malah tambah jelas.

Aku harus melakukan apa? Menyerah atau mengungkap dia?

Logika dan perasaan berkecamuk, dari sisi logika memberitahu itu cuma makhluk lain tersesat. Perasaan berkata sebaliknya, ia memang berkah Tuhan yang datang pagi ini. Muka bercahaya serasi dengan rambut abu keperakan milik dia, telinga tersemat anting gemerlap, sungging semanis Venus waktu menertawai membuat rindu.

Ada apa denganku? Sekian lama bergeming, memutuskan untuk memilih mengungkap siapa makhluk itu. Hawa kehadiran ia masih terasa, mungkin belum jauh dan menunggu ku panggil lagi. Jika benar begitu, baiklah pemanggilan akan dilakukan. Tuhan, seandainya itu kiriman-Mu, aku tak menolak. Andai bukan, semoga tak ada masalah.

Sekali mengucap untuk mengirim panggilan untuk dia.
Wahai laki-laki berambut keperakan berwajah cerah, siapa kau? Apa tujuanmu datang kemari? Jika kau mendengar, datanglah!
Berulang kali mengafirmasi, berharap ia mendengar dan datang bersama tujuan baik bukan mencelakai seperti pembenci yang berada dimanapun aku melangkah. Tak sampai 5 menit, ia telah hadir, berjalan ke sisi kanan tempat kaki terbaring.

“Siapa kamu?
Bergeming. Ia tak menjawab. Hanya tersenyum dan posisi poni rambut berubah letak jadi ke belakang, menyisakan 2 cambang panjang samping telinga, bergaya potongan acak bagian belakang.

“Kamu bisu? Semoga, kamu bukan makhluk jahat. Maaf telah memanggilmu.” kataku santai. Seketika, mimik ia berganti cemberut, memandang mangkel diriku.

Aku salah kata ya?

Lantas, ia berujar kalimat asing tak ku mengerti. Kelihatan ada nada kekesalan,

“[iS]eharusnya aku yang tanya, kau ini siapa memanggil sahabatku kemari? Seenaknya mengecap aku bisu[/i]!?”

Bicara apa ia itu?

Maaf, aku tak mengerti kau bicara. Bisakah kau berbahasa Indonesia?” tanyaku memakai Inggris sekadarnya.
Dia diam, sekejap mengangguk. “Maafkan aku, ku kira kau mengerti.”

“Nggak,”

“Siapa dirimu memanggil sahabat dan bilang diriku tunawicara, hah!?” Suara ia tinggi, selaku tak suka jawaban dariku.

“Aku nggak pernah memanggilmu. Ia datang tiba-tiba. Maaf telah mengusik.” Terlisankan keresahanku sekelip.

“Ku anggap ketidaksengajaan.” kata ia melungguh di pinggir ranjang.

“Maaf—“

“Akan ku maafkan, kalau kau—“

Omongan dia terpenggal.
Tubuh ia menimpa, cengiran menggoda tecermin. Mau apa dia? Wajah semulus porselen benar-benar tanpa cela dari dekat. Keanggunan tak manusiawi membuat perempuan gugup. Lambat-lambat, susurnya mendekat ke bibirku kemudian—

Mengecup birai timpas diriku. Manis rasanya. Tak ingat, sudah berapa lama tidak merasakan rasa manis ini. Motif apa yang menggiring ia melakukan ciuman padaku?

“Aku tahu yang ingin kau tanyakan. Anggap saja ciuman itu manisan pembuka.”

“Maksudmu?” Batin bergejolak.

“Kau akan tahu nanti. Aku pamit dulu.” jawab dia memberi kedipan sebelah mata.

“Mau kemana?”

“Nanti saja ku beritahu pada pertemuan selanjutnya. Sebaiknya kau tidur, selamat tinggal.”

Dia bangun dari atasku seraya pergi. Kilauan berkelip menjejak bersama refleksi dalam kamar. Bekas ciuman masih terasa manis. Semoga dia bukan pembohong.

No comments:

Post a Comment