9. A Silent Voice


Lagu One OK Rock telah berganti, bertepatan cutelnya ketikan di bloknot ponsel. Tradisi menjadi air mandi dari keluarga Ibu, Kakak dan Adik Ibu condong memilih berkisah dalam buku harian. Bukan gagu, hanya mempunyai cara sendiri melimpahkan kesah. Tentu, kebiasaan keluarga Ibu memengaruhiku. Yang berbeda, aku lebih memilih notes ponsel ketimbang jurnal manual. 

Tentang Norlorn... haruskah buka suara? Aku tidak tahu dapat bercerita pada siapa. Adakah seseorang yang bisa ku percaya? Keder....

Sepertinya ada salah satu cara, bertanya pada orang yang mempunyai kemampuan spiritual lebih tinggi dan ahli dalam ihwal ini. Untuk menegaskan, bahwa Norlorn bukan makhluk dongengan atau entitas lokal cendala yang berkedok. Agak sangsi, makhluk serupawan ia ada di tanah air ini. Apalagi, di Desa ku tinggali sementara. Benarkah Norlorn sosok Alpen sungguhan? Membuat sakit kepala saja dia itu.

Jatuh cinta memang indah, tapi kasus sekarang berbeda. Hati ini terpikat pada makhluk tak kasat mata asal nagari antah berantah. Belum jelas juga maujud faktual ia di penglihatan, batin bilang iya, itu wujud sebenarnya, namun logika memaksa menyelidiki lebih lanjut. 

Lalu, siapa yang mampu membantuku untuk membeberkan rupa Norlorn?


Ayolah Giovani, camkan seseorang berspiritual tinggi kau kenal....


Belum ada 1 menit merenung, nama Reira terbayang. Hm... kelihatannya ia kapabel membantuku. Reira... adalah teman Hikaru, paranormal sekaligus model kenamaan Tokyo. Dia juga berprofesi sebagai hosuto. Ku cedok ponsel membuka aplikasi Whatsapp memeriksa nomer ponsel Reira. Tidak sulit mencari nomer ponsel ia, ada paling depan di daftar orang sering ku chat. Lega melihat Reira sedang daring. Secepatnya, jari menyentuh tombol telepon dan menunggu telepon tersambung. Beberapa detik setelah terangkat, kedengaran suara riuh-rendah beserta salam bahasa Jepang.


“Halo, dengan Reira di sini,” kata suara dari seberang.

“Halo... selamat siang, aku Giovani.”

“Giovani?”

“Adik dari Kak Hikaru Nagisa, kelab Top Dandy 1st.”

“Ah… maaf aku baru ingat. Maklum, umurku mulai tua. Hahaha…”

“Tidak apa-apa, santai saja. Sebentar lagi, aku juga tua.”

“Kau apa kabar?” 

“Kabarku baik. Bagaimana denganmu, Kak?”

“Aku sendiri baik….”

“Kakak masih bekerja di kelab ALLBLACK?”

“Tentu saja. Ayo main lagi ke kelab ALLBLACK.” ajak Reira. 

“Jika ada kesempatan lagi, aku akan main.”

“Tidak biasanya kau telepon, ada apa?”

“Tepat sekali Kakak bertanya….”

“Apa maksudmu?”

“Jadi, semalam….”


Segala perjumpaan ku narasikan tanpa interval. Reira pasif menyimak sampai selesai. Akhirnya, ia menafsir cerita dari telepon. Kesan dia terdengar tenang. 


“Kau suruh dia datang padaku,” ucap ia.

“Memangnya bisa?”

“Kalau kau bisa memanggil dia, berarti dia juga bisa datang padaku.”

“Caranya bagaimana?”

“Kau bilang dia, agar segera datang padaku ke kelab ALLBLACK, Tokyo.”

“Baiklah Kak. Terima kasih sudah membantu,” 

“Sama-sama, aku tunggu dia di kelab.” ujar Reira, sambungan telepon mati.


Baiklah, cara ini harus dicoba. Mantra penyeru kemarin masih dapat dipakai, ku rasa, untuk memanggil Norlorn. Beberapa menit setelah pemanggilan, tercium wangi bersama langkah sepatu. Tanpa aku tahu, ia sudah ada di belakang seraya memegang bahu.

“Noey, sejak kapan kamu di belakangku?” Hampir copot jantung melihat dia.

“Hn?” 

“Kamu mengagetkan saja,” ucap diriku terengap.

“Kau memanggilku ‘kan, Nona?”

“Iya. Karena, ada teman Kakak ingin berkenalan denganmu,” 

“Berkenalan?” Dahi Norlorn berkerut, alis ia naik sebelah.

“Iya. Boleh?”

“Boleh saja, Nona.”

“Namanya Reira. Dia juga bekerja sebagai hosuto di kelab ALLBLACK, Tokyo.” jelasku.

“Baiklah, aku pergi dulu….”

Belum ada 10 detik kedipan mata, dia hirap. Jadi tambah cemas, Norlorn bisa atau tidak menemui Reira? Mari tunggu….

Dari Indonesia ke Tokyo, berapa lama durasi untuk Norlorn? Sudah 5 menit belum ada kabar lanjutan oleh Reira. Jangankan obrolan relai, pemberitahuan atau getarpun belum. Ku menanti hingga menit ke 7, rupanya sudah ada kabar dari Reira. Telepon Whatsapp berbunyi, 


“Halo, dengan Giovani di sini.”
“Halo Giovani, pacarmu sudah bersamaku sekarang.” Reira cengengesan di telepon.

“Pacar?”

“Laki-laki dengan wajah secerah bulan itu pacarmu, bukan?” Reira menyeletuk, diiringi deham ringan.



“Norlorn maksudnya?”

“Iya....”

“Ya ampun... dia bukan pacarku,”

“Habisnya, dia bilang disuruh pacarnya datang kemari...” Reira tertawa.

“Jangan dengarkan!” Aku membantah.



“Rambutnya abu-abu keperakan, bermata sebiru opal dan berhidung mancung.”

“Betul Kak.” 

“Tampan pacarmu itu,” Reira meledek.



“Bukan pacarku!” cebikku.



“Dia sudah datang dari lima menit lalu. Maaf, aku terlambat mengabari.”

“Tidak apa-apa Kak. Yang penting sekarang sudah jelas...”

“Jelas pacarmu memang tampan dan lebih tinggi dariku. Hahaha...”

“Kakak ini!”

“Tapi, kau suka dengannya ‘kan?”

“Apa sih!?”

“Tidak usah malu padaku,”

“Iya, aku menyukai dia tapi Norlorn bukan pacarku!”

“Ya... ya, aku mengerti Giovani.” Reira terbahak.



“Lalu, kalian mengobrol apa?”

“Cuma berkenalan dan obrolan laki-laki.”

“Apa?”

“Rahasia. Tapi, Norlorn memang tepat ku rasa jadi pendampingmu...” 

“Kak Reira meledek!?”

“Aku tidak meledek,”

“Lalu?”

“Bicara fakta.”

“Huh...”

“Norlorn itu pemalu, makanya dia pura-pura cuek.” Reira terbatuk, aku yakin dia hanya pura-pura.



“Alasan...”

“Tanya sendiri saja nanti padanya.”

“Oh iya, usia dia berapa tahun?”

“Tiga ratus tahun.” tutur Reira singkat.



“Tua ya?”

“Dalam usia manusia, seusia denganku.”

“Tiga puluh tahun?”

“Kurang lebih.”

“Baiklah. Terima kasih atas penjelasan Kakak.”

“Sama-sama. Norlorn sudah pulang barusan.”

“Hah!?”

“Norlorn bilang, dia merindukanmu. Jadi, dia pulang lebih cepat...”


Belum ku jawab, Reira sudah memutus panggilan. Kebiasaan buruk sebagian hosuto, seenaknya mematikan sambungan telepon tanpa memikirkan lawan bicara. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Suatu saat, semua akan terkuak jika takdir berpihak. Aku akan bebas seperti burung Camar terbang di awan, bersahutan secara semestinya.

Terkadang, suara dalam keheningan merupakan cara paling tepat ketika kebebasan menjadi ancaman dalam berekspresi. Buku adalah ‘teman’ paling jujur dalam lembayung kehidupan. Buku juga melambangkan mustamik terbaik, sekaligus pemberi solusi saat gundah walau belum tentu mencukupi untuk menampung semua keluh. Ku biarkan mengalir, seperti kedatangan ia dalam hening malam tanpa asterik.

No comments:

Post a Comment