Sudah saatnya berhenti mengenangkan masa lalu, sekalipun belum beres.
Sebuah kalimat umum yang memang enteng, tapi realisasi rumit. Tak hanya
malam, siang juga selalu bergundang. Rasa tidak mengantuk mengenai mata,
sekalipun kondisi mata tertutup. Amat benci mengalami fase begini
kesekian kalinya. Bisakah hidup tenang tanpa memikirkan ‘itu’? Urusan
pembuat jengkel dan kepala pecah. Mustahil... untukku.
“Tidurlah....” ucap suara dari belakang. Aku mengenal sekali suara itu, milik dia.
“Noey....”
“Tidurlah, ku temani.” ujar Norlorn, tangan ia merangkul pinggang.
“Tapi...”
“Aku bilang tidur!”
Kalimat lebih terdengar seperti perintah. Ku tarik napas sambil
mengembus perlahan, memfokuskan untuk tidur. Hitungan pertama belum ada
perubahan, sampai rekanan ketiga... pandangan berubah menjadi ruang
pekat dan semuanya pudar. Cuma hembusan angin menemani dan tangan
Norlorn. Hingga aku....
***
“Buka matamu, Nona.”
Pelupuk mata terdedah, ku bangkit dari ranjang memperhatikan ruangan. Di
kamar Norlorn kedua kalinya. Norlorn berada di samping ranjang dengan
senyum. Kenapa dia begitu? Senyuman aneh!
“Du siehst wunderschön aus.(Kau terlihat cantik.) ” Norlorn mendehem kecil, mata ia menjara dari ujung rambut hingga kakiku.
Apa yang dia katakan?
Norlorn menyambung, “Gaun itu tampak harmonis untukmu, Nona.”
Gaun yang mana? Berani bersumpah dalam nama burger kurang saus, aku tak
memakai gaun! Sampai akhirnya, mata mengarah pada tubuh sendiri....
Jeritanku meringking, kaos oblong dan celana pendek berganti gaun mewah
seperti bagai putri kerajaan. Gaun berwarna merah marun membuat diri
terkejut. Kapan Norlorn memakaikan busana mewah ini? Pakaian yang lebih
pantas disebut baju pesta. Berhias manik permata pada setiap lipatan,
bagian atas dominan mengekspos bahu dan belahan dada. Terlihat elegan,
walau pada bagian dada agak kebesaran. Sehingga, hampir terekspos sampai
belahan bagian bawah. Dengan lengan panjang bermotif unik, panjangnya
lebih dari mata kaki. Rasanya ragu kalau berjalan. Bagaimana kalau
jatuh? Aku melamun, sampai-sampai....
Sebuah sergahan dari belakang menyirapkan darah, “Cepat pakai sepatumu,
Nona.” Ia menyodorkan sepasang sepatu berwarna eingengrau berbentuk
lapik balerina. Terlihat sepadan pada gaun di badan.
“Untuk apa?”
“Ada pesta dansa di aula kerajaan. Aku ingin kau ikut, Nona.” jawab ia.
“Pesta dansa?”
“Iya. Aku tunggu di bawah,” Norlorn memujuk, gisik dia turun ke pundak. Kecupan pendek menyulut beranta.
“Aku nggak ingin ke pesta dansa.” Aku menolak.
“Ayolah, Nona. Hanya sekali saja....” Dia tetap merayu.
“Baiklah, aku ikut. Tapi...”
“Tapi?”
Ku menengok. Baru sadar, Norlorn memakai kostum berbeda dari pertama
datang. Kostum lengan panjang berkerah tinggi bernuansa asfar gemerlap
bersama buah baju berwarna aswad. Dihias rantai kecil platinum di bagian
kiri, memakai celana senada kostum. Tersisip syamsir bertudung sarung
pedang pada pinggang beserta sepatu sebetis warna hitam.
Kenapa malah terlihat tambah gagah? Macam pangeran cerita rekaan
saja. Melihat Norlorn seperti ini, libido makin menanjak. Rasanya tidak
ingin ke pesta terburu-buru....
“Aku ingin di sini sebentar lagi.” jawabku mengagau kausa.
“Hmmm...”
“Kenapa?”
“Baiklah,”
Dia menyeringai binal, meniban tubuhku seraya meraih selimut. Aku semakin menyukai, jika sikap ia terus begini.
Norlorn memepet sembir pada telinga, “Aku tahu, kau menginginkan ini, Nona...”
“Sebelum pesta dansa,” sahutku memaut leher dia.
Lengan Norlorn melorotkan pakaianku hingga buah dada. Gisik dia menghidu
gala, melandai pada bahu dengan sedikit lamban, mengisap intensif.
Sebentar, mengimbit dada.
“Masih ingin ikut pesta, Nona?” Dia mengerem serejang.
“Aku inginnya begini,” Ku singgung wajah ia.
“Ku hargai keputusanmu. Tapi maaf, aku harus mengikuti pesta dansa.” cakap Norlorn.
“Silakan saja,”
“Kau ingin aku berdansa dengan perempuan lain, Nona?” Norlorn menggonjak.
“Bukan urusanku!”
“Yakin?” Dia mencebik.
“Sudah sana,”
“Seandainya perempuan lain merayu diriku bagaimana? Sudikah dirimu?”
“Nggak peduli.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“Kalau perempuan lain mengajakku untuk melakukan ‘itu, kau terima?” tanya Norlorn memberi penekanan pada kata itu.
“Nggak boleh!” balasku menggetil leher dia.
“Betul ‘kan? Makanya kau mengikuti pesta dansa bersamaku.”
Ck! Resek juga dia. Mau tidak mau, harus ikut pesta daripada yang Norlorn bilang menjadi kenyataan.
“Aku akan ikut, tapi selesaikan dulu sampai selesai,” Aku mendesak.
“Aku suka kalau ada perempuan mendesakku.” Dia menyernyih jalang,
Tangannya melanjutkan memapas kostum sampai tak tersisa. Lalu, menaruh
di lantai. Kemudian, ia melepas kostumnya sendiri, menanggalkan satu
persatu, menempatkan pada tegel kamar.
“Nggak perlu kamu tanya lagi. Lakukan saja sekarang!”
Kejantanan ia ulang menggapil rongga kewanitaan. Kali ini tidak begitu
nyeri, Norlorn membenamkan “miliknya” dengan lembut ke dalam.
“Sakit, Nona?”
“Aku lebih suka yang ini.” tanggapku.
“Ingin dilanjut?”
“Ya, Noey.”
“Baiklah. Aku temani, biarlah tak hadir di pesta dansa.” Dia tersenyum simpul.
“Kenapa nggak hadir? Nanti kamu dimarahi.”
“Aku tidak tega membiarkanmu sendirian,” kata ia mengecup susur.
“Aku sudah besar. Hahaha....”
“Maaf, aku menyela... bukan soal sudah besar, ini tentang keamananmu.” sahut dia.
“Aku mengerti,”
“Sudah paham ‘kan, Nona?”
“Tadinya, kalau kamu ikut pesta nggak ingin ku lanjutkan dulu.”
“Lalu?”
“Tapi, karena kamu nggak ikut. Ayo lanjutkan!”
Norlorn memacu ‘miliknya’ tanpa masa istirahat. Kian lupa daratan
dibuatnya, mengecap kama teramat naim dari dia. Desauan susul-menyusul,
bak nada pengurai lengangnya kamar.
“Kenapa kau begitu menyukai hubungan ini, Nona?” bisik ia.
“Nggak ada alasan,”
“Kalau begitu, aku juga. Tak ada alasan untuk hubungan ini....”
“Maksudmu?” Alisku naik.
“Semua terjadi begitu saja.” Norlorn mengangkat bahu.
“Memang nggak bisa dipaksakan. Aku paham itu,”
“Boleh aku bertanya padamu?”
“Kamu ingin tanya apa?”
“Sudah berapa lama kau menjalani hubungan seperti ini, Nona?”
“Maksud kamu, yang ini ‘kan?”
“Ya,”
“Sudah lama sekali, jauh sebelum aku menjadi hosuto...”
“Kau... seorang hosuto?” Norlorn kelihatan terkejut, tampak dari pertanyaannya.
“Itu dulu. Hanya seminggu, demi membantu Kakakku yang sakit.”
“Maaf... aku sudah mendengar,” Norlorn menunduk.
“Nggak apa-apa, Noey.” Aku tersenyum simpul.
“Sekali lagi, maafkan aku.”
“Santai saja.”
“Jadi, ada hosuto perempuan dan laki-laki, begitu?”
“Iya, di Jepang.”
“Sebenarnya, pekerjaan mereka itu apa?”
“Menemani klien di kelab, merayu dan sebagainya. Jelas sampai sini?”
“Ya... ya, aku mengerti. Tapi... apakah hosuto melakukan hubungan ini juga?”
“Bagaimana, ya? Bisa dibilang iya. Tergantung permintaan pelanggan dan dilakukan di luar jam kelab.”
“Oh....”
“Kenapa?”
“Ternyata sama seperti di sini.”
“Di sini ada juga?” Aku melongo.
“Bisa dibilang ya.”
“Kamu pernah mencoba jasa itu di sini?”
“Belum.” Norlorn menggeleng.
“Kamu yakin?”
“Mereka memang cantik dan tampan. Tapi, aku tidak begitu suka menghamburkan gaji untuk hal itu.”
“Oh ya? Kalau aku... bagaimana?” colekku di pinggul ia.
“Itu....”
Tampang Norlorn mengekspresikan corak merah padam. Lucu juga dia,
tidak mencoba jasa itu, tapi kemampuan menanganiku diatas beberapa teman
hosuto Kakak,mantan pacar sampai Hikaru sendiri.
“Jangan bertanya begitu, Nona.” Rona ia malu.
“Habisnya, kemampuanmu jauh diatas orang ku kenal.”
“Nona ini....”
“Jangan panggil aku Nona. Gigi saja,”
“Baiklah. Gi... gi.” tutur Norlorn.
“Begitu lebih baik.”
“Aku tidak sehebat itu. Tapi, terima kasih untuk eulogimu.”
“Aku nggak pandai berkata-kata. Apa yang dirasa, itulah adanya.” Ku usap punggung ia.
“Terima kasih,” Dia mencium dahi.
“Sama-sama.”
“Noey, kamu nggak apa-apa menemani aku?”
“Tidak masalah. Pesta dansa itu hanya perayaan biasa.”
“Setiap hari ada?”
“Lebih tepatnya, setiap tahun di negeri ini.”
“Kamu nggak dimarahi memangnya?”
“Seharusnya tidak. Karena bukan perayaan wajib yang harus aku ikuti.”
“Setiap tahun, berarti kamu ikut?”
“Untuk malam di tahun ini tidak.” Norlorn menggeleng.
“Kenapa?”
“Demi Nona yang merengek, memintaku melayaninya di ranjang.” elak dia, memicit hidungku berarak senyuman elok miliknya.
“Apa sih kamu? Hahaha….”
“Kenyataannya begitu, Gigi.”
“Iya deh.”
“Kau ingin tidur?”
“Ya,”
“Tapi, aku tidak akan bisa dengan posisi ini.”
“Kenapa nggak bisa?”
“Takut remuk tubuhmu.” Norlorn tergelak.
“Ya ampun. Cuma karena aku setengah dari tinggimu, begitu?!”
“Bukan begitu....”
“Lalu, apa?”
“Supaya kau lebih nyaman di atas.” Norlorn menangkal.
“Oh maaf… aku kira maksud lain.”
“Bagaimana?”
“Aku setuju.”
Norlorn memutar balik tubuh dia, menyompong diriku di atas dirinya. Ku
pejamkan mata, membaringkan kepala di dada ia. Mencerup raksi makhluk
rupawan penyedia tempat bernaung, Terbayang senyum bersama tatapan pupil
benderang kepunyaannya.
“Aku... menyukaimu, Noey....”
“Aku juga,” Vokal ia samar, sehabis aku mengungkapkan perasaan. Sesudah itu senyap.
No comments:
Post a Comment